Abstrak
Perencanaan ruang
(spatial plan) memiliki tujuan untuk menghasilkan penggunaan ruang yang
efisien, termasuk diantaranya menimimasi resiko bencana. Indonesia sebagai
negara yang sering mengalami bencana, baik karena faktor geografis atau
peningkatan paparan (exposure) terhadap bencana karena pembangunan atau
urbanisasi, memerlukan upaya-upaya untuk mengurangi besarnya resiko bencana.
Tulisan ini mengulas sejauh mana perencanaan ruang dapat berkontribusi di dalam
pengurangan resiko bencana dan bagaimana konsep ini telah diterapkan dalam
penataan ruang di Indonesia. Dua studi kasus penerapan rencana tata ruang
berbasis kebencanaan di daerah rawan bencana di Indonesia dalam skala makro dan
mikro dibahas di dalam tulisan ini sebagai pembelajaran. Pada akhirnya disadari
bahwa perencanaan tata ruang berbasis kebencanaan perlu terintegrasi dengan
alat-alat pengurangan resiko bencana lainnya.
Kata Kunci: Bencana,
Kapasitas, Kerentanan, Resiko, Penataan Ruang (Spatial Plan), Pengurangan
Resiko Bencana
1. Pengantar - Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia
Banyaknya bencana
alam yang terjadi di Indonesia mendorong semakin pentingnya peran pengurangan
resiko bencana. Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang
diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun
2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan
tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana {UNISDR,
2005 #340}. Peran perencanaan tata ruang dalam pengurangan resiko bencana telah
banyak diusulkan dalam praktik perencanaan baik di negara-negara maju maupun
negara-negara berkembang.
Jauh sebelum HFA
disepakati sebagai sebuah kerangka kerja, Burby dan French (1981) menyebutkan
bahwa peran perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di
daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam. Hal ini
termasuk dengan pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan pembuatan
kode bangunan (building code) untuk daerah-daerah yang rawan terhadap bencana
gempa bumi dan tsunami. Dampak dari pembatasan pembangunan di daerah-daerah
yang berbahaya akan meminimasi potensi paparan (exposure), pengurangan terhadap
kerugian jiwa serta kerusakan harta benda di daerah-daerah berbahaya.
Pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kebencanaan akan dapat berakibat pada
besarnya resiko bencana yang timbul, seperti pembangunan permukiman dan lokasi
pariwisata di sepanjang pantai berpotensi terkena dampak tsunami. Sebagai
contoh, dampak sangat besar dari tsunami di Indonesia telah diketahui bersama
pada kejadian tsunami di Banda Aceh pada Desember 2004 dan Kawasan Pantai
Pangandaran pada Juli 2006.
Selain bencana-bencana yang berskala sangat besar
(catasthropy), bencana yang terjadi tahunan, seperti banjir dan tanah longsor
juga mengindikasikan alokasi tata ruang yang tidak tepat. Kecamatan Bale Endah,
Kabupaten Bandung Selatan mengalami banjir tahunan dari Sungai Citarum dengan
frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat akhir-akhir ini, hal ini
merupakan bukti lain ketidakharmonisan pemanfaatan ruang di sepanjang bantaran
sungai. Dalam konteks yang lebih luas, penataan ruang daerah aliran sungai pada
dasarnya tidak hanya berfokus pada dataran banjir, tetapi juga konsep yang
terintegrasi antara kawasan hulu, daerah tangkapan air, daerah yang dialiri
oleh air sungai dan daerah hilir. Konsep ini dikenal umumnya sebagai manajemen
wilayah aliran sungai yang terintegrasi (Integrated River Basin Management).
Gambar 1a. Kejadian Banjir di Kabupaten Bandung Sumber: BPBD Kabupaten Bandung, 2010 |
Gambar 1a. Kejadian Banjir di Kabupaten Bandung Sumber: BPBD Kabupaten Bandung, 2010 |
Gambar 2a. Floodplain di Sungai Kamogawa, Kyoto, Jepang - Saat Tidak Banjir Sumber: (a). Dwiyani, (b) Bisri, 2011 |
Gambar 2b. Floodplain di Sungai Kamogawa, Kyoto, Jepang - Saat Banjir Sumber: (a). Dwiyani, (b) Bisri, 2011 |
Bantaran Sungai Citarum, seperti juga di banyak tempat di
Indonesia, tidak dilengkapi suatu dataran banjir (flood plain) sehingga kawasan
terbangun berjarak sangat dekat dengan badan sungai. Dengan demikian ketika
debit air sungai meningkat, maka area di sekitarnya sangat rentan untuk
langsung mengalami banjir (Gambar 1). Hal ini kontras dengan keadaan yang
terdapat di negara-negara maju yang menyediakan dataran banjir sehingga pada
saat banjir, area ini yang terlebih dahulu tergenang. Penetapan dimensi area
tersebut juga dilakukan sedemikian rupa sehingga pada kenaikan debit maksimal pun
kawasan terbangun di sekitarnya tidak mengalami banjir (Gambar 2). Pada saat
kondisi tidak banjir, area tersebut berfungsi sebagaimana ruang terbuka publik
pada umumnya.
Secara garis besar, tulisan ini akan mengulas teori-teori
perencanaan tata ruang yang terkait dengan resiko bencana. Teori ini dikaitkan
dengan ‘siklus fase bencana’ atau disaster cycle, yang umum dipakai pada studi
kebencanaan. Selanjutnya, konseptualisasi perencanaan tata ruang dan siklus
bencana diintegrasikan sehingga memunculkan dimensi dimana tata ruang dapat
berperan. Diskusi selanjutnya adalah mengulas kasus-kasus perencanaan tata
ruang kontemporer di Indonesia yang mengakomodasi pengurangan resiko bencana di
Indonesia. Pada bagian akhir, diusulkan beberapa komponen-komponen yang perlu
disertakan di dalam perencanaan tata ruang untuk pengurangan resiko bencana.
2. Fungsi Perencanaan Tata Ruang
Kesadaran akan pentingnya peran perencanaan tata ruang untuk
pengurangan resiko bencana termasuk cukup lambat, tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di Amerika seperti yang disampaikan oleh Burby et al (2000).
Pendekatan yang lebih umum dipakai adalah mitigasi fisik dan persiapan respon /
untuk tanggap darurat (Gambar 3). Mitigasi fisik mencakup pembuatan dam,
penguatan tanggul, serta pemasangan instalasi perangkat peringatan dini.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar alokasi pemerintah
Indonesia adalah dengan penguatan organisasi dan kapasitas yang terkait dengan
fase tanggap darurat atau respon ketika bencana terjadi. Pola – pola manajemen
bencana sampai dengan tahun 2007 adalah dikoordinasi oleh Badan Koordinasi
Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) ataupun Satuan Tugas Pelaksanaan
Penanggulangan Bencana (Satlak PB). Ini berarti usaha penanggulangan bencana
diselesaikan melalui mekanisme koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi.
Dengan demikian perencanaan tata ruang yang sejatinya adalah suatu instrumen
pengurangan resiko bencana yang dilakukan pada saat tidak terjadi bencana,
sampai dengan tahun 2007 belum benar – benar mendapatkan tempat sebagai
instrumen penting.
Gambar 3b. Kegiatan Tanggap Darurat di Tempat Pengungsian Erupsi Gunung Merapi, 2010 Sumber: Sagala (2008), Sagala (2010)) |
Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi
pembangunan yang multidimensi memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi
resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural)
maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan bentuk kegiatan mitigasi
yang akan digunakan akan bergantung kepada jenis bencana dan tujuan kegiatan
tersebut. Godschalk (1991) dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis
kegiatan mitigasi dan tujuan yang dapat diraih oleh kegiatan tersebut,
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1. Kegiatan – kegiatan tersebut dapat
digunakan untuk beberapa jenis bahaya alam sekaligus, hal ini memerlukan
keterampilan kajian resiko bencana sehingga pilihan intervensi menjadi sesuai.
Hal ini sejalan dengan fungsi implementasi perencanaan penggunaan rencana guna
lahan untuk manajemen ekosistem yang dapat dilakukan melalui pemutakhiran data,
pemetaan data kepemilikan, analisis dampak dari manusia; tujuan guna lahan; kebijakan
terdiri atas mekanisme insentif, akuisisi lahan, dan kebijakan lainnya.
Berbagai Jenis
Kegiatan Mitigasi dan Tujuan Penggunaanya
JENIS KEGIATAN MITIGASI
|
TUJUAN MITIGASI
|
Perencanaan tata guna lahan
|
Pengaturan pembangunan di lokasi yang aman
|
Building codes
|
Penguatan terhadap tekanan bahaya
|
Pengaturan zonasi
|
Pembatasan terhadap penggunaan area berbahaya
|
Pengaturan subdivisi
|
Penguatan infrastruktur terhadap bahaya
|
Analisis Bahaya / Pemetaan Resiko
|
Identifikasi area berbahaya
|
Sistem informasi bahaya
|
Peningkatan kesadaran terhadap resiko
|
Edukasi publik
|
Peningkatan pengetahuan mengenai bencana
|
Pemantauan / inspeksi
|
Pemantauan implementasi peraturan
|
Pengambilalihan lahan yang berbahaya
|
Pengalihan fungsi menjadi ruang terbuka/rekreasi
|
Relokasi
|
Pemindahan kondisi rentan ke lokasi yang aman
|
Insentif dan disinsentif pajak
|
Penciptaan motivasi untuk pindah ke lokasi aman
|
Asuransi bencana
|
Pemberian kompensasi terhadap kerugian ekonomi
|
Sumber: Godschalk, 1991:136 dalam
Kaiser et al (1995)
Di dalam menghasilkan tata ruang yang mempertimbangkan
unsur-unsur kebencanaan serta menentukan alat mitigasi yang akan digunakan,
teknik pertampalan (overlay) antara konsep pembangunan dengan daerah-daerah
beresiko bencana hasil analisis resiko perlu dilakukan. Hasil pertampalan dapat
digunakan untuk mengoreksi usulan perencanaan, baik struktur ruang, pola ruang,
maupun penentuan kawasan – kawasan strategis, yang diatur di dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, maupun Kota. Hal yang perlu
diperhatikan ialah adanya kebutuhan dan kesesuaian skala kedetailan resiko
bencana yang dihasilkan dengan tingkat kedetailan rencana tata ruang yang akan
diperkaya dengan resiko bencana tersebut. Sebagai contoh, peta resiko untuk
mengoreksi rencana rinci (misalnya RDTR) tentu berbeda dengan rencana umum tata
ruang (RTRW). Perbedaan ini juga secara signifikan menentukan seberapa detail
rekomendasi pengurangan resiko melalui perencanaan tata ruang dapat dihasilkan.
Pada akhirnya, usaha pertampalan harus berorientasi akhir pada keluaran produk
rencana tersebut karena rencana tata ruang merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan penataan ruang yang baku. Dengan demikian perencanaan tata
ruang hasil pengumpulan dan dan analisis informasi tentang kesesuaian
pembangunan dari daerah yang terpapar (exposed) terhadap bencana alam dapat
diketahui oleh masyarakat, investor potensial-pelaku usaha, dan pemerintah.
Jika dikaitkan dengan konsep pada HFA, maka sebenarnya
terdapat 5 fokus integrasi perencanaan tata ruang dengan pengurangan resiko
bencana, yakni: a) integrasi kajian resiko bencana ke dalam perencanaan
perkotaan, termasuk di dalamnya perhatian khusus terhadap permukiman yang
rentan terhadap bencana, b) pengarusutamaan pertimbangan resiko bencana
terhadap kegiatan pembangunan infrastruktur vital, c) Pengembangan dan
penggunaan alat pemantauan untuk mengukur aspek pengurangan resiko yang
diperoleh atas suatu kebijakan perencanaan tata ruang, d) integrasi kajian
resiko bencana terhadap perencanaan pembangunan perdesaan, terutama di daerah
pegunungan dan pesisir, serta e) revisi ataupun pengembangan terhadap building
code serta praktik rekonstruksi dan rehabilitasi pada tingkat nasional dan
lokal. Sampai dengan saat ini, kelima – limanya masih relevan dan belum dipraktikkan
dengan optimal di Indonesia.
Untuk konteks perhatian HFA yang pertama, dalam konteks
Indonesia memang telah dilakukan usaha integrasi pengurangan resiko bencana ke
dalam penyelenggaraan penataan ruang, yakni dapat dilihat dari keterkaitan
antara UU 24/2007 mengenai Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007 mengenai
Penataan Ruang. Persoalannya ialah sampai dengan saat ini belum terdapat suatu
ukuran baku mengenai bagaimana kajian resiko untuk setiap jenjang perencanan
perlu dilakukan sehingga dapat berdaya guna. Hal ini sejatinya dapat dikembangkan
karena pada dasarnya dapat dilakukan pengukuran kualitas rencana tata ruang,
secara kuantitatif, dan kaitannya dalam konteks mitigasi bencana (Brody, 2003).
Perencanaan tata ruang bertindak sebagai landasan utama pembangunan di daerah
dengan penentuan alokasi ruang dari yang bersifat umum sampai dengan rinci.
Sebagaimana disampaikan Mileti (1999) “tidak ada pendekatan yang mewujudkan
mitigasi bahaya secara berkelanjutan yang lebih menjanjikan dibanding
peningkatan pemanfaatan dari manajemen penataan ruang yang tangguh".
Konteks integrasi dan pengarusutamaan pengurangan resiko
bencana ke dalam perencanaan tata ruang di Indonesia juga dapat dikatakan
terlewatkan karena secara kontekstual pemantauan atas kualitas rencana itu
sendiri masih kurang terjamin, bahkan di dalam aspek – aspek umum yang telah
dipraktikkan bertahun – tahun. Dengan demikian, alternatifnya adalah untuk
menyertakan isu – isu lain yang berkaitan untuk membantu integrasi dan
pengarusutamaan ini, misalnya dengan konteks degradasi lingkungan. Dalam
kacamata resiko bencana, degradasi lingkungan dapat ditempatkan sebagai faktor
yang memperbesar kerentanan suatu daerah. Hal ini diamati, Becker et al (2010)
di Selandia Baru, dimana pengembangan kebijakan zonasi merupakan bagian dari
pembangunan berkelanjutan secara umum dari aspek lingkungan. Contoh lain dapat
juga dipelajari dari konteks Negara Jerman, yang menyediakan flood plain atau
dikenal juga dengan “leaving more space to rivers” yang dilakukan dalam konteks
penyediaan ruang terbuka (Shen, 2010).
Penekanan pentingnya dilakukan mitigasi dalam bentuk
pengaturan building code dan peraturan zonasi sama – sama disampaikan Godschalk
(1991) serta ditekankan dalam HFA. Namun demikian, kecenderungan terkini
menunjukkan bahwa hampir tidak ada suatu produk rencana rinci yang secara
akurat mampu menghasilkan peraturan zonasi yang baik serta jikapun ada, maka
masih sangat lemah dalam sisi implementasi. Dalam kaitannya dengan mitigasi
bencana, minimnya data analisis bahaya serta resiko pada tingkat mikro juga
menghambat implementasi arahan ini. Lebih lanjut, hal semacam ini hampir tidak
mungkin dilakukan secara mandiri oleh Tim Perencana suatu Kabupaten/Kota,
sementara sebenarnya terdapat banyak kajian resiko bencana pada tingkat makro,
messo, dan mikro yang tersebar di pusat – pusat penelitian atau perguruan
tinggi.
Aspek penting lain dari perencanaan tata ruang dan kaitannya
dengan pengurangan resiko bencana adalah fakta bahwa perencanaan dapat pula
berfungsi sebagai media pengambilan keputusan dalam pembangunan. Dengan
demikian keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk
mengurangi komponen pembentuk resiko, baik menghindari lokasi bahaya,
mengeliminasi kerentanan, sampai dengan memperkuat kapasitas. Sistem Infomasi
Geografis (SIG) adalah mata rantai yang mampu mengaitkan hal tersebut. SIG
mampu menciptakan protokol pengambilan keputusan untuk manajemen lahan dengan
mengembangkan model hubungan antara environmental values (termasuk komponen
pembentuk kerentanan) dengan berbagai data layer pada suatu wilayah perencanaan
(Brody, 2004). SIG memiliki peran dalam pembangunan berkelanjutan pasca
bencana, pada saat tanggap darurat dapat memberikan quick look yang informatif
dan komunikatif sehingga membantu pengambilan keputusan serta pada jangka
menengah dan panjang dapat menjadi basis utama dalam pembangunan.
3. Siklus Bencana dan Perencanaan Tata Ruang
Pengembangan kerangka kerja perencanaan berbasis kebencanaan
juga perlu dimaknai dalam konteks bagaimana proses dan produk perencanaan tersebut
dapat berkontribusi pada setiap tahap siklus bencana. Siklus bencana (Carter,
1991; Saffran, 2003; ADPC, 2006; Coppola, 2008), terlepas dari perkembangan
debat terbaru dalam studi kebencanaan yang memandang bahwa bencana tidak
terjadi seperti fase siklus bencana, dapat dikatakan masih relevan untuk
diterapkan sebagai alat analisis kejadian bencana dari sisi waktu (Gambar 4).
Di dalam siklus bencana, kejadian bencana ditempatkan sebagai
kejadian yang memicu kerugian dan kehancuran, untuk kemudian sesaat setelahnya
kemudian berlaku masa tanggap darurat. Pada masa tanggap darurat, fokus
kegiatan dititikberatkan pada penyelamatan dan pencarian korban, penanganan
pengungsian, pemberian kebutuhan dasar, dan sebagainya. Pasca tanggap darurat,
tahap selanjutnya adalah tahap pasca bencana atau disebut juga pemulihan. Pada
umumnya tahap ini terdiri atas kegiatan rehabilitasi untuk memulihkan
infrastruktur dasar serta kegiatan rekonstruksi, yakni pembangunan kembali
secara menyeluruh sampai dengan suatu kondisi yang dapat dikatakan sama seperti
sebelum kejadian bencana. Sebagai suatu siklus, maka tahap berikutnya dianggap
sebagai suatu tahap pra terhadap kejadian bencana berikutnya, dimana
pembangunan pada umumnya berlangsung. Dalam konteks pengurangan resiko bencana,
kegiatan seperti mitigasi, penyiapsiagan, pendidikan, dan peringatan dini,
berada pada tahap ini.
Gambar 4. Siklus Bencana |
Secara sederhana, perangkat kerja perencanaan tata ruang
sepertinya hanya berada pada domain tahap pra bencana. Hal ini memang benar
dalam konteks bahwa perangkat seperti perencanaan tata guna lahan, pengaturan
building codes, peraturan zonasi, kajian resiko, dan sebagainya dapat
dikerjakan pada saat tidak terjadi bencana. Namun demikian, hal yang perlu
diingat adalah bahwa keluaran dari perangkat tersebut akan terasa manfaatnya
ketika berhasil dilaksanakan dan mampu mengurangi resiko dampak dari kejadian
bencana. Sebagai contoh, kombinasi perencanaan tata ruang dan edukasi
masyarakat, dapat menghasilkan suatu sistem evakuasi yang baik, dimana jalur
evakuasi yang ditetapkan dipertimbangkan dengan seksama serta masyarakat itu
sendiri memahami tindakan evakuasi apa yang harus dilakukan pada suatu kejadian
bencana. Contoh lain dapat dengan baik disajikan oleh tindakan asuransi; dimana
tindakan ini tentu dilakukan pada saat tidak ada bencana, namun demikian pada
saat bencana terjadi, para korban bencana yang memiliki polis asuransi telah
terjamin dengan adanya mekanisme asuransi yang akan menggantikan kehilangan dan
kerugian harta benda yang dialami.
Di sisi lain, tahap pemulihan pasca bencana harus dipandang
sebagai titik awal dari kegiatan perencanaan itu sendiri, dimana perencanaan
yang dilakukan kemudian haruslah mengambil pelajaran dari kejadian bencana yang
baru terjadi untuk meningkatkan kualitas substansi sehingga resiko bencana masa
depan dapat dikurangi. Landasan untuk kebijakan ini telah disediakan, dimana
pada UU 26/2007 mengenai Penataan Ruang disebutkan bahwa pasca kejadian bencana
dimungkinkan untuk melakukan revisi rencana tata ruang. Kegiatan relokasi juga
merupakan salah satu yang paling sering dipertimbangkan pada tahap pemulihan.
Gambar 5. Keterkaitan Perencanaan Tata Ruang dan Manajemen Bencana |
4. Studi Kasus: Situasi Terkini di Indonesia
Sebelum era 90-an, pendekatan kebencanaan dalam tata ruang
difokuskan pada pembuatan peta-peta yang menunjukkan lokasi-lokasi berbahaya.
Di Indonesia, pendekatan ini termasuk pemetaan lokasi-lokasi yang berbahaya
karena kelerengan yang tinggi, dekat dengan daerah banjir, daerah sekitar gunung
berapi, dan daerah-daerah patahan. Kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopuncur)
merupakan salah satu contoh klasik di mana perencanaan tata ruang berbasis
kebencanaan tidak berjalan dengan baik. Lebih lanjut Indonesia juga telah 2
kali membuat peta kerawanan gempa dalam skala nasional, yang pertama dihasilkan
pada tahun 2002 dan kemudian direvisi pada tahun 2010. Peta ini kemudian
dijadikan standar nasional sehingga sejatinya dapat dijadikan rujukan untuk
penentuan building code ataupun mitigasi gempa lainnya, namun demikian masih
terdapat kebutuhan pembuatan peta – peta mikrozonasi untuk kerawanan dan resiko
gempa sebagai tindak lanjut peta tersebut (Irsyam et al, 2010). Hal yang serupa
juga terjadi dalam konteks peta bahaya gunung berapi yang telah dibuat bagi
beberapa gunung berapi aktif di Indonesia.
Perkembangan dan perubahan fundamental terjadi pasca Tsunami
Aceh pada tahun 2004, dimana fokus perhatian tidak lagi semata mengaitkan
analisis bahaya terhadap perencanaan tata ruang, tetapi telah bergeser kepada
analisis resiko. Bagian ini akan menguraikan 2 contoh kajian resiko, pada
tingkat makro dan mikro. Analisis pada tingkat makro dilakukan dalam sebagai
input untuk perencanaan tata ruang di Pantai Selatan Jawa dan analisis tingkat
mikro dilakukan sebagai input perencanaan detail tata ruang di Pantai
Pangandaran.
4.1 Tata Ruang Kawasan Rawan bencana Alam di Pantai Selatan Jawa Barat
Kegiatan arahan pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana di
Pantai Selatan Pulau Jawa, Bagian Barat dilakukan oleh Direktorat Penataan
Ruang Wilayah II Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia sebagai landasan
perubahan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang berbasis mitigasi bencana. Ruang
lingkup wilayah penyusunan arahan pemanfaatan ruang kawasan bencana alam makro
meliputi kabupaten/kota di Provinsi Banten dan Jawa Barat yang berada di pantai
bagian selatan, terbentang dari Kabupaten Pandeglang di barat sampai dengan
Kabupaten Ciamis di timur. Adapun total kecamatan yang dikaji sebagai unit
analisis sejumlah 84 kecamatan.
Lingkup penyusunan rencana ini mencakup pemetaan zona retakan
di Pantai Selatan Bagian Barat, peta kerentanan bencana alam, evaluasi RTRW
pada zona retakan, superimpose peta rawan bencana (longsor, banjir, gempa bumi,
dan tsunami), serta penyusunan criteria pemanfaatan ruang berdasarkan hasil
superimpose tersebut. Adapun keluaran yang dihasilkan mencakup: a) peta zona
rawan bencana alam (gunung api, longsor, banjir, gempa bumi, tsunami) beserta
kriteria pemanfaatan ruangnya dengan skala 1 : 5.000; b) arahan pemanfaatan
ruang kawasan rawan bencana alam; c) arahan teknis pada zona yang
teridentifikasi (identified zones); serta d) indikasi program strategis.
Gambar 6 Peta Resiko Gempa Bumi –Arahan Pemanfaatan Ruang Pansela Bagian Barat Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007 |
Gambar 7 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang berbasis Resiko Bencana di Pansela Bagian Barat Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007 |
4.2 Arahan Tata Ruang Pantai Pangandaran
Pada prinsipnya, rencana untuk Kawasan Pangandaran ini
menghasilkan rencana struktur, pola, dan indikasi program pemanfaatan ruang;
akan tetapi hal ini kemudian dikembangkan lebih lanjut guna penyusunan
peraturan zonasi (zoning regulation) di kawasan. Peraturan zonasi adalah
peraturan yang menjadi rujukan perizinan, pengawasan, dan penertiban dalam
pengendalian pemanfaatan ruang yang merujuk pada rencana tata ruang wilayah
yang telah menetapkan fungsi, intensitas, ketentuan tata massa bangunan, sarana
dan prasarana, serta indikasi program pembangunan. Peraturan zonasi yang
direncanakan bagi Kawasan Pangandaran dihasilkan dengan telah mengacu kepada
aspek resiko bencana yang multi-hazards. Gambar berikut menunjukkan bahwa
ketentuan zonasi yang lebih sesuai dapat dihasilkan dengan mempertimbangkan
faktor resiko bencana yang mungkin terjadi pada Kawasan Pangandaran.
Gambar 8 Peta Resiko Bencana Tsunami di Kawasan Pangandaran Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007 |
Gambar 9. Peta Zonasi berbasis Resiko Bencana di Kawasan Pangandaran Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2007 |
5. Perencanaan Tata Ruang yang Terintegrasi dengan Alat-alat PRB lain
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa di Indonesia
perencanaan tata ruang telah dipandang sebagai bagian tidak terpisahkan dari
lingkup kegiatan manajemen bencana dan sebaliknya juga kegiataan penataan ruang
dilakukan dalam kesadaran untuk mengurangi resiko bencana. Perkembangan dewasa
ini menunjukkan bahwa tata ruang tidak lagi merupakan satu – satunya alat cukup
untuk pengurangan resiko bencana. Alat-alat lain memainkan peran penting yang
perlu diperhatikan dan diintegrasikan dengan perencanaan tata ruang.
Salah satu alat PRB yang lain adalah penanganan bencana
berbasis komunitas (community based disaster risk reduction), dimana orang
diletakkan sebagai aktor aktif dalam pengurangan resiko bencana (people
centered approach) (Basher, 2006). Pendekatan ini muncul karena pendekatan yang
bersifat terpusat (top down) memiliki ciri-ciri yang lama, susah dalam
pengambilan keputusan dan berakibat kepada lambatnya respon dalam penanganan
bencana. Pendekatan berbasis masyarakat (partisipasi) yang memiliki nilai lokal
yang tinggi dinilai mampu mengeksplorasi kemampuan masyarakat yang sebelumnya
terlupakan (Shaw, 2009). Oleh karenanya sejak UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
disusun, salah satu hal yang ditekankan adalah mengenai partisipasi masyarakat
dan pendekataan bottom-up; hal ini juga sangat penting untuk diakomodasikan
sebagai mata rantai antara peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan
pengurangan resiko bencana.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu prediktor (faktor
penduga) yang penting di dalam memotivasi masyarakat untuk bersiap dalam
menghadapi resiko kejadian bencana seperti yang ditemukan dalam studi ketahanan
(resilience) masyarakat di Gunung Merapi (Sagala, 2009). Hal ini kemudian dapat
dimanifestasikan baik dalam persiapan individual maupun secara komunal,
termasuk di dalamnya kesepakatan terhadap tata guna lahan yang memasukkan unsur
resiko bencana ataupun hal – hal yang lebih praktis seperti jalur evakusi.
Di sisi lain, isu koordinasi menjadi sangat penting bila
berbicara pada skala penataan wilayah lintas administratif dan megakota (Sagala
et al, 2011; Cross, 2001). Ini sejalan juga dengan amanat HFA 1 yang bertujuan
untuk penguatan institusi yang menangani persoalan kebencanaan dan
pengarusutamaan kebencanaan di dalam program-program pembangunan.
Lebih lanjut proses persiapan masyarakat secara komunal
mensyaratkan pelibatan pihak yang tepat di dalam implementasi tata guna lahan
berbasis kebencanaan sangat penting. Dalam konteks ini, Chaskin (2001)
menekankan bahwa dalam usaha penguatan kapasitas masyarakat, termasuk dalam hal
kebencanaan, perlu dilakukan bersama tokoh di dalam masyarakat yang memiliki
daya kepemimpinan sehingga ide serta konsep dapat diterima dan
diimplementasikan. Di sisi lain aspek partisipasi masyarakat itu sendiri dapat
dikaji dalam kaitannya terhadap kualitas perencanaan secara umum ataupun dalam
konteks manajemen ekosistem termasuk mitigasi bencana di dalamnya (Brody,
2003).
Di dalam pengurangan kerentanan bencana, banyak pendekatan
perlu dilakukan. Salah satunya dengan peningkatan ketahanan komunitas
(community resilience) yang dapat dilakukan dengan mengadopsi perencanaan tata
ruang (Burby et al 2000). Twigg (2007), sebagai contoh, menjadikan komponen
tata ruang berbasis masyarakat sebagai salah satu indikator untuk menilaia
tingkat ketahanan masyarakat terhadap resiko bencana. Dalam hal ini tentu
terdapat gap antara rencana tata ruang yang dihasilkan perencana professional
dengan masyarakat. Namun demikian, yang terpenting adalah bahwa melalui
aktivitas merencanakan tata ruang di dalam masyarakat tersebut terdapat sense
untuk mengurangi resiko dan menjadi lebih siap jika sewaktu – waktu bencana
terjadi, sehingga mereka mengetahui jalur evakuasi dan tempat pengungsian
dengan lebih cepat. Kemudian hal ini perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan –
kegiatan pelatihan maupun drilling untuk membiasakan masyarakat dalam
melaksanakan perencanaan evakuasi dan kesiapsiagaan yang memanfaatkan
perencanan tata ruang dan manajemen bencana yang berbasis masyarakat.
Pengalaman Badai Katrina di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
penanganan berjalan tidak optimal karena koordinasi antara Pemerintah Federal
dan Negara Bagian saling tumpang tindih dan saling menunggu (Caruson dan
MacManus, 2008). Pelajaranya kemudian bahwa, usaha pengurangan resiko terhadap
bencana yang akan datang, termasuk dalam hal penataan ruang, lebih ditekankan
kepada Pemerintah Negara Bagian, dibandingkan dengan Pemerintah Federal. Pola
sejenis juga sebenarnya dipersiapkan di Indonesia, dimana Pemerintah Provinsi
harus dilengkapi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), termasuk
Kabupaten/Kota yang memiliki resiko bencana tinggi. Namun demikian, mekanisme
koordinasi antara BPBD dengan Bappeda sebagai induk perencanaan pembangunan
masih tidak jelas, dalam pengertian bagaimana kajian resiko bencana seharusnya
ditempatkan dan bagaimana kemudian dapat mengoreksi perencanaan tata ruang dan
perencanaan pembangunan pada umumnya. Isu koordinasi juga terletak dalam hal
pemantauan implementasi dan pengendalian tata ruang yang berbasis pengurangan
resiko bencana (Sagala et al 2011). Bappeda maupun Dinas Tata Ruang (pada
umumnya) merupakan dinas yang bertanggungjawab dalam perencanaan, namun siapa
yang memantau pemanfaatannya belum dengan jelas dialokasikan pada dinas
tertentu.
6. Kesimpulan
Tulisan ini telah mengkaji peran perencanaan tata ruang di
dalam pengurangan resiko bencana. Sebagaimana telah disebutkan di atas,
perencanaan tata ruang memiliki kemampuan untuk mengurangi resiko dengan cara
mengalokasikan peruntukan-peruntukan ruang (zonasi) untuk mengurangi besarnya
resiko yang ditimbulkan. Akan tetapi disadari pula bahwa perencanaan tata ruang
tidak mampu berdiri sendiri. Integrasi dengan alat-alat PRB yang lain perlu
dilakukan sehingga menghasilkan pengurangan resiko bencana yang komprehensif.
Daftar Pustaka
Basher, P. (2006). "Global Early Warning Systems for Natural Hazards,
Systematic and People-Centred." Philosophical Transactions of The Royal
Society A, 364, 2167-2182.
Becker, J., Saunders, W., Robertson, C., Leonard, G. and Johnston (2010) A
synthesis of challenges and opportunities for reducing volcanic risk through
land use planning in New Zealand
Brody, S. (2003). "Implementing the Principles of Ecosystem
Management Through Local Land Use Planning." Population and Environment,
24(6).
Burby, R., Deyle, R., Godschalk, D., and Olshansky, R. (2000).
"Creating hazard resilient communities through land-use planning."
Natural Hazards Review, 1(2), 99-106.
Burby, R., and French, S. (1981). "Coping with Floods: the Land Use
Management Paradox." Journal of American Planning Association, 47(3),
289-300.
Chaskin, R. (2001). Building Community Capacity, Sage Publication.
Cross, J. (2001). "Megacities and Small Towns: Different Perpectives
on Hazard Vulnerability." Environmental Hazards, 3, 63-80.
Irsyam, M., Sengara, I., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W.,
Natawidjaya, D., Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M., and
Ridwan, M. (2010). "Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia
2010." Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Kaiser, E., Godschalk, D., and Chapin Jr., F. (1995). Urban Land Use
Planning, Joseph Henry Press.
Mileti, D. (1999). Disaster by Design, Joseph Henry Press, Washington,
D.C.
Sagala, S., Handika, P., and Arisandy, M. (2011). "Megakota Jakarta:
Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya." Menarik Pelajaran
dari 50 Tahun Perjalanan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia, M. Gunawan,
S. Nurzaman, and S. Warpani, eds., Penerbit ITB, Bandung, 403.
Sagala, S., Okada, N., and Paton, D. (2009). "Predictors of Intention
to Prepare for Volcanic Risks, A case study of Mt. Merapi." Journal of
Pacific Rim Psychology, 3(2), 47-54.
Shaw, R., Sharma, A., and Takeuchi, Y. (2009). Indigenous Knowledge and
Disaster Risk Reduction: From Practice to Policy, Nova Publishers.
Shen, X. (2010). "Flood Risk Perception and Communication within Risk
Management in Different Cultural Context," PhD Thesis, United Nations
University-EHS Bonn.
Twigg, J. (2007). Characteristics of A Disaster - Resilient Community: A
Guidance Note, DFID: Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group.
UNISDR. "Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the
Resilience of Nations and Communities to Disasters." World Conference on
Disaster Reduction 18-22 January 2005,, Kobe, Hyogo, Japan.
Sumber Untuk Kutipan:
Sagala, S. dan Bisri,
M. (2011), Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia dalam
Anwar, H. dan Harjono, H. (ed), Perspektif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan
di Indonesia, Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia