Tujuan dari kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan
peningkatan daya saing daerah. Tujuan pelaksanaan otonomi daerah ini
harus menjadi fokus kebijakan Pemerintah Daerah dalam seluruh proses
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bagi Pemerintah Daerah Kota,
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perkotaan akan lebih
difokuskan pada pengembangan perekonomian daerah dalam bidang industri,
perdagangan, dan jasa, karena keterbatasan potensi pertanian dalam
wilayah perkotaan. Dalam hal ini, dibutuhkan kreativitas dan inovasi
dari setiap Pemerintah Daerah Kota, terutama dalam mendorong sektor
swasta untuk mengembangkan sektor industri, perdagangan dan jasa, yang
dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Upaya
pengembangan perekonomian daerah dimaksud harus senantiasa mengindahkan
ketentuan hukum yang berlaku, karena perilaku kreativitas dan inovatif
biasanya bersifat "terobosan (breakthrough)", dapat saja melenceng dari
ketentuan peraturan perundangan. Meskipun secara akademik, setiap Kepala
Daerah memiliki diskresi kewenangan yang disebut "Freies Ermessen",
yakni kebebasan bertindak atau mengambil keputusan bagi pejabat publik
berdasarkan pendapat sendiri karena adanya kekosongan ketentuan hukum
tata negara, namun diskresi kewenangan ini tidak menjadi alasan
penyimpangan terhadap koridor hukum yang berlaku. Oleh karena itu,
Kementerian Dalam Negeri senantiasa mendorong Pemerintah Daerah untuk
berkreativitas dan berinovasi, namun harus tetap dalam koridor hukum
yang berlaku.
Upaya pengembangan perekonomian
daerah, yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah adalah
penyediaan prasarana dan sarana transportasi untuk memudahkan mobilitas
antar wilayah. Kondisi transportasi perkotaan pada sejumlah daerah di
Indonesia saat ini menunjukkan keadaan yang memprihatinkan, karena
selain tingginya tingkat kemacetan lalu lintas terutama pada ibukota
Provinsi, juga masih terbatasnya infrastruktur jalan dan jembatan yang
dapat menghambat mobilitas manusia dan barang antar wilayah. Untuk itu,
Pemerintah Daerah Kota untuk memfokuskan kebijakan daerah pada upaya
peningkatan penyediaan prasarana dan sarana transportasi wilayah bagi
kepentingan masyarakat dan pengembangan perekonomian daerah.
Menurut laporan World Trade Organization (WTO), secara akumulatif, sektor pariwisata mampu mempekerjakan sekitar 230 juta lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi ratusan milyar dollar terhadap perekonomian di berbagai negara.
Kita pernah mengalami masa emas
perkembangan pariwisata. Pada Tahun 1995, sektor pariwisata sempat
menjadi sektor penghasil devisa terbesar, dengan perolehan devisa
sekitar 15 milyar dollar AS, ketika ekspor kayu, tekstil, dan migas
mengalami penurunan. Namun pasca tahun 1998, sektor ini mengalami
penurunan yang cukup signifikan sebagai dampak gejolak sosial politik
dalam negeri, sehingga kunjungan wisatawan manca negara menurun drastis.
Selain itu, peristiwa terorisme, Flu Burung, dan gangguan keamanan
dalam negeri, turut berimplikasi terhadap menurunnya jumlah wisatawan
mancanegara, termasuk adanya kebijakan travel warning dari beberapa
negara untuk berkunjung ke Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, pada Tahun 2010, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke
Indonesia dari 20 pintu masuk, sejumlah 7 juta jiwa (naik sekitar 10,74 %
dibandingkan tahun sebelumnya), dengan rata-rata tinggal selama 7-8
hari dan rata-rata pengeluaran sejumlah kurang lebih 995 US$ (tahun
2009). Data ini menunjukkan bahwa dalam perspektif pembangunan nasional,
sektor pariwisata memiliki kontribusi bermakna bagi peningkatan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB), terutama bila dikaitkan dengan Sektor
Perhotelan Dan Restoran.
Kerjasama sinergis antara
Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat dalam mengembangkan
sektor pariwisata di daerah, agar dapat terwujud manajemen
kepariwisataan yang baik pada seluruh bidang pendukung, sehingga dapat
memberikan dampak yang signifikan terhadap daya tarik wisatawan, yang
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan asli daerah, pendapatan
masyarakat, dan berkontribusi pula terhadap peningkatan devisa negara.
Peran dan kontribusi sektor
swasta harus terus didorong dan difasilitasi dalam pengembangan
pariwisata, karena selama ini hampir sebagian besar obyek pariwisata
dikelola oleh Pemerintah Daerah. Di suatu provinsi misalnya, lebih dari
90% obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Hal ini akan
mengakibatkan tingginya tingkat ketergantungan manajamen obyek wisata
terhadap alokasi dana APBD. Padahal dalam mengefektifkan manajemen
kepariwisataan, diperlukan pemahaman yag tepat mengenai aktivitas
ekonomi pasar dari para pemangku kepentingan lainnya, yaitu dunia usaha
dan masyarakat.
Pemerintah Daerah perlu
memberikan perhatian khusus untuk meningkatkan keberhasilan sektor
pariwisata, antara lain dengan mengalokasikan dana APBD yang
proporsional untuk membiayai pembangunan infrastruktur kepariwisataan
(seperti jalan, listrik, dan telekomunikasi), memfasilitasi masyarakat
dan pihak swasta dalam mengelola potensi wisata (seperti wisata budaya
dan wisata alam), serta promosi dan pemasaran potensi wisata yang ada di
daerah.
Sinergi tiga pilar manajemen
kepariwisataan, yakni Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat,
merupakan kekuatan utama dalam meningkatkan perkembangan sektor
kepariwisataan di daerah. Kelemahan peran dari salah satu pilar, akan
sangat menghambat upaya pengembangan kepariwisataan.
Sumber:
DR.
Yuswandi A. Temenggung - (Direktur Jenderal Keuangan Daerah), Menggali
Potensi Pariwisata Untuk Meningkatkan Perekonomian Daerah (http://djkd.depdagri.go.id/?jenis=artkl&admo=1&pro=infoartikel&id=15#data