1. Latar Belakang
Perencanaan
Tata Ruang wilayah merupakan suatu upaya mencoba merumuskan usaha
pemanfaatan ruang secara optimal dan efisien serta lestari bagi kegiatan
usaha manusia di wilayahnya yang berupa pembangunan sektoral, daerah,
swasta dalam rangka mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Penyusunan
tata ruang merupakan tugas besar dan melibatkan berbagai pihak yang
dalam menjalankan tugas tidak terlepas dari data spasial. Data spasial
yang dibutuhkan dalam rangka membuat suatu perkiraan kebutuhan atau
pengembangan ruang jangka panjang adalah bervariasi mulai dari data yang
bersifat umum hingga detail. Bentuk data spasial untuk kegiataan
penataan ruang umumnya berupa peta digital dan peta analog yang
masing-masing mempunyai karakteristik dan spesifikasi yang berbeda,
dimana jenis dan ruang lingkup serta kedetailan rencana tata ruang
sangat menentukan. Berkaitan dengan kesiapan data spasial untuk
mendukung tata ruang, ada beberapa titik kritis yang perlu mendapatkan
perhatian kaitannya dengan prosedur kerja antara lain:
- Belum
adanya format data dan skala peta dasar yang baku untuk penyusunan tata
ruang dalam berbagai tingkat. Ada perbedaan format baku peta dengan
format operasional, demikian juga skala peta dikaitkan dengan jenis data
yang harus digunakan dan prosedur pengolahan data.
- Pengalaman menunjukkan bahwa
belum memadainya kesadaran akan pentingnya penyediaan data spasial yang
akurat dari kalangan pengguna. Data spasial yang akurat tidak dilihat sebagai komoditas yang strategis untuk kepentingan jangka panjang.
- Pembuatan atau
penyusunan data spasial skala 1 : 250.000 hingga 1 : 5000 untuk tata
ruang detail dilakukan dengan anggapan peta sudah tersedia dan tidak
disediakan alokasi biaya untuk pembuatan peta tersebut. Dampaknya adalah peta yang digunakan sudah kadaluarsa.
- Pada berbagai rencana kegiatan, ketelitian peta yang dibutuhkan kadang-kadang bukan merupakan hal yang utama, yang diutamakan adalah penyebaran temanya. Informasi lokasi dan batas-batas fisik lebih diutamakan (bukan kepastian koordinat), sedangkan dalam beberapa hal misalnya infrastructure management kepastian lokasi harus dicirikan dengan ketepatan koordinat.
Kelengkapan
dan kebenaran (kualitas) input data spasial akan sangat berpengaruh
pada hasil atau keluarannya. Tanpa adanya data spasial yang memadai
dalam arti kualitas planimetris dan informasi kualitatif, maka proses
pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara benar dan
bertanggung jawab.
2. Penginderaan Jauh untuk Pengembangan Wilayah
2. Penginderaan Jauh untuk Pengembangan Wilayah
Suatu
wilayah baik di pedasaan maupun di perkotaan menampilkan wujud yang
rumit, tidak teratur dan dimensi yang heterogen. Kenampakan wilayah
perkotaan jauh lebih rumit dari pada kenampakan daerah pedesaan. Hal ini
disebabkan persil lahan kota pada umumnya sempit, bangunannya padat,
dan fungsi bangunannya beraneka. Oleh karena itu sistem penginderaan
jauh yang diperlukan untuk penyusunan tata ruang harus disesuaikan
dengan resolusi spasial yang sepadan. Untuk keperluan perencanan tata
ruang detail, maka resolusi spasial yang tinggi akan mampu menyajikan
data spasial secara rinci. Data satelit seperti Landsat
TM dan SPOT dapat pula digunakan untuk keperluan penyusunan tata ruang
hingga tingkat kerincian tertentu, misalnya tingkat I (membedakan kota
dan bukan kota). hingga sebagian tingkat II (perumahan, industri,
perdagangan, dsb.). Sedangkan
untuk tingkat III (rincian dari tingkat II, misalnya perumahan teratur
dan tidak teratur) dan tingkat IV (rincian dari tingkat III, misalnya
perumahan teratur yang padat, sedang, dan jarang.
Welch (1982) menyatakan bahwa untuk penyusunan tata ruang perkotaan di Amerika Serikat dengan memanfaatkan data penginderaan jauh, menggunakan konsep hubungan antara resolusi spasial data penginderaan jauh dan tingkat kerincian data yang dihasilkan.
Welch (1982) menyatakan bahwa untuk penyusunan tata ruang perkotaan di Amerika Serikat dengan memanfaatkan data penginderaan jauh, menggunakan konsep hubungan antara resolusi spasial data penginderaan jauh dan tingkat kerincian data yang dihasilkan.
3. Landasan Hukum Penyusunan Tata Ruang
Struktur
perencanaan pembangunan nasional yang dicirikan dengan terbitnya
Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tantang sistem perencanaan nasional, maka
kepala daerah terpilih diharuskan menyusun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di
daerahnya masing-masing. Dokumen RPJM ini akan menjadi acuan pembangunan
daerah yang memuat antara lain visi, misi, arah kebijakan dan
program-program pembangunan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dengan
demikian terkait kondisi tersebut, maka dokumen Rancana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut.
Dengan kata lain RTRW yang ada merupakan bagian dari terjemahan visi,
misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur
pemanfaatan ruang.
Landasan
hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada
Undang-Undang Nomer 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. Pedoman ini
sebagai landasan hukum yang berisi tentang kewajiban setiap Propinsi,
Kabupaten dan Kota untuk menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan
pelaksanaan pembangunan daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun tata
ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.
Menindak lanjuti Undang-Undang tersebut di atas, Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan enam pedoman bidang
penataan ruang, meliputi :
- Pedoman penyusunan RTRW propinsi.
- Pedoman Penyusunan Kembali RTRW propinsi.
- Pedoman penyusunan RTRW kabupaten
- Pedoman penyusunan kembali RTRW kabupaten.
- Pedoman penyusunan RTRW perkotaan.
- Pedoman penyusunan kembali RTRW perkotaan.
Pedoman
seperti tertulis di atas sebagai acuan bagi para penanggung jawab
pengembangan wilayah propinsi, kabupaten dan kawasan perkotaan. Pedoman
penyusunan RTRW meliputi kegiatan penyusunan mulai dari persiapan
hingga proses legalisasi. Hal-hal teknis operasional yang belum diatur
dalam keputusan Menteri ini diatur lebih lanjut oleh pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang,
rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang
sangat umum sampai tingkat yang sangat rinci seperti dicerminkan dari
tata ruang tingkat propinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk
tata ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir,
pulau-pulau kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya.
Mengingat
rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan
nasional dan pembangunan daerah, maka tata ruang nasional, propinsi dan
kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari
aspek substansi dan operasional harus konsistensi.
RTRW
nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang
wilayah negara yang meliputi tujuan nasional dan arahan pemanfaatan
ruang antar pulau dan antar propinsi. RTRW nasional disusun pada tingkat
ketelitian skala 1 : 1.000.000 untuk jangka waktu selama 25 tahun.
RTRW
propinsi merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan runag
wilayah propinsi yang berfokus pada keterkaitan antar
kawasan/kabupaten/kota. RTRW propinsi disusun pada tingkat ketelitian
skala 1 : 250.000 untuk jangka waktu 15 tahun.
RTRW
kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang yang disusun berdasarkan
perkiraan kecenderuangan dan arahan perkembangan untuk pembangunan
daerah di masa depan. RTRW kabupaten/kota disusun pada tingkat
ketelitian 1 : 100.000 untuk kabupaten dan 1 : 25.000 untuk daerah
perkotaan, untuk jangka waktu 5-10 tahun sesuai perkembangan daerah.
4. Ruang Lingkup Analisis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Berdasarkan
landasan hukum dan pedoman umum penyusunan tata ruang, substansi data
dan analisis penyusunan RTRW propinsi dan kabupaten adalah sebagai
berikut :
4.1. Ruang Lingkup RTRW Propinsi
a. Substansi data dan analisis
- Kebijakan pembangunan
- Analisis regional
- Ekonomi regional
- Sumberdaya manusia
- Sumberdaya buatan
- Sumberdaya alam
- Sistem permukiman
- Penggunaan lahan
- Analisis kelembagaan
b. Substansi RTRW propinsi
- Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang
- Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya
- Arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan tematik
- Arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya.
- Arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan
- Arahan pengembangan sistem prasarana wilayah
- Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan
- Arahan kebijakan tata guna tanah , air, udara dan sumberdaya alam Lain.
4.2. Ruang Lingkup RTRW Kabupaten
a. Substansi data dan analisis
- Kebijakan pembangunan
- Analisis regional
- Ekonomi dan sektor unggulan
- Sumberdaya manusia
- Sumberdaya buatan
- Sumberdaya alam
- Sistem permukiman
- Penggunaan lahan
- Pembiayaan pembangunan
- Analisis kelembagaan
b. Substansi RTRW propinsi
- Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang
- Rencana pengelolaan kawasan lindung dan budidaya
- Rencana pengelolaan kawasan pedesaan, perkotaan dan tematik
- Rencana sistem prasarana wilayah
- Rencana penatagunaan tanah , air, udara dan sumberdaya alam Lain.
- Rencana sistem kegiatan pembangunan
5. Pola Pemetaan Pemanfaatan Ruang Berwawasan Lingkungan di Indonesia
Adanya
peraturan perundang-undangan penyusunan tata ruang yang bersifat
nasional, seperti Undang-Undang No 25 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 kiranya dapat
digunakan pula sebagai dasar dalam melaksanakan pemetaan mintakat ruang
sesuai asas optimal dan lestari. Untuk menata ruang yang optimal dengan
prinsip lestari perlu adanya perencanaan yang holistik antara potensi,
kondisi dan kebutuhan akan sumberdaya ruang. Penyusunan tata ruang dalam
konteks ini bukan sekedar mengalokasikan tempat untuk suatu kegiatan
tertentu, melainkan menempatkan tiap tiap kegiatan penggunaan lahan pada
bagian lahan yang berkemampuan serasi dan lestari untuk kegiatan
masing-masing. Oleh karena itu hasil penyusunan tata ruang bukan tujuan,
akan tetapi sarana. Yang menjadi tujuan tata ruang ialah manfaat total
lahan/ruang dengan sebaik-baiknya dari kemampuan total lahan secara
sinambung atau lestari.
6. Penanganan Masalah yang Berkaitan dengan Data Spasial
Dalam
menangani masalah ketersediaan data spasial yang up to date, salah satu
data spasial yang saat ini banyak digunakan sebagai data dasar untuk
penyusunan tata ruang adalah informasi spasial yang diturunkan dari data
penginderaan jauh. Data penginderaan jauh mempunyai berbagai jenis dan
tingkat ketelitian, disamping itu data penginderaan jauh juga dapat
memberikan data real time serta selalu diperbaharui. Teknologi
penginderaan jauh mampu menyediakan data mulai dari skala 1 : 1000.000
sampai dengan 1 : 5000. Oleh karena itu pemanfaatan informasi spasial
dari data penginderaan jauh untuk tata ruang telah mencakup seluruh
skala dan sangat fleksibel disesuaikan dengan tujuan penyusunan tata
ruang, apakah untuk tingkat nasional, propinsi, kabupaten atau detail
teknis.
Tidak
tersedianya informasi spasial yang ideal untuk mendukung seluruh ruang
lingkup analisis penyusunan tata ruang baik dalam aspek kuantitatif dan
kualitatif bagaimanapun harus ditutupi dengan pemanfaatan data satelit
penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan data spasial lainnya
melalui pendekatan SIG. Salah satu pendekatan cerdas untuk
mengoptimalkan pemanfaatan data satelit penginderaan jauh adalah
melakukan kombinasi data penginderaan jauh dengan data kontur dari Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dan data koordinat planimateris dari Global Positioning System (GPS)
untuk memperolah informasi yang lebih akurat serta informasi morfometri
(kemiringan lereng, panjang lereng dan bentuk lereng serta ketinggian
relatifnya) sesuai dengan skala yang dibutuhkan. Sedangkan aspek
kualitatif yang merupakan informasi penutup lahan/penggunaan lahan dapat
digunakan sebagai informasi kualitatif terkini untuk mendukung
perencanaan tata ruang dengan tambahan kegiatan verifikasi lapangan (ground truth).
Verifikasi lapangan akan sangat efektif hasilnya jika dilakukan oleh
mereka yang memahami dan menguasai kondisi wilayah bersangkutan. Hal ini
akan sangat efisien dan efektif apabila terjalin pelaksanaan kerjasama
antara instansi penyedia data satelit penginderaan jauh dengan instansi
pengguna, khususnya pemerintah daerah guna menghasilkan informasi
keruangan yang diturunkan dari citra satelit yang diverifikasi secara
bersama.
7. Penutup
Dimasa yang akan datang diharapkan seluruh pemangku kepentingan (stake holder)
yang terlibat dalam penyusunan tata ruang, baik di tingkat propinsi
maupun kabupaten/kota dapat memanfaatkan keunggulan teknologi
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk mendukung
penyusunan tata ruang. Dengan demikian minimnya atau ketidaktersediaan
data spasial yang selama ini menjadi kendala utama dalam penyusunan
tataruang dapat dengan cepat teratasi.