"Penerapan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta, antara lain melalui penerapan 3 in 1, Electronic Road Pricing (ERP), penggunaan kendaraan pribadi dengan nomor ganjil atau genap, serta pembatasan usia kendaraan bermotor."
Kemacetan
di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik
persimpangan baik di jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan.
Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Menurut sebuah
penelitian, kemacetan tersebut membuat masyarakat Jakarta mengalami
kerugian hingga Rp 48 triliun per tahun (Detik News, 26 Nop 2008).
Puncak kemacetan diperkirakan terjadi pada jam sibuk di pagi hari
(sekitar pukul 6.30-9.00 WIB) dan sore hari (sekitar pukul 16.30-19.30
WIB). Kemacetan ini mengakibatkan stres yang tinggi pada pengguna jalan,
meningkatnya polusi udara kota, hingga terganggunya kegiatan bisnis.
1) Tersusunnya suatu jaringan sistem transportasi yang efisien & efektif;
2) Meningkatnya kelancaran lalu-lintas dan angkutan;
3) Terselenggaranya pelayanan angkutan yang aman, tertib, nyaman, teratur, lancar dan efisien;
4) Terselenggaranya
pelayanan angkutan barang yang sesuai dengan perkembangan sarana
angkutan dan teknologi transportasi angkutan barang;
5) Meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan laut, udara dan darat maupun antar moda angkutan darat; dan
6) Meningkatnya disiplin masyarakat pengguna jalan & pengguna angkutan.
Tahun 2010 tinggal satu tahun ke
depan jauhnya. Apakah kondisi ideal seperti yang diharapkan dalam RTRW
DKI Jakarta ini dapat tercapai seperti yang diharapkan?
permasalahan transportasi yaitu
yang dikarenakan tidak terkendalinya pertumbuhan jumlah kendaraan
bermotor di Jakarta, serta buruknya pelayanan sistem angkutan umum yang
ada saat ini. Jumlah kendaraan bermotor saat ini jauh melebihi kapasitas
jalan yang ada. Menurut data Polda Metro Jaya, penambahan mobil baru di
Jakarta rata-rata 250 unit per hari, sedangkan sepeda motor mencapai
1.250 unit per hari. Pada tahun 2007, jumlah kendaraan yang melaju di
jalanan Jakarta yang panjangnya hanya 5.621,5 km mencapai 4 juta unit
per hari. Rata-rata pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dalam lima
tahun terakhir mencapai 9,5% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang
jalan hanya 0,1% per tahun. Ini berarti bahwa dalam beberapa tahun ke
depan, jalan di Jakarta akan tidak mampu menampung luapan jumlah
kendaraan yang terus tumbuh melebihi panjang jalan yang ada. Melihat
kondisi ini, maka perlulah ada pembatasan jumlah kendaraan yang melalui
jalan-jalan di Jakarta agar tidak melebihi kapasitas yang mampu
ditampungnya.
Bagaimana caranya untuk dapat
membatasi jumlah kendaraan yang melalui jalan-jalan di Jakarta tersebut?
Pemerintah DKI Jakarta mengatakan bahwa ada empat alternatif pilihan
untuk penerapan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di DKI Jakarta.
Aternatif tersebut antara lain adalah penerapan 3 in 1, Electronic Road
Pricing (ERP), penggunaan kendaraan pribadi dengan nomor ganjil atau
genap, serta pembatasan usia kendaraan bermotor. Metode 3 in 1 saat ini
sudah diimplementasikan di Jakarta, namun belum memberikan hasil yang
signifikan dalam mengurangi kemacetan. Cara ini pun sudah mulai
ditinggalkan oleh negara maju yang kemudian pindah ke metode ERP.
Electronic Road Pricing
Electronic
Road Pricing (ERP) menurut Wikipedia adalah “an electronic toll
collection scheme adopted in Singapore to manage traffic by road
pricing, and as a usage-based taxation mechanism to complement the
purchase-based Certificate of Entitlement system”. Pemerintah Singapura
yang telah menerapkan sistem ini mendefinisikan ERP sebagai “an
electronic system of road pricing based on a pay-as-you-use principle.
It is designed to be a fair system as motorists are charged when they
use the road during peak hours”.
Sistem Electronic Road Pricing
(ERP) merupakan sistem pungutan kemacetan menggunakan kartu elektronik.
Sistem ini membebankan sejumlah biaya kepada pemilik kendaraan karena
akan melewati suatu jalur tertentu sebab kendaraannya berpotensi
menyebabkan kemacetan pada waktu tertentu. Penggunaan sistem ini pernah
dilontarkan oleh mantan Gubernur Sutiyoso pada November 2006, dan
sekarang menjadi sebuah wacana yang akan diimplementasikan oleh Gubernur
DKI Jakarta (Fauzi Bowo). Menurutnya, sistem ini sangat cocok untuk
diberlakukan di Jakarta dan telah sejalan dengan kebijakan transportasi
makro di DKI Jakarta melalui peraturan daerah tentang pembatasan kawasan
lalu lintas. Melalui sistem ini, diharapkan dapat mengurangi pemakaian
kendaraan pribadi, dan penduduk beralih menggunakan kendaraan umum.
Jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 98% pengguna jalan,
sedangkan kendaraan umum hanya mengisi dua persen sisanya. Dengan
kondisi ini, pembatasan kendaraan pribadi dapat terlaksana hanya jika
bersamaan dengan ketersediaan sarana transportasi publik (kendaraan
umum) yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta
saat ini masih terus mengkaji untuk mematangkan sistem tersebut.
Penerapan sistem ERP berupa pungutan kemacetan ini pertama-tama akan
dicoba untuk diterapkan pada jalan-jalan strategis dan menguntungkan
secara ekonomis. Pemprov DKI Jakarta pun telah mendatangkan tenaga ahli
dari Jepang untuk melakukan kajian mendalam mengenai hal ini, termasuk
dampaknya terhadap lingkungan dan keuntungan kualitas udara yang akan
diperoleh. Kajian tersebut diperkirakan selesai tahun 2009, dan
aplikasinya dimulai tahun 2010 dengan penerapan pertama pada koridor I
busway. Diperkirakan pada tahun 2013 ketujuh koridor telah dapat
menerapkan sistem ERP ini. Dewan Provinsi Jakarta sendiri telah membahas
dan memberikan sinyal persetujuan untuk menerapkan sistem ini. Namun
masih belum dapat diketahui dengan pasti, berapa jumlah retribusi yang
harus dikenakan pada pengguna jalan serta bagaimana mekanisme
pengelolaan hasil keuangannya.
Electronic Road Pricing atau
dikenal pula sebagai Congestion Pricing telah sukses diaplikasikan di
Singapura, Stockholm, London, Oslo dan beberapa kota lain. Masyarakat
Transportasi Indonesia (MTI) pun menyatakan bahwa ERP bisa dijadikan
salah satu alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan kemacetan di
kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan
dan Makassar.
Road Pricing di Singapura
Singapura
telah mengimplementasikan sistem ERP sejak tahun 1975, dengan cara
pengawasan manual oleh polisi lalulintas pada kawasan di sekitar pusat
kota. Pada September 1998, sistem tersebut ditingkatkan dengan teknologi
Electronic Toll Collection (ETC). Penerapan sistem ini oleh Land
Transport Authority (LTA) dilaksanakan setelah melakukan suatu
perencanaan yang hati-hati dan uji coba yang berhasil. Biaya retribusi
yang dibayar oleh pengguna jalan merupakan bagian dari pemberlakukan
suatu paket sistem pembatasan kepemilikan yang tegas, yang diberlakukan
karena keterbatasan lahan di negara tersebut. Sistem ini dilakukan
sebagai suatu kebutuhan kompetitif secara ekonomi dan untuk menghindari
kemacetan lalu lintas yang banyak terjadi di kota-kota besar di dunia.
Salah satu aspek kunci dari
pengelolaan lalu lintas di Singapura adalah pembatasan kepemilikan
kendaraan, baik dengan cara meninggikan biaya kepemilikan atau pun
pembatasan pertumbuhan jumlah kendaraan. Cara ini telah mengikutsertakan
pula pajak jalan tahunan yang tinggi serta biaya registrasi kendaraan.
Selain biaya fiskal yang yang tinggi, ketersediaan kendaraan bermotor di
Singapura pun telah diatur sejak tahun 1990 melalui Sistem Kuota
Kendaraan (vehicle quota system).
Biaya-biaya terkait lainnya seperti pajak bahan bakar (50% dari harga
jual) serta, biaya parkir yang tinggi, digunakan sebagai alat oleh
pemerintah setempat dalam pelaksanaan sistem pembatasan ini selanjutnya.
Bersamaan dengan pelaksanaan sistem tersebut, pemerintah setempat pun
telah mempersiapkan sistem transportasi publik dan menerapkan sistem
“park-and-ride”. Dengan begitu, warga yang membutuhkan sarana
transportasi dapat mengaksesnya dengan mudah. Dengan kata lain, strategi
transportasi dan perkotaan di Singapura adalah memberi kemudahan
transportasi publik pada warganya dengan implikasi pembatasan
kepemilikan kendaraan pribadi yang tegas. Hasilnya, walaupun negeri ini
memiliki pendapatan perkapita yang tertinggi di Asia, namun hanya kurang
dari 30% warganya yang memiliki kendaraan prbadi.
Pembatasan Kendaraan Dengan Nomor Ganjil Atau Genap
Pengaturan
penggunaan jalan untuk nomor plat kendaraan ganjil dan genap ini pernah
mencuat sebagai alternatif untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Jumlah
populasi kendaraan bernomor ganjil diperkirakan sekitar 50% dan
kendaraan genap juga 50%. Secara matematis, jika sistem ini diberlakukan
maka akan mempengaruhi secara signifikan jumlah kendaraan yang
menggunakan jalan-jalan di Jakarta pada waktu yang bersamaan. Dengan
begitu, kemacetan di DKI Jakarta dapat terkurangi sekitar 50%. Jika
dihitung dan dikaitkan dengan populasi kendaraan seperti di atas, maka
semestinya sistem pembatasan kendaraan dengan nomor ganjil dan genap ini
bisa diterapkan dan merupakan salah satu pilihan yang tepat.
Kendaraan pribadi dengan plat
nomor ganjil dan genap bergantian menggunakan jalan-jalan yang mengalami
kemacetan. Pengecualian dapat diberikan pada kendaraan umum, polisi,
ambulan, pemadam kebakaran serta lain-lain yang melayani kepentingan
publik. Kendaraan milik perusahaan diperbolehkan berjalan dengan adanya
izin dari instansi terkait misalnya berupa stiker khusus yang dapat
diperoleh setelah pemenuhan persyaratan oleh perusahaan yang
bersangkutan, dan dibatasi misalnya satu mobil per perusahaan atau
sesuai dengan proporsi antara karyawan dan kebutuhan
mobilitas/pengangkutan yang diperlukan.
Pemberlakuan sistem pengaturan
nomor plat ganjil dan genap ini pernah dilaksanakan oleh kota Beijing
pada saat penyelenggaraan Olimpiade di bulan Agustus 2008. Hasilnya
adalah jalan raya di kota Beijing bebas dari kemacetan parah dan udara
pun lebih bersih dibanding hari-hari biasa.
Pemberlakuan Nomor Ganjil dan Genap di Kota Beijing
Untuk
mengatasi kemacetan di Kota Beijing akibat menumpuknya kendaraan di
jalan raya, pemerintah setempat memberlakukan larangan dan kebebasan
bagi kendaraan melintas di jalan raya dengan berpatokan pada nomor plat
ganjil dan nomor plat genap. Kendaraaan dengan nomor polisi yang angka
terakhirnya genap atau ganjil memiliki hari-hari tertentu di mana mobil
tersebut tidak boleh dipergunakan. Apabila kendaraan ini terlihat
digunakan, maka pengemudi mobil tersebut akan ditindak sesuai hukum yang
berlaku. Kebijakan ini muncul pada saat kota Beijing menjadi tuan rumah
Olimpiade pada bulan Agustus 2008 dan diterapkan kembali sejak tanggal
11 Oktober 2008. Tujuannya semata-mata bukan saja mengurangi kepadatan
lalu lintas, namun juga menciptakan udara kota yang bersih. Dengan
ketentuan tersebut, beberapa kendaraan milik pemerintah, juga kendaraan
milik perusahaan swasta dan pribadi, diharapkan akan ”hilang” dari
peredaran di jalan raya selama adanya ketentuan itu.
Ketentuan yang berlaku adalah
mobil yang memiliki plat nomor akhir angka 1 dan 3 hanya boleh melintas
pada hari Senin, sementara kendaraan dengan plat nomor akhir 2 dan 4
hanya boleh melintas pada hari Selasa. Kendaraan dengan plat nomor akhir
5 dan 7 hanya boleh melintas pada hari Rabu, plat nomor akhir 6 dan 8
hanya boleh melintas pada hari Kamis dan plat nomor akhir 9 dan 0 hanya
boleh melintas pada hari Jumat. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu
semua pemilik mobil pribadi diijinkan untuk menggunakan mobil
pribadinya. Bagi pengendara atau pemilik mobil yang melanggar ketentuan
itu, akan dikenakan denda sebesar 100 yuan atau sekitar US$14,7.
Ketentuan larangan melintas di
jalan raya bagi mobil pribadi dilakukan selama enam bulan (hingga 10
April 2009) dan tidak berlaku untuk kendaraan polisi, ambulans, pemadam
kebakaran, bis, taksi, serta kendaraan lain untuk layanan masyarakat.
Dengan pengaturan ini, pemerintah Beijing mengharapkan 800 ribu
kendaraan tidak melintas di jalan raya, sehingga kemacetan dan tentu
saja udara bersih bisa tercipta. ”Adanya ketentuan ini diharapkan bisa
mengurangi kepadatan arus lalu lintas hingga 6,5% dan memperlancar arus
kendaraan melintas di ring keempat setidaknya delapan persen,” tutur
Wang Zhaorong, seorang pejabat senior di Komite Komunikasi Kotamadya
Beijing, seperti dikutip oleh Xinhua.
Sebelum dilakukan penerapan
ketentuan baru itu, pemerintah setempat telah melakukan sosialisasi
kepada masyarakat baik melalui media cetak maupun elektronik, sehingga
pemilik kendaraan tidak terkejut dan melanggar ketentuan baru tersebut.
Untuk mensosialisasikan pengaturan ini, maka polisi lalu lintas hanya
memberikan peringatan melalui mulut kepada para pelanggar selama satu
minggu pertama dan tidak mengenakan denda uang. Pada minggu berikutnya
barulah peraturan ini diberlakukan sebagaimana mestinya.
Dengan pemberlakuan sistem
pengaturan ini, maka pada saat berlangsungnya olimpiade dan paralimpik,
kepadatan arus lalu lintas menurun hingga 21,2% dan rata-rata kecepatan
berkendaraan pada saat jam sibuk meningkat 25,8% yaitu menjadi 30,2
kilometer per jam. P?olusi di kota Beijing pun bisa ditekan cukup
siginifikan, yakni mengurangi hampir 12 ribu ton emisi yang dikeluarkan
oleh kendaraan bermotor.
Sekalipun diberlakukan larangan
melintas bagi mobil untuk plat nomor tertentu, tapi pemerintah setempat
tidak memberlakukannya secara semena-mena. Pemerintah telah menyediakan
sarana transportasi umum massal yang memadai, sehingga masyarakat
pemilik kendaraan pribadi tidak bertambah susah dengan pemberlakuan
pembatasan kendaraan tersebut. Wakil kepala komite komunikasi kotamadya
Beijing (Zhou Zhengyu), mengatakan bahwa pemerintah telah menyediakan
sarana transportasi massal yang memadai dan nyaman misalnya dengan cara
memperpanjang jam operasi bis umum dan kereta bawah tanah, sehingga
masyarakat tidak perlu khawatir dengan ketentuan itu. Layanan
transportasi publik benar-benar ditingkatkan baik kualitas maupun
kuantitasnya ketika sistem tersebut diberlakukan.
Pembatasan Usia Kendaraan
Ketua
Organisasi Angkutan Darat DKI Jakarta (Herry Rotti) menyatakan bahwa
pembatasan kendaraan pribadi sebenarnya sudah ada dalam peraturan
daerah. Namun Pemprov DKI Jakarta masih dihadapkan pada dilema untuk
mengimplementasikannya. Bila usia kendaraan dibatasi, maka akan banyak
kontra dari masyarakat yang mempunyai kendaraan berusia di atas 10-15
tahun. Kendaraan-kendaraan yang berusia di atas 10-15 tahun tidak
diperkenankan menggunakan jalan-jalan di kota Jakarta. Lalu, harus
kemana kendaraan-kendaraan tersebut? Pada sejumlah negara yang
menerapkan pembatasan usia kendaraan, pemerintah membeli
kendaraan-kendaraan yang usianya melampaui batas tertentu tersebut.
Untuk itu pemerintah harus memiliki cadangan dana yang cukup besar untuk
membeli kembali kendaraan yang dinilai sudah kadaluwarsa. Kalau
pemerintah ternyata tak sanggup membelinya, maka kebijakan itu hanya
akan merugikan masyarakat dan menimbulkan kekacauan sosial.
Penutup
Ketika
aturan/sistem pembatasan kendaraan pribadi akan diimplementasikan, maka
transportasi publik juga harus sudah siap untuk melayani masyarakat,
setidaknya dengan kenyamanan dan biaya yang mendekati biaya yang harus
ditanggung oleh masyarakat jika menggunakan kendaraan pribadi. Dengan
begitu, penggunaan kendaraan umum dapat menjadi pilihan yang setara
dengan penggunaan kendaraan pribadi. Sistem transportasi publik yang
berjalan mantap akan mendukung pemberlakuan sistem pembatasan kendaraan,
sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih menggunakan
transportasi publik
Sumber:
Tim Redaksi Butaru (judul asli: Pembatasan Kendaraan untuk Mengurangi Kemacatan Jakarta), Buletin Tata Ruang, Maret-April 2009 (Edisi: Meningkatkan Daya Saing Wilayah)