Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan
perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda.
Tekanan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda
dan untuk menganalisis ruang yang sama. Perkembangan kota menurut J.H. Goode,
dipandang sebagai fungsi jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan,
kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial (Daldjoeni, 1998).
Perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zone-zone yang
berada dalam wilayah perkotaan. Dalam konsep ini Bintarto menjelaskan
perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan yang membentuk
zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaan (Bintarto, 1978).
Bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara
geografis dan karakteristik tempatnya. Pola perkembangan kota di atas tanah
datar terlihat pada gambar berikut :
Gambar Model Umum Pola Perkembangan Kota Sumber : Branch, 1996 : 52 |
Selanjutnya J.W. Alexander menyatakan bahwa karena keadaan
topografi tertentu atau karena perkembangan sosial ekonomi tertentu akan
terjadi perkembangan kota yang mempunyai pola menyebar, pola sejajar dan pola
merumpun. Pola menyebar (dispersed pattern) dari perkotaan terjadi pada keadaan
topografi yang seragam dan ekonomi yang homogen. Pola sejajar (linier pattern)
dari perkotaan terjadi sebagai akibat adanya perkembangan sepanjang jalan,
lembah, sungai atau pantai. Pola merumpun (clustered pattern) dari perkotaan terjadi
pada agak datar, tetapi terdapat beberapa relief lokal yang nyata dan
seringkali berkembang berhubungan dengan pertambangan (Jayadinata, 1999:179).
Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis
penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson mengemukakan 7 (tujuh) alternatif
bentuk kota (Yunus, 2001:133-141), yaitu :
a)
Bentuk satelit dan pusat-pusat baru (satelite and
neighbourhood plans), kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan
fungsional yang efektif dan efisien,
b)
Bentuk stellar atau radial (stellar or radial plans), tiap
lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal
perkotaan dan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan dan
berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan oleh raga bagi penduduk
kota,
c)
Bentuk cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang
di sepanjang jalan utama yang melingkar, dan dibagian tengah dipertahankan
sebagai daerah hijau terbuka,
d)
Bentuk linier bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan
yang lebih kecil tumbuh di kanan kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan
kotanya hanya terbatas di sepanjang jalan utama, sehingga pola umumnya linier,
di pinggir jalan biasanya ditempati bangunan komersial dan di belakangnya
permukiman penduduk,
e)
Bentuk inti/kompak (the core or compact plans), perkembangan
kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal, sehingga
memungkinkan konsentrasi bangunan padaareal kecil,
f)
Bentuk memencar (dispersed city plans), dalam kesatuan
morfologi yang besar dan kompak terdapat beberapa urban centre, dimana
masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi khusus dan berbeda satu dengan
yang lain,
g)
Bentuk kota bawah tanah (underground city plans), struktur
perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi, sehingga kenampakan kotanya
tidak dapat diamati di permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai
jalur hijau dan pertanian yang tetap hijau.
Daftar Pustaka:
Bintarto, R dan Surastopo Hadisumarno, Metode Analisa
Geografi, LP3ES Yogyakarta 1978.
Branch, Melville C, Perencanaan Kota Komprehensif Pengantar
dan Penjelasan, edisi terjemahan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
1996.
Daldjoeni, N, Geografi Kota dan Desa, Alumni Bandung, 1998.
Jayadinata, Johara T, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan
Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah, ITB Bandung, 1999.
Yunus, Hadi Sabari, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2001.
Nawanir, Hanif (2003), Studi Pengembangan Ekonomi dan
Keruangan Kota Sawahlunto Pascatambang, Tesis Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro (2003)