Devinisi dan Konsep Pariwisata

Eksistensi industri pariwisata di negara-negara yang telah berkembang dan maju perekonomiannya tidaklah terjadi begitu saja tanpa adanya sejarah pertumbuhannya dimasa lampau. Hal ini dapat dilihat dari permulaan adanya gejala-gejala bergeraknya orang-orang dari satu tempat ke tempat lain, dari satu daerah ke daerah lain di negara tersebut, di mana orang-orang itu disibukkan dengan adanya kegiatan-kegiatan baru di berbagai tempat, kota atau daerah di negeri itu sendiri atau negeri-negeri tetangga yang berdekatan. Institute Of Tourism In Britain (sekarang Tourism Society in Britain) di tahun 1976 merumuskan: ”Pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerja sehari harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut; ini mencakup kepergian untuk berbagai maksud, termasuk kunjungan seharian atau darmawisata/ ekskursi” (Nyoman S. Pendit, 1999).

Sementara menurut Happy Marpaung (2002), pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktivitas dilakukan selama mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Kegiatan berwisata dewasa ini telah menjadi suatu kebutuhan hidup bagi masyarakat dunia. Pariwisata berlangsung karena kegiatan seseorang untuk pergi ke suatu tempat yang belum pernah di kunjungi guna mencari sesuatu yang lain. Definisi baku tentang pariwisata tercantum dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Konsep dan batasan lain tentang pengertian pariwisata beberapa ahli berhasil dihimpun oleh Pitana (2005: 45 – 46) sebagai berikut:
a)    Murphy (1985) mendefinisikan bahwa pariwisata adalah keseluruhan elemen-elemen terkait (wisatawan, daerah tujuan, perjalanan, industri, dan lain-lain) yang merupakan akibat dari perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata, sepanjang perjalanan tersebut tidak permanen.

b)    Matheison dan Wall (1982) mengatakan bahwa pariwisata mencakup tiga elemen utama, yaitu: (a) a dynamic element yaitu perjalanan ke suatu destinasi wisata; (b) a static element yaitu singgah ke daerah tujuan; dan (c) a consequential element sebagai akibat dari dua hal di atas (khususnya pada masyarakat lokal) yang meliputi dampak ekonomi, sosial dan fisik dari adanya kontak dan interaksi dengan wisatawan.

Pengertian di atas terlihat bahwa pariwisata merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling mempengaruhi. Pariwisata dapat dipandang sebagai sebuah industri yang menguntungkan dan penting untuk dikembangkan. Pada abadi 21 ini pariwisata telah menjadi suatu kegiatan sosial – ekonomi – budaya yang terpenting di dunia dan menjadi salah satu industri ekspor terbesar di dunia. Organisasinya diatur secara internasional oleh World Tourism Organization (WTO) dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda. Spillane (1994: 30) mengelompokkan aktor utama pelaku pariwisata dalam tiga kelompok berikut:
a)    Manusia yang mencari kepuasan/kesejahteraan lewat perjalanannya sebagai wisatawan/ tamu (guests).
b)    Manusia yang tinggal dan berdomisili dalam masyarakat yang menjadi alat pariwisata yaitu tuan rumah/penduduk setempat (hosts).
c)    Manusia yang mempromosikan dan menjadi perantaranya yaitu bisnis pariwisata/perantara (brokers).

Lebih lanjut Spillane juga mengkategorikan lima bidang dalam industri pariwisata antara lain: hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, pusat wisata dan sovenir, serta bidang pendidikan kepariwisataan.

Suatu lokasi dijadikan obyek pariwisata (destinasi) menurut Spillane (1994: 63) karena memiliki lima unsur penting yaitu:
a)    Atraksi, yaitu bentuk-bentuk atraksi menarik yang ditawarkan oleh obyek wisata tersebut.
b)    Fasilitas, yaitu fasilitas yang menunjang kenyamanan wisatawan ketika mengunjungi obyek wisata.
c)    Infrastruktur, berupa jalan umum dan bangunan pendukung.
d)    Transportasi, yaitu kemudahan akses transportasi menuju obyek wisata.
e)    Keramahan masyarakat, yang menjadi nilai tambah suatu obyek wisata dan memberikan rasa nyaman dan aman bagi wisatawan.

Lebih lanjut menurut Kusudianto Hadinoto (1996, hlm; 21), sebagai produk yang di jual di Pasar Wisata, pariwisata merupakan suatu campuran dari tiga komponen utama, yaitu;
a)    atraksi dan destinasi
b)    fasilitas di destinasi
c)    aksesibilitas dari destinasi

Sampai tahun 90-an, pemerintah Indonesia masih mengembangkan konsep kepariwisataan yang memprioritaskan kelengkapan fasilitas bagi wisatawan. Kenyataannya, hingga saat ini perkembangan pariwisata masih didominasi oleh pariwisata modern/ konvensional yang bercirikan kegiatan wisata massal /massif, ekonomi sentris dan bersifat komersial. Pada dasarnya, upaya ini membutuhkan investasi yang cukup besar. Tetapi pengembangan pariwisata yang diupayakan pemerintah ternyata membawa dampak buruk terhadap masyarakat.

Situasi seperti ini cukup merugikan masyarakat di sekitar daerah pengembangan. Namun memasuki era reformasi sikap pemerintah terhadap pariwisata mulai berubah. Pemerintah mulai memperhatikan dampak-dampak utamanya dampak lingkungan yang di produksi oleh industri pariwisata selama beberapa dasawarsa terakhir ini.

Di pihak lain, dengan adanya dampak-dampak yang tidak menyenangkan dari pembangunan dan pengembangan pariwisata maka padangan masyarakat terhadap pariwisatapun mulai menjadi lebih kritis. Khususnya pandangan para ahli ilmu sosial, budaya, para ahli lingkungan, pemerhati lingkungan dan para pengamat pariwisata independen ( pengamat pariwisata yang tidak mempunyai hubungan struktural dengan pemerintah atau dengan industri pariwisata, dan lembaga swadaya masyarakat (H. Khodyat, 1999).

Atas dasar munculnya kesadaran akan dampak pariwisata yang tidak menyenangkan tersebutlah, maka para ahli berbagai bidang ilmu mulai merumuskan perlunya konsep baru dalam pembangunan pariwisata. Diakui adanya persoalan yang dilematis menyangkut pembangunan sektor pariwisata ini. Bahwa satu sisi industri pariwisata telah menyumbangkan devisa yang cukup besar terhadap negara, menumbuhkan varian peluang kerja baru kepada masyarakat dan peningkatan pendapatan masyarakat, namun disisi lain pariwisata telah mengakibatkan kerugian-kerugian yang tidak sedikit bagi keberlangsungan umat baik dari segi sosial, budaya dan lingkungan/ ekosistem.

Timbulnya kesadaran baru tentang pariwisata yang tumbuh sejalan dengan kesadaran tentang masalah-masalah sosial, budaya, kemiskinan, dan lingkungan. Suatu kesadaran bahwa pariwisata tidak hanya senantiasa menimbulkan dampakdampak yang menguntungkan, seperti penghasil devisa, menumbuhkan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi juga menimbulkan dampak-dampak yang tidak menguntungkan/ merugikan, baik terhadap nilai-nilai sosial budaya, nilai-nilai moral, harkat dan martabat manusia, dan perekonomian rakyat. Juga suatu kesadaran bahwa pariwisata ternyata bukan merupakan a smokeless industri (H. Kodhyat, 1999), suatu industri yang tidak mencemari lingkungan, tetapi dapat juga menimbulkan pencemaran bahkan kerusakan lingkungan. Dan dengan timbulnya kesadaran-kesadaran baru itu maka timbul pola serta kecendrungankecendrungan baru dalam pengembangan dan perkembangan pariwisata. Konsep baru pembangunan pariwisata yang dimaksud adalah “pariwisata alternatif” atau Alternative Tourism.

Mengacu kepada hasil lokakarya di Chiang Mai tahun 1984 menetapkan rumusan tentang definisi pariwisata alternatif adalah sebagai berikut;

“Alternative Tourism is a process which promotes a just form of travel between members of different communities. It seeks to achieve mutual understanding, solidarity and equality among participants.”

(Pariwisata Alternatif adalah sesuatu proses yang mengembangkan bentuk kegiatan wisata adil antara beberapa komunitas yang berbeda. Tujuannya adalah untuk menjalin saling pengertian, solidaritas dan kesetaraan antara pihak-pihak yang bersangkutan).

Sejak lokakarya Chang Mai pada tahun 1984 itu, gerakan pariwisata alternatif berkembang di berbagai belahan dunia. Untuk menyebarluaskan konsep dan prinsif-prinsif Alternative Tourism. Fokus perhatian gerakan pariwisata alternatif tertuju pada peningkatan kesejahteraan kelompok masyarakat di negara sedang berkembang. Melalui kegiatan pariwisata yang didasarkan atas kesetaraan dan keadilan untuk mengurangi timbulnya dampak-dampak negatif (H. Kodhyat, 1999).



Daftar Pustaka:

Aneka , Noor Lindawati, 2008, Dampak Pengembangan Pariwisata Dan Proses Marginalisasi Masyarakat Lokal : Studi Pengembangan Obyek Wisata Pantai Gedambaan di Desa Gedambaan, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan, "Tesis S2", Fakultas Ilmu Sosial UGM, Yogyakarta

H. Kodhyat, 1996, Sejarah Pariwisata Dan Perkembangannya Di Indonesia, Penerbit Grasindo, Jakarta

Kusudianto Hadinoto, 1996, Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Marpaung. H, 2002, Pengetahuan Kepariwisataan, Penerbit Alfabeta, Bandung

Pendit, N.S, 1999, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, Penerbit, PT. Anem Kosong Anem

Pitana, I Gde, 1999, Pelangi Pariwisata Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar

Pitana, I Gde, 2005, Sosiologi Pariwisata, Penerbit Andi, Yogyakarta

Spillane, J J, 1994, Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan, Penerbit Kanisius, yogyakarta

Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
Categories: