Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP)


Sumber: Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah Selaku Ketua Badan Kebijaksanaan Dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N) Nomor : 217/KPTS/M/2002 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP)


BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Perumahan dan permukiman selain merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, juga mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam perannya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang, serta merupakan pengejawantahan jati diri. Terwujudnya kesejahteraan rakyat dapat ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan papannya. Dengan demikian upaya menempatkan bidang perumahan dan permukiman sebagai salah satu sektor prioritas dalam pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya adalah sangat strategis.



Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman. Penyusunan arahan untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman, sesungguhnya secara lebih komprehensif telah dilakukan sejak Pelita V dalam bentuk Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan, namun penekanannya masih terbatas kepada aspek perumahan saja. Dalam perjalanannya, acuan tersebut dirasakan kurang sesuai lagi dengan berbagai perkembangan permasalahan yang semakin kompleks, sehingga diperlukan pengaturan dan penanganan perumahan dan permukiman yang lebih terintegrasi. Sehingga untuk itu perlu disusun suatu kebijakan dan strategi baru yang cakupannya dapat meliputi bidang perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Berangkat dari pertimbangan tersebut dan berlandaskan kepada UU No. 4 Tahun 1992 maka telah dikeluarkan Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman Tahun 1999, sebagai acuan pokok di dalam penyelenggaraan bidang perumahan dan permukiman. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan sosial politik yang ada dan tuntutan reformasi serta perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan nasional, dan dalam upaya menjawab tantangan serta agenda bidang perumahan dan permukiman ke depan, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman yang ada tersebut.

B. Maksud


Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP) ini dimaksudkan sebagai pedoman di dalam penyusunan kebijakan teknis, perencanaan, pemrograman, dan kegiatan yang berada dan atau terkait di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di lingkungan Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, maupun bagi Masyarakat dan Dunia Usaha.

C. Tujuan


Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan sektor perumahan dan permukiman melalui peningkatan keterpaduan yang efektif di dalam penyusunan rencana, program, dan pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan, baik di lingkungan Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, maupun oleh Masyarakat dan Dunia Usaha.

D. Landasan Hukum


1. Arah Kebijakan

  • TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN;
  • UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  • UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  • UU No. 25/2000 tentang Propenas;
  • PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;
  • PP No. 104/2000 tentang Dana Perimbangan.

2. Pengaturan Teknis

  • UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman;
  • UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun;
  • UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang;
  • UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup;
  • UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi;
  • PP No. 4/1988 tentang Rumah Susun;
  • PP No. 40/1994 tentang Rumah Negara;
  • PP No. 44/1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik;
  • PP No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia;
  • PP 80/1999 tentang Kasiba dan Lisiba yang Berdiri Sendiri;
  • PP No. 20 / 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • Pedoman Teknis dan Standar Teknis (SNI) di bidang Perumahan dan Permukiman.

 


BAB II. VISI DAN MISI PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


Visi dan misi penyelenggaraan perumahan dan permukiman didasarkan pada kondisi yang diharapkan secara realistis ideal, dengan memperhatikan kondisi yang ada, potensi kapasitas yang ditumbuhkembangkan, dan sistem nilai yang melandasi hakekat perumahan dan permukiman bagi kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi, serta dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan.

A. Visi


Perumahan dan permukiman merupakan salah satu sektor yang strategis dalam upaya membangun manusia Indonesia yang seutuhnya. Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, perumahan dan permukiman, “papan” juga berfungsi strategis di dalam mendukung terselenggaranya pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi akan datang yang berjati diri. Karenanya, pada tempatnyalah bila Visi penyelenggaraan perumahan dan permukiman diarahkan untuk mengusahakan dan mendorong terwujudnya kondisi setiap orang atau keluarga di Indonesia yang mampu bertanggung jawab di dalam memenuhi kebutuhan perumahannya yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan guna mendukung terwujudnya masyarakat dan lingkungan yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Untuk selanjutnya Visi yang ditetapkan hingga tahun 2020 di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman adalah:




"Setiap orang (KK) Indonesia mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau pada lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam upaya terbentuknya masyarakat yang berjatidiri, mandiri, dan produktif."





B. Misi


Kemampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman relatif sangat terbatas. Sementara itu walaupun masalah perumahan merupakan tanggung jawab bersama, namun kewajiban untuk pemenuhan kebutuhan rumah tersebut pada hakekatnya merupakan tanggungjawab individual. Oleh karenanya sumber daya dan potensi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan untuk dapat memenuhi kebutuhan perumahan dan permukimannya secara mandiri, dengan didukung oleh upaya pemerintah melalui penciptaan iklim yang kondusif. Gambaran yang ada tentang ketidakmampuan masyarakat untuk mewujudkan perumahannya lebih sering dikarenakan iklim yang ada belum secara optimal memberikan ruang, kesempatan dan peluang yang memadai bagi masyarakat untuk mengembangkan kapasitasnya.

Dengan mengacu kepada hakekat bahwa keberadaan rumah akan sangat menentukan kualitas masyarakat dan lingkungannya di masa depan, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan perumahan adalah merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri, maka penempatan masyarakat sebagai pelaku utama dengan strategi pemberdayaan merupakan upaya yang sangat strategis. Sehingga Misi yang harus dilaksanakan dalam rangka mewujudkan Visi penyelenggaraan perumahan dan permukiman, adalah sebagai berikut :

1. Melakukan pemberdayaan masyarakat dan para pelaku kunci lainnya di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.


Sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 5, UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk berperan serta di dalam pembangunan perumahan dan permukiman; dan pada pasal 29 juga dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluasluasnya untuk berperan serta di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, tidak terkecuali laki-laki ataupun perempuan. Oleh karenanya, upaya pengarusutamaan gender di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus terus didorong dan ditumbuhkembangkan. Selanjutnya untuk mengimplementasikan hak,kesempatan dan kewajiban setiap warga negara tersebut di dalam pembangunan perumahan dan permukiman maka Misi yang akan dijalankan adalah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dan para pelaku kunci lainnya di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.


2. Memfasilitasi dan mendorong terciptanya iklim yang kondusif di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.


Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman perlu didukung oleh aspek-aspek pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang efektif dalam rangka mendorong serta menumbuhkembangkan terciptanya iklim yang kondusif, antara lain dengan pengembangan sistem insentif, penghargaan dan sanksi yang tepat, serta pengembangan produk-produk hukum yang responsif terhadap dinamika pembangunan bersama masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.


3. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman.


Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang diprogramkan sebagai bagian dari proses pembangunan berkelanjutan. Karenanya sangat diperlukan dukungan sumber daya yang tepat dan memadai baik berupa sumber daya alam, sumber daya buatan, maupun sumber daya manusia. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan maka pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan harus telah mempertimbangkan keseimbangan terpadu pemanfaatan sumber daya yang ada dan terbatas, termasuk dengan pendayagunaan sumberdaya manusia yang optimal di lingkungan pemerintahan, dunia usaha, para profesional dan masyarakat baik secara individu maupun kelompok/asosiasi yang terkait.




Dengan pernyataan Misi tersebut jelas bahwa pemerintah harus lebih berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya pemberdayaan bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Dalam upaya pelaksanaan Misi tersebut, seluruh program dan kegiatan penyelenggaraan perumahan dan permukiman dititikberatkan untuk dapat mencapai sasaran antara lain sebagai berikut :


1. Terwujudnya keswadayaan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau secara mandiri sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka pengembangan jati diri, dan mendorong terwujudnya kualitas lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Keswadayaan masyarakat juga dalam artian dapat bermitra secara efektif dengan para pelaku kunci lainnya dari kalangan dunia usaha dan pemerintah.

2. Terbangunnya lembaga-lembaga penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang dapat menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, di tingkat lokal, wilayah, dan pusat, yang mampu memfasilitasi wahana pengembangan peran dan tanggung jawab masyarakat sebagai pelaku utama dalam memenuhi kebutuhannya akan hunian yang layak dan terjangkau, dan lingkungan permukiman yang sehat, aman, produktif dan berkelanjutan. Kelembagaan yang ingin dicapai tersebut agar juga dapat senantiasa mendorong terciptanya iklim kondusif di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

3. Terdorongnya pertumbuhan wilayah dan keserasian lingkungan antar wilayah melalui penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan, saling mendukung dan terpadu secara sosial, ekonomi, dan lingkungan baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta kesalingterkaitan antar kawasan. Penyelenggaraan yang berkelanjutan juga agar dicapai dengan pendayagunaan yang optimal dari sumberdaya pendukung perumahan dan permukiman.


 


BAB III. PENDEKATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN



Untuk mencapai Visi yang diharapkan dan menjalankan Misi yang diemban, penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan sistem, yang pelaksanaannya dapat dengan memanfaatkan berbagai pendekatan yang relevan secara efektif, dan yang implementasinya agar dapat disesuaikan berdasarkan kondisi lokal yang ada, yaitu:


A. Pembangunan Yang Berkelanjutan dan Konsep TRIDAYA


Penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilaksanakan dengan mengutamakan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan yang responsif namun secara komprehensif sekaligus dapat mengakomodasikan dalam satu kesatuan sistem dengan pencapaian tujuan pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi. Secara praksis, konsep TRIDAYA, yang sudah berkembang sebagai azas pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman, yaitu yang secara prinsip bertujuan memberdayakan komponen sosial masyarakat, usaha dan ekonomi, serta lingkungan, tetap dapat ditumbuhkembangkan sebagai pendekatan pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan di tingkat lokal. Pendekatan ini dilakukan dengan memadukan kegiatan-kegiatan penyiapan dan pemberdayaan masyarakat, serta kegiatan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi komunitas dengan kegiatan pendayagunaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan.

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan, merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut. Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan dan permukiman terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya dukung lingkungannya yang harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan, pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar arah perkembangannya tetap selaras dengan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya migrasi penduduk. Oleh karenanya, ke depan diperlukan pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan dan permukiman yang kontributif terhadap pencapaian penataan ruang yang disusun secara transparan dan partisipatif serta memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama. Dengan demikian diharapkan akan terwujud permukiman yang dapat mendukung perikehidupan dan penghidupan penghuninya, baik di kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, maupun kawasan-kawasan tertentu lainnya.

B. Penyelenggaraan Secara Multisektoral dan Terdesentralisasi


Pembangunan perumahan dan permukiman mencakup banyak kegiatan, antara lain pengalokasian ruang,penyediaan lahan, kelembagaan,kegiatan teknisteknologis, pembiayaan, dan sistem informasi. Disamping secara holistik, penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilakukan secara multisektoral karena memerlukan koordinasi dengan berbagai bidang lain yang terkait dengan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman dan tidak dapat ditangani oleh satu sektor saja.

Persoalan penyediaan perumahan sebenarnya lebih merupakan masalah lokal dan kebutuhan individual. Ini dapat ditunjukkan dengan besarnya peran swadaya masyarakat di dalam pengadaan perumahannya. Karenanya perlu pembatasan campur tangan pemerintah dalam penanganan persoalan lokal melalui penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang terdesentralisasi. Dalam kerangka desentralisasi, penyelenggaraan perumahan dan permukiman tidak dapat terlepas dari agenda pelaksanaan tata pemerintahan yang baik di tingkat lokal, yaitu yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, pengawasan, penegakan hukum, serta efisiensi dan efektivitas.

C. Pembangunan Yang Berwawasan Kesehatan


Sebagaimana disadari bahwa persoalan kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman sangat mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat yang menghuninya. Selain secara fisik perumahan harus memenuhi syarat rumah sehat (kesehatan), perilaku hidup sehat dari masyarakat sangat penting dan strategis untuk terus didorong dan ditumbuhkembangkan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Disamping itu aktualisasi pembangunan yang berwawasan kesehatan sangat diperlukan dalam upaya penanganan permukiman kumuh, dan pencegahan terjadinya lingkungan yang tidak sehat serta menghambat penciptaan lingkungan permukiman yang responsif. Aktualisasi tersebut tetap dalam kerangka pelaksanaan program lingkungan sehat sebagai bagian dari program pembangunan yang berwawasan kesehatan, yang bertujuan khususnya untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang sehat mendukung tumbuh kembangnya anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat, dan memungkinkan interaksi sosial serta melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan, sehingga dapat tercapai derajat kesehatan baik individu, keluarga maupun masyarakat yang optimal.

D. Penyelenggaraan Dengan Pengembangan Sistem Insentif


Persoalan perumahan dan permukiman merupakan persoalan strategis yang masih belum mendapatkan cukup perhatian dari berbagai kalangan. Karenanya untuk memacu laju pembangunan perumahan dan permukiman, perlu di dalam penyelenggaraannya dikembangkan sistem insentif, yang diharapkan mampu mendorong berbagai pelaku pembangunan baik lembaga formal maupun informal untuk terlibat secara aktif. Upaya yang dikembangkan antara lain melalui kegiatan program stimulan, perintisan, dukungan pembiayaan dan bantuan teknis bagi pelaku pembangunan yang responsif di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, termasuk kegiatan pendampingan dalam penyiapan dan pemberdayaan masyarakat.

 


BAB IV. PERKEMBANGAN, ISU DAN MASALAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


A. Perkembangan Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman di Indonesia


Sampai menjelang berakhirnya abad dua puluh, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah mencapai keberhasilan melalui kebijakan pembangunan perumahan massal yang dikenal sebagai pola pasokan. Pola pasokan tersebut diawali dengan penugasan kepada Perum Perumnas untuk menyediakan perumahan sederhana pada tahun 1974, dan kemudian juga dikembangkan oleh para pengembang swasta yang juga melayani masyarakat golongan berpenghasilan menengah keatas. Namun demikian, dapat diakui bahwa masih terdapat sekitar 85% perumahan yang diupayakan sendiri oleh masyarakat secara informal.

Sektor perumahan dan permukiman telah menjadi salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Investasi di sektor perumahan berkisar antara 2 - 8 % dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi investasi perumahan terhadap PDB tersebut akan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Peran penting sektor perumahan dan permukiman dalam pembangunan perekonomian nasional terutama karena terkait dengan efek multiplier yang dapat diciptakan, baik terhadap penciptaan lapangan kerja maupun terhadap pendapatan nasional, yang ditimbulkan oleh setiap investasi yang dilakukan di sektor perumahan.

Efek investasi di sektor perumahan atas penciptaan lapangan kerja di Indonesia adalah setiap milyar rupiah yang diinvestasikan di bidang perumahan dapat menghasilkan sekitar 105 orang-tahun pekerjaan secara langsung, sedangkan multiplier pekerjaan secara tidak langsung sekitar 3,5 kali. Sedangkan efek investasi perumahan terhadap nasional pendapatan di Indonesia sekitar 1,7 kali, yaitu untuk setiap milyar rupiah investasi di bidang perumahan dapat menghasilkan pendapatan nasional sebesar 1,7 milyar rupiah.

Pada akhir abad dua puluh keterpurukan perekonomian yang terjadi di Indonesia tidak dapat terelakkan, dan hal ini kemudian berdampak pada merosotnya kemampuan finansial pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk di dalam menyelenggarakan perumahan dan permukiman, serta yang sekaligus juga berdampak pada kinerja sektor perumahan dan permukiman, yang sebenarnya dapat berperan sebagai salah satu lokomotif kebangkitan ekonomi nasional.

Selanjutnya seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang diantaranya mengamanatkan desentralisasi di dalam penyelenggaraan tugas pembangunan, maka penyelenggaraan perumahan dan permukiman mulai menerapkan secara lebih intensif pola pembangunan yang terdesentralisasi. Hal ini sebetulnya sangat sejalan dengan karakteristik persoalan perumahan dan permukiman yang memang khas lokal kontekstual, serta kondisi pengembangan potensi kemampuan masyarakat di dalam merespon persoalan di bidang perumahan dan permukiman yang semakin memadai, disamping sangat sesuai dengan tuntutan kebijakan pembangunan nasional dan perundangundangan yang menekankan pada pelaksanaan otonomi daerah secara nyata dan bertanggung-jawab.

B. Isu Strategis Perumahan dan Permukiman


Isu strategis penyelenggaraan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat, dan kondisi kebijakan pemerintah di dalam mengelola persoalan perumahan dan permukiman yang ada, antara lain sebagai berikut:

1. Isu kesenjangan pelayanan


Isu kesenjangan pelayanan muncul karena terbatasnya peluang untuk memperoleh pelayanan dan kesempatan berperan di bidang perumahan dan permukiman, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah. Di samping itu juga dapat dikarenakan adanya konflik kepentingan akibat implementasi kebijakan yang relatif masih belum sepenuhnya dapat memberikan perhatian dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karenanya ke depan perlu dikembangkan kepranataan dan instrumen penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang lebih berorientasi kepada kepentingan seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan sosial; peningkatan dan pengembangan kapasitas profesional di bidang perumahan dan permukiman baik bagi aparat pemerintah pusat dan daerah maupun bagi pelaku pembangunan permukiman lainnya; dan pengembangan fungsi, sistem dan jejaring informasi serta diseminasi mengenai hidup bermukim yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat.


2. Isu lingkungan


Isu lingkungan pada kawasan perumahan dan permukiman umumnya muncul karena dipicu oleh tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan sarana dasar, ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki lingkungan permukiman yang ada, dan masih rendahnya kualitas permukiman baik secara fungsional, lingkungan, maupun visual wujud lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya menciptakan lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Isu tersebut juga menjadi lebih berkembang dikaitkan dengan belum diterapkannya secara optimal pencapaian standar pelayanan minimal perumahan dan permukiman yang berbasis indeks pembangunan berkelanjutan di masing-masing daerah.


3. Isu manajemen pembangunan


Isu manajemen pembangunan muncul umumnya karena dipengaruhi oleh keterbatasan kinerja tata pemerintahan di seluruh tingkatan, sehingga berdampak pada lemahnya implementasi kebijakan yang telah ditetapkan, inkonsistensi di dalam pemanfaatan lahan untuk perumahan dan permukiman, dan munculnya dampak negatif terhadap lingkungan. Di samping itu terjadinya proses marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global juga berdampak potensial terhadap meningkatnya kemiskinan serta tersisihnya komunitas informal setempat berikut terbatasnya peluang usaha. Urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat juga merupakan tantangan bagi pemerintah, baik nasional maupun lokal, untuk menjaga agar pertumbuhannya lebih merata, termasuk dalam upaya pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman. Dengan demikian, pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman harus memungkinkan berkembangnya prakarsa masyarakat melalui mekanisme yang dipilihnya sendiri. Di pihak lain kemampuan membangun perumahan dan permukiman oleh komunitas harus direspon secara lebih tepat oleh pemerintah di dalam kerangka tata pemerintahan yang baik, sehingga kebutuhan akan identitas lokal masih tetap dapat terjaga di dalam kerangka pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih menyeluruh.




C. Permasalahan Perumahan dan Permukiman


Permasalahan secara umum bidang perumahan dan permukiman di Indonesia yang ada pada saat ini adalah sebagai berikut:

1. Belum terlembaganya sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman.


a. Secara umum sistem penyelenggaraan di bidang perumahan dan permukiman masih belum mantap baik di tingkat pusat, wilayah, maupun lokal, ditinjau dari segi sumber daya manusia, organisasi, tata laksana, dan dukungan prasarana serta sarananya.

b. Belum mantapnya pelayanan dan akses terhadap hak atas tanah untuk perumahan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah. Kapasitas pemerintah daerah juga masih relatif terbatas untuk dapat melaksanakan secara efektif penyelenggaraan administrasi pertanahan yang memadai, yang dapat menjamin kecukupan persediaan lahan, yang dapat mengembangkan pasar lahan secara efisien dan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan, yang dapat mengurangi hambatan hukum dan sosial terhadap akses yang adil dan seimbang kepada lahan, terutama bagi penduduk yang difabel, perempuan, dan kelompok yang rentan, dan yang mampu memfasilitasi akses kepada lahan dan keamanan status kepemilikan bagi seluruh kelompok masyarakat.

c. Belum efisiennya pasar perumahan, seperti ditunjukkan melalui kondisi dan proses perijinan pembangunan perumahan dan sertifikasi hak atas tanah yang masih memprihatinkan, relatif mahal dan kurang transparan; belum adanya standarisasi dokumen KPR, seleksi nasabah, penilaian kredit, dan dokumen terkait lainnya; dan proses sita jaminan yang masih berlarut-larut. Kondisi ini ikut mempengaruhi ketidakpastian pasar perumahan, serta sistem dan mekanisme pembiayaan perumahan. Untuk lebih menjamin pasar perumahan yang efisien, perlu dihindari intervensi yang mengganggu penyediaan dan menyebabkan distorsi permintaan akan perumahan, dan membuat instrumen yang fleksibel untuk regulasi perumahan, termasuk pasar sewa perumahan dengan mengingat kebutuhan khusus dari kelompok masyarakat yang rentan.


2. Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau.


a. Tingginya kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau masih belum dapat diimbangi karena terbatasnya kemampuan penyediaan baik oleh masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Secara nasional kebutuhan perumahan masih relatif besar, sebagai gambaran status kebutuhan perumahan pada tahun 2000 meliputi: (i) kebutuhan rumah yang belum terpenuhi (backlog) sekitar 4,3 juta unit rumah, (ii) pertumbuhan kebutuhan rumah baru setiap tahunnya sekitar 800 ribu unit rumah; serta (iii) kebutuhan peningkatan kualitas perumahan yang tidak memenuhi persyaratan layak huni sekitar 13 juta unit rumah (25%).

b. Ketidakmampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau serta memenuhi standar lingkungan permukiman yang responsif (sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan). Hal ini disebabkan karena terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi, terutama yang berkaitan dengan pertanahan dan pembiayaan perumahan.

c. Belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan perumahan yang menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan dalam pengadaan perumahan. Di samping itu, sistem dan mekanisme subsidi perumahan bagi kelompok masyarakat miskin dan berpengahasilan rendah masih perlu dimantapkan, baik melalui mekanisme pasar formal maupun melalui mekanisme perumahan yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat. Mobilisasi sumber-sumber pembiayaan perumahan masih harus diefektifkan dengan mengintegrasikan pembiayaan perumahan ke dalam sistem pembiayaan yang lebih luas dan memanfaatkan instrumen yang ada sekarang atau mengembangkan instrumen baru untuk lebih memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi penduduk yang mempunyai keterbatasan akses kepada kredit.


3. Menurunnya kualitas lingkungan permukiman


a. Secara fungsional, sebagian besar kualitas perumahan dan permukiman masih terbatas dan belum memenuhi standar pelayanan yang memadai sesuai skala kawasan yang ditetapkan, baik sebagai kawasan perumahan maupun sebagai kawasan permukiman yang berkelanjutan. Masih terdapat banyak kawasan yang tidak dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana pendukung, seperti terbatasnya ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha dan perdagangan secara terbatas, fasilitas sosial dan fasilitas umum, disamping masih adanya keterbatasan di bidang prasarana dasar perumahan dan permukiman, seperti air bersih, sanitasi, dan pengelolaan limbah.

b. Secara fisik lingkungan, masih banyak ditemui kawasan perumahan dan permukiman yang telah melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan, menghadapi dampak kesalingterkaitannya dengan skala kawasan yang lebih luas, serta masalah keterpaduannya dengan sistem prasarana dan sarana baik di perkotaan maupun di perdesaan. Dampak dari semakin terbatas atau menurunnya daya dukung lingkungan di antaranya adalah dengan meningkatnya lingkungan permukiman kumuh pertahunnya, sehingga luas lingkungan permukiman kumuh seperti pada tahun 2000 telah mencapai sekitar 47.500 ha yang tersebar tidak kurang dari sekitar 10.000 lokasi. Adanya perubahan fungsi lahan untuk mengakomodasi kebutuhan perumahan dan permukiman serta proses urbanisasi juga tidak selalu telah memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, termasuk dari segi keanekaragaman hayati. Secara non-fisik lingkungan, pertumbuhan kawasan perumahan dan permukiman juga tidak selalu telah mengantisipasi potensi timbulnya kesenjangan dan kerawanan sosial.

c. Secara visual wujud lingkungan, juga terdapat kecenderungan yang kurang positif bahwa sebagian kawasan perumahan dan permukiman telah mulai bergeser menjadi lebih tidak teratur, kurang berjati diri, dan kurang memperhatikan nilai-nilai kontekstual sesuai sosial budaya setempat serta nilai-nilai arsitektural yang baik dan benar. Selain itu, kawasan yang baru dibangun juga tidak secara berlanjut dijaga penataannya sehingga secara potensial dapat menjadi kawasan kumuh yang baru. Perumahan dan permukiman yang spesifik, unik, tradisional, dan bersejarah juga semakin rawan keberlanjutannya, padahal merupakan asset budaya bangsa yang perlu dijaga kelestariannya.




Berbagai perkembangan, isu strategis, dan permasalahan perumahan dan permukiman tersebut tidak terlepas dari dinamika dan kemajemukan perubahan-perubahan di dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pembangunan lingkungan, yang tidak saja mengikuti perubahan berdimensi ruang dan waktu, tetapi juga perubahan kondisi khususnya bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kemampuan pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman yang masih relatif terbatas dan mulai bertumbuh-kembangnya peran dan potensi masyarakat di dalam mengatur dan melaksanakan sendiri kebutuhannya akan perumahan dan permukiman, juga sangat mendasari kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

Rumusan kebijakan dan strategi tersebut diharapkan realistik, dengan mengkaitkannya dengan kebijakan ekonomi makro, sosial, demografi, lingkungan, dan kebudayaan. Disamping itu, implementasinya dapat mendorong pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, pemeliharaan dan rehabilitasi perumahan dan permukiman di perkotaan dan perdesaan, serta telah mengadopsi dan melaksanakan pendekatan lintas sektoral dan desentralisasi.

 


BAB V. TANTANGAN BIDANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


A. Hakekat Perumahan dan Permukiman


Penyamaan persepsi mengenai hakekat perumahan dan permukiman masih
menjadi tantangan yang mendasar, mengingat bahwa berbagai persoalan
penyelenggaraan perumahan dan permukiman sesungguhnya muncul dari
adanya perbedaan sudut pandang para pelaku pembangunan tentang hakekat
dan makna perumahan dan permukiman itu sendiri. Hal tersebut tercermin
antara lain dari kebijakan dan strategi operasional yang dipilih oleh masingmasing
pelaku, dan tidak mudah untuk secara efektif dapat dikoordinasikan.
Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan dan permukiman
sangat bertumpu pada falsafah dan hakekat perumahan dan permukiman itu
sendiri, yang antara lain adalah sebagai berikut:


1. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping pangan,
sandang, pendidikan dan kesehatan. Selain berfungsi sebagai pelindung
terhadap gangguan alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki
peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya
dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi
jatidiri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan
lingkungannya maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukimannya.

2. Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong lebih dari
seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan
dan permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi di dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya
penciptaan lapangan kerja produktif. Sebaliknya kegiatan industripun
semestinya dapat dilihat sebagai titik tolak untuk menangani permasalahan
perumahan dan permukiman, terutama di kawasan-kawasan yang
berkembang sebagai sentra atau koridor industri. Produktivitas dan
efisiensi industri seyogyanya juga dapat ditingkatkan secara seimbang dan
selaras dengan penanganan permasalahan perumahan dan permukiman
bagi para pekerja industri.

3. Bagi banyak masyarakat Indonesia terutama golongan menengah ke bawah,
rumah juga dapat merupakan barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah ini mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi di dalam mendukung kehidupan dan penghidupannya. Karenanya, permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang
sebagai permasalahan fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi
sebagai permasalahan yang berkaitan dengan dimensi kehidupan
bermasyarakat yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi, ekologi
maupun politik. Perbedaan-perbedaan sudut pandang yang ada sesungguhnya
bukan untuk dipertentangkan, tetapi sebagai suatu upaya untuk memperkaya
tinjauan agar dapat lebih memandang persoalan perumahan dan permukiman
secara lebih holistik. Kesadaran akan adanya keragaman tersebut penting,
karena hal tersebut dapat melahirkan alternatif-alternatif strategi
penyelenggaraan di bidang perumahan dan permukiman untuk menuju Visi
yang diinginkan.


Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan suatu konsep tentang
perumahan dan permukiman yang lebih sistemik dan mampu
mengakomodasikan perkembangan aspirasi yang ada. Kesamaan persepsi
tersebut diperlukan agar dapat menjadi titik tolak bagi penyelenggaraan
perumahan dan permukiman yang lebih komprehensif dan sesuai dengan tugas
dan kewenangan masing-masing lembaga penyelenggaranya. Upaya untuk
merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, yang menyatakan bahwa :

PERUMAHAN


adalah :

Kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.


PERMUKIMAN


adalah :

Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.



 


B. Agenda Global Bidang Perumahan dan Permukiman


Sebagai bagian dari sistem masyarakat internasional, penyelenggaraan
perumahan dan permukiman di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari beberapa
agenda global yang terkait dengan bidang perumahan dan permukiman,
khususnya Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan dan Agenda Habitat.
Merupakan tantangan bagi Indonesia yang telah ikut bersepakat untuk
melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara bertahap,
sebagaimana telah dideklarasikan secara bersama dalam koordinasi The United
Nations Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro pada
tahun 1992, apalagi Agenda 21 tersebut telah memiliki Agenda khusus Sektor
Permukiman. Disamping itu adalah komitmen Indonesia di dalam pelaksanaan
Agenda Habitat yang diprakarsai oleh UNCHS, yang semakin konkrit dengan
Deklarasi Habitat-II (Deklarasi Istanbul), bahwa masalah hunian merupakan
kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk menempati
hunian yang layak dan terjangkau (Shelter for All). Disamping itu di dalam
Agenda 21 maupun Deklarasi Habitat II tersebut juga telah dinyatakan perlunya
pembangunan yang mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy)
di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

Indonesia juga menyepakati Deklarasi Millenium dan Deklarasi “Cities Without
Slums Initiative”
, yang juga sama-sama mengamanatkan pentingnya upaya
pewujudan daerah perkotaan yang terbebas dari permukiman kumuh. Untuk
aktualisasi Deklarasi tersebut perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah
konkrit untuk mewujudkan kawasan permukiman yang bebas dari kekumuhan
dengan tanpa menggusur, yang mengedepankan strategi pemberdayaan melalui
pelibatan seluruh unsur pelaku pembangunan dan menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama, apalagi di dalam Deklarasi Millenium juga telah
ditargetkan rencana pencapaian kinerja yang signifikan sampai tahun 2020.
Upaya penanganan permukiman kumuh ini adalah bagian yang paling prioritas
dan strategis untuk mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, aman,
harmonis dan berkelanjutan guna mendukung terbentuknya masyarakat yang
mandiri, berjatidiri, dan produktif.

 


BAB VI. KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan dan permukiman
dirumuskan berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya. Rumusan kebijakan dan strategi tersebut bersifat sangat struktural
sehingga secara nasional diharapkan dapat berlaku dalam rentang waktu yang cukup,
dapat mengakomodasi berbagai ragam kontekstual masing-masing daerah, dan dapat
memudahkan penjabaran yang sistemik pada tingkat yang lebih operasional oleh para
pelaku pembangunan di bidang perumahan dan permukiman, baik dalam bentuk
rencana, program, proyek, maupun kegiatan.

Kebijakan nasional yang dirumuskan terdiri atas 3 (tiga) struktur pokok, yaitu
berkaitan dengan kelembagaan, pemenuhan kebutuhan perumahan, dan pencapaian
kualitas permukiman. Sedangkan strategi untuk melaksanakan kebijakan dirumuskan
terutama untuk dapat mencapai secara signifikan substansi strategis dari masing-masing
kebijakan.

Selanjutnya rumusan kebijakan dan strategi nasional di dalam penyelenggaraan
perumahan dan permukiman adalah sebagai berikut:

A. Kebijakan dan strategi (1)


Kebijakan (1) :


Melembagakan sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan pelibatan masyarakat sebagai pelaku utama.


Penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang berbasis pada pelibatan
masyarakat sebagai pelaku utama harus dapat dilembagakan secara berlanjut
sampai pada tingkat komunitas lokal, dan didukung secara efektif oleh sistem
wilayah/regional dan sistem pusat/nasional. Untuk mengaktualisasikan
pelaksanaan misi pemberdayaan, diperlukan keberadaan lembaga
penyelenggara perumahan dan permukiman yang dapat melaksanakan prinsip-prinsip
tata pemerintahan yang baik. Upaya pelembagaan sistem
penyelenggaraan perumahan dan permukiman tersebut perlu dilakukan
terhadap seluruh unsur pelaku pembangunan baik pemerintah, dunia usaha
maupun masyarakat yang berkepentingan di bidang perumahan dan
permukiman, baik yang berada di tingkat nasional, regional maupun lokal.

Strategi (1) :


Pengembangan peraturan perundang-undangan dan pemantapan
kelembagaan dibidang perumahan dan permukiman serta fasilitasi pelaksanaan penataan ruang kawasan permukiman yang transparan dan partisipatif,



melalui strategi operasional sebagai berikut :

1. Penyusunan, pengembangan dan sosialisasi berbagai produk peraturan
perundang-undangan dalam penyelenggaraan perumahan dan
permukiman
, yang meliputi :

  • Undang-undang dan peraturan pemerintah, serta
  • Pedoman, standar dan petunjuk teknis di bidang perumahan dan
    permukiman, serta bangunan gedung dan lingkungan.

Berbagai produk pengaturan dalam penyelenggaraan perumahan dan
permukiman harus mampu mendukung upaya peningkatan peran
masyarakat dan dunia usaha, serta pemerintah daerah sesuai dengan
tuntutan otonomi daerah. Produk pengaturan diharapkan dapat memandu
pengendalian pemanfaatan ruang perumahan dan permukiman yang sesuai
dengan rencana dan rancangan kawasan perumahan dan permukiman, serta
program-program pemanfaatan ruangnya. Pedoman teknis perencanaan
dan perancangan kawasan perumahan dan permukiman harus mampu
menampung panduan proses yang partisipatif dan transparan, serta mampu
memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan.
Penyusunan dan pengembangan produk pengaturan untuk mendukung
penyelenggaraan perumahan dan permukiman juga diarahkan untuk
mampu mengoptimalkan fungsi, kewajiban dan peran dari lembaga-lembaga perumahan dan permukiman di semua tingkatan, dengan prioritas
di tingkat kota dan masyarakat.

Untuk pelaksanaan di daerah, maka penjabaran kebijakan dan strategi
penyelenggaraan perumahan dan permukiman, serta produk-produk
pengaturan yang telah disesuaikan dengan kondisi di daerah perlu ditindak
lanjuti dengan peraturan daerah. Peraturan daerah sangat diperlukan
antara lain untuk mendorong pelembagaan sistem secara berlanjut di
tingkat lokal, demi ketertiban hukum, dan untuk melindungi nilai-nilai
positif lokal yang ada, serta sebagai pedoman di dalam penyelenggaraan
pembangunan, seperti untuk penyusunan program pembangunan, proses
pengendalian dan pelaksanaan pembangunan, dan pengaturan peran bagi
para pelaku pembangunan. Peraturan daerah dikembangkan sebagai
bagian dari pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, melindungi
kepentingan umum dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

2. Pemantapan kelembagaan perumahan dan permukiman yang handal
dan responsif
di lingkungan kelembagaan meliputi :

  • Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota),
  • Badan Usaha (BUMN, BUMD, Swasta),
  • Masyarakat (orang dan kelompok atau perkumpulan).

Kelembagaan perumahan dan permukiman yang dapat melibatkan secara
sinergi seluruh pelaku pembangunan harus diselenggarakan dengan
berprinsip pada tata pemerintahan yang baik dan pembangunan partisipatif
yang berbasis pada upaya menumbuhkembangkan keswadayaan
masyarakat di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.
Seluruh elemen pokok kelembagaan, seperti sumber daya manusia,
organisasi, tata laksana, serta dukungan prasarana dan sarana
kelembagaan harus diwujudkan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas
lokal, melalui program-program peningkatan kapasitas SDM,
pengembangan organisasi dan penyusunan tata laksana yang operasional
efektif.

Kelembagaan yang diwujudkan, baik kelembagaan secara masing-masing
maupun secara bersama, harus dikembangkan secara bertahap oleh para
pelaku pembangunan, yaitu pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten dan
Kota), badan usaha BUMN, BUMD dan Swasta, serta masyarakat secara
perorangan atau kelompok/perkumpulan yang berkepentingan di bidang
perumahan dan permukiman. Kelembagaan yang ditumbuhkembangkan
harus mampu mendorong upaya-upaya pemenuhan kebutuhan perumahan
dan pencapaian kualitas permukiman secara koordinatif efektif sesuai
dengan program pembangunan yang ditetapkan di tiap tingkatan
pemerintahan. Dengan semakin mengakarnya lembaga perumahan di
tingkat lokal yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat, diharapkan para penyelenggara akan lebih mampu menangkap aspirasi berbagai pihak
terkait, dan dapat memanfaatkan secara optimal sistem sosial komunitas
masyarakat yang senantiasa berkembang secara dinamis.

Pemantapan kelembagaan dapat pula dilakukan dengan mengembangkan
fungsi dan kapasitas lembaga yang telah ada, baik lembaga formal maupun
informal, tanpa harus membangun lembaga baru. Pengembangan lembaga
di tingkat masyarakat seperti koperasi atau usaha kecil dan menengah serta
lembaga keswadayaan masyarakat lainnya dapat ditingkatkan dengan
kegiatan internalisasi, sosialisasi, dan institusionalisasi, seperti melalui
kegiatan apresiasi, diseminasi dan pelatihan program pengembangan
kelembagaan.

Pemantapan kelembagaan badan usaha, khususnya pada Badan Usaha Milik
Negara di bidang perumahan dan permukiman, diarahkan untuk melakukan
reformasi kelembagaan guna terciptanya badan usaha yang mampu
mengaktualisasikan tata pemerintahan yang baik, mampu mengembangkan
manajemen strategis pengusahaan bidang perumahan dan permukiman,
dan mampu meningkatkan kapasitas dan profesionalisme para pelaku
secara internal sekaligus eksternal.Upaya ini perlu pula dikembangkan di
lingkungan badan usaha baik milik pemerintah daerah maupun masyarakat
yang berkiprah di bidang perumahan dan permukiman. Termasuk dalam hal
ini lembaga badan usaha milik negara yang selama ini mendapat tugas
utama untuk mendukung pengembangan perumahan dan permukiman di
Indonesia, seperti Bank Tabungan Negara (BTN) dan Perum Perumnas.

Reformasi kelembagaan BTN diarahkan untuk memberikan pelayanan yang
lebih baik kepada pasar perumahan, khususnya masyarakat berpenghasilan
rendah, melalui upaya:

  • memfokuskan kembali kegiatan BTN pada
    orientasi kegiatan semula, yaitu peningkatan pelayanan kredit pembiayaan
    pengadaan rumah sederhana sehat bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan pembiayaan kredit konstruksi bagi pengembang untuk pengadaan rumah sederhana sehat;
  • mengurangi peran BTN secara bertahap sebagai lembaga koordinasi KPR bersubsidi, setelah program pengembangan subsidi yang baru dapat berjalan;
  • secara berangsur angsur
    mengurangi perlakuan khusus pemerintah terhadap BTN di dalam
    penyediaan dana KPR bersubsidi yang selanjutnya akan dikembangkan
    dengan skema lainnya, seperti penerbitan obligasi, dan kemudian dapat
    mengembangkan peran BTN sebagai lembaga perbankan komersial secara penuh di dalam pembiayaan kredit perumahan seperti halnya lembaga perbankan lainnya.

Reformasi kelembagaan Perum Perumnas diarahkan untuk mengembalikan
orientasi kegiatan Perum Perumnas di dalam mendukung program
pemenuhan kebutuhan perumahan secara nasional, disamping harus tetap
sehat dari sisi pengusahaan, antara lain :

  • melaksanakan kegiatan yang sifatnya perintisan seperti pembangunan rumah sewa (termasuk Rusunawa)
    di kota metropolitan/besar dan kawasan industri, dan penyediaan rumah
    sederhana sehat bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kota-kota
    sedang/kecil serta kegiatan di bidang perumahan dan permukiman lainnya
    yang bersifat sosial maupun kegiatan lainnya yang belum menarik untuk
    dikembangkan oleh badan usaha milik swasta;
  • mengembangkan anak
    perusahaan sebagai peningkatan usaha komersial yang mampu mengelola
    penyediaan lahan dan prasarana perumahan dan permukiman berskala
    besar sesuai dengan pengembangan kawasan perkotaan di kota
    metropolitan/besar; serta
  • menjadi kepanjangan pemerintah sebagai
    agen pemberdayaan (enabling agent) di dalam pengembangan perumahan
    dan permukiman secara nasional.

Pengembangan kelembagaan juga diarahkan sehingga dapat menurunkan
biaya produksi rumah, seperti melalui pencapaian perencanaan,
perancangan, pelaksanaan, pemeliharaan dan rehabilitasi perumahan,
prasarana dan sarana dasar permukiman yang efektif dan efisien,
pengembangan dan mendorong ketersediaan bahan-bahan dasar bangunan
yang diproduksi daerah secara terjangkau, serta peningkatan kapasitas
lokal di dalam menghasilkan bahan bangunan dan teknologi konstruksi yang
sehat dan ramah lingkungan.



B. Kebijakan dan strategi (2)


Kebijakan (2) :


Mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan (papan) bagi seluruh lapisan
masyarakat, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.



Dalam rangka pencapaian kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, salah
satu syarat utamanya, yaitu kebutuhan dasar manusia, harus dipenuhi secara
mutlak termasuk dalam hal perumahan yang layak dan terjangkau, terutama
bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Komitmen tentang
kesejahteraan rakyat tersebut harus dapat dipenuhi dalam kurun waktu
tertentu, sebagai gerakan bersama seluruh lapisan masyarakat di dalam
membangun kemandirian masyarakat memenuhi kebutuhan akan papannya.

Strategi (2) :


Pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau dengan
menitikberatkan kepada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah,



melalui strategi operasional sebagai berikut :

1. Pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan pasar perumahan (pasar primer dan pasar sekunder), yang meliputi :

  • Peningkatan kualitas pasar primer, seperti melalui penyederhanaan
    perijinan pembangunan perumahan, sertifikasi hak atas tanah,
    standarisasi penilaian kredit, dokumentasi kredit, dan pengkajian ulang peraturan perundang-undangan terkait, seperti tentang hak tanggungan dan pertanahan.
  • Pelembagaan pasar sekunder, seperti melalui upaya-upaya
    pelembagaan SMF (Secondary Mortgage Facilities), biro kedit, asuransi kredit, kustodian, lembaga pelayanan dokumentasi kredit; dan pemantapan lembaga sita jaminan.

Dampak belum efisiennya pasar primer yang menyebabkan harga rumah
yang masih belum secara mudah dijangkau oleh masyarakat miskin dan
berpenghasilan rendah, perlu ditekan dengan berbagai peningkatan
efektifitas sistem pembiayaan perumahan dan penyempurnaan mekanisme
pembiayaan perumahan. Diperlukan peningkatan mobilisasi pembiayaan
pembangunan dan pengembangan kredit bagi masyarakat miskin, serta
peningkatan kemudahan sistem kredit. Disamping itu, dikembangkan akses
pada sistem pembiayaan dan mengurangi diskriminasi terhadap para
peminjam, pemantapan hukum properti, hak-hak kepemilikan, mendorong
dunia usaha untuk dapat memobilisasi sumberdaya untuk memenuhi
kebutuhan perumahan, termasuk perumahan sewa, mendorong pasar
mortgage yang kompetitif serta memfasilitasi pengembangan pasar
sekunder dan sekuritisasi. Pembangunan mekanisme pembiayaan
perumahan yang efektif antara lain melalui pemanfaatan potensi pola
pembiayaan modern dengan mendorong masyarakat membentuk
kerjasama (koperasi) komunitas untuk perumahan, perluasan kerjasama
tabungan dan kredit, perkumpulan kredit, bank koperasi dan bentukbentuk
lain lembaga pembiayaan non-bank, penciptaan mekanisme
tabungan sektor informal, khususnya bagi perempuan, pengembangan
kerjasama antara lembaga koperasi dan pemerintah serta lembaga
pembiayaan yang lain untuk memobilisasi modal daerah, dan peningkatan
fasilitasi usaha-usaha yang dilakukan perkumpulan dagang, petani,
perempuan, dan organisasi konsumen, organisasi para difabel, dan asosiasi
lainnya yang berusaha menciptakan pola-pola kerjasamanya sendiri atau
lembaga serta mekanisme pembiayaannya sendiri.

2. Pengembangan pembangunan perumahan yang bertumpu kepada keswadayaan masyarakat, yang meliputi :

  • Pelembagaan pembangunan perumahan yang bertumpu pada kelompok masyarakat (P2BPK).
  • Pengembangan dan pendayagunaan potensi keswadayaan masyarakat.
  • Pemberdayaan para pelaku kunci perumahan swadaya.
  • Pengembangan akses pembiayaan perumahan swadaya.

Upaya pemenuhan kebutuhan perumahan dengan mekanisme pasar formal
relatif masih mencapai 15%, sedangkan sisanya masih dipenuhi sendiri
oleh masyarakat secara swadaya melalui mekanisme informal. Berkaitan
dengan hal tersebut, peningkatan peran masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhan huniannya melalui pembangunan perumahan, baik yang berupa
pembangunan baru maupun peningkatan kualitas (pemugaran dan perbaikan) yang mengandalkan potensi keswadayaan masyarakat, menjadi
sangat penting dan strategis untuk mewujudkan perumahan yang layak
huni. Namun penyelenggaraan pembangunan perumahan swadaya secara
individual sering kurang optimal di dalam memenuhi kebutuhan perumahan
yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana dasar lingkungan perumahan
yang memadai. Dengan membentuk kelompok, maka masyarakat akan
dapat menggalang kemampuan secara bersama untuk mengatur rencana
pemenuhan kebutuhan perumahan dan pembangunan prasarana serta
sarana dasar lingkungannya. Selain itu dengan membangun kelompok maka
kapasitas dan kemampuan dasarnya akan semakin besar dan akses kepada
sumber daya kunci bidang perumahan, seperti akses kepada pengurusan
hak atas tanah, perijinan serta akses pembiayaan perumahan akan relatif
lebih baik. Oleh karenanya segala upaya untuk menyediakan kemudahan
akses yang terkait dengan bidang perumahan dan permukiman ini perlu
terus dikembangkan.

Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat di dalam
pengembangan perumahan swadaya dilaksanakan dalam kerangka
pembangunan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat.

Dengan demikian penyediaan kebutuhan tenaga pendamping dan
pemberdayaan para pelaku kunci dalam perumahan swadaya ini perlu lebih
dikembangkan secara sistematik dengan berbasis kepada keswadayaan
masyarakat serta didukung oleh seluruh pelaku pembangunan. Disamping
itu karena peran perempuan, ibu rumah tangga, yang sangat strategis di
dalam pengembangan keluarga dan lingkungan yang produktif,
pengarusutamaan gender menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan di
dalam pengembangan perumahan swadaya.

3. Pengembangan berbagai jenis dan mekanisme subsidi perumahan, yang meliputi :

  • Pengembangan pengaturan subsidi perumahan.
  • Pengembangan subsidi pembiayaan perumahan.
  • Pengembangan subsidi prasarana dan sarana dasar perumahan.

Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, seperti
pegawai/karyawan instansi pemerintah/swasta/perusahaan yang
penghasilannya teratur namun belum mampu memenuhi kebutuhan
rumahnya karena relatif rendahnya tingkat kemampuan daya belinya
diperlukan skema bantuan perumahan. Demikian juga bagi kelompok
masyarakat lainnya seperti petani, nelayan, dan masyarakat miskin yang
bekerja di sektor informal dan tidak mempunyai penghasilan tetap perlu
juga difasilitasi dengan skema subsidi perumahan yang dapat secara mudah
diakses oleh mereka. Termasuk sebagai pertimbangan adalah perlunya
pengarus-utamaan gender sebagai bagian penting untuk mendukung
keberhasilan pengembangan sistem dan mekanisme subsidi perumahan.

Bantuan perumahan dapat berbentuk subsidi pembiayaan; subsidi
prasarana dan sarana dasar lingkungan perumahan dan permukiman;
ataupun kombinasi dari kedua bentuk subsidi tersebut. Pada dasarnya
subsidi pembiayaan perumahan dapat dikembangkan untuk pengadaan
rumah baru, perbaikan dan pemugaran rumah, serta untuk hunian dengan
sistem rumah sewa. Sedangkan subsidi prasarana dan sarana dasar
perumahan dapat dikembangkan untuk mendukung kelengkapan standar
pelayanan minimal lingkungan yang berkelanjutan, seperti ketersediaan
air bersih, jalan lingkungan, saluran drainase, pengelolaan limbah, ruang
terbuka hijau, fasilitas umum dan sosial serta fasilitas ekonomi lokal.

Sistem dan mekanisme subsidi perumahan tersebut diatur dan
dikembangkan sedemikian rupa sehingga esensi dan ketepatan sasaran
subsidi yang memenuhi rasa keadilan sosial dapat dicapai semaksimal
mungkin. Dalam kaitan pengembangan dan pengaturan subsidi perumahan
tersebut, maka seluruh pelaku perumahan, khususnya di tingkat lokal perlu
mengembangkan sistem dan mekanisme subsidi yang lebih sesuai dengan
potensi dan kemampuan daerah masing-masing.

4. Pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat miskin, yang meliputi :

  • Pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan kemampuan usaha dan hidup produktif.
  • Penyediaan kemudahan akses kepada sumber daya.
  • Penyediaan prasarana dan sarana usaha bagi keluarga miskin.
  • Pelatihan yang berkaitan dengan teknologi tepat guna dan pengembangan kewirausahaan, serta keterampilan pendukung lainnya.

Pada dasarnya secara umum kualitas perumahan dan permukiman juga
sangat dipengaruhi oleh tingkat keswadayaan dan kemampuan ekonomi
masyarakatnya. Namun bagi masyarakat miskin, upaya pemenuhan
kebutuhan hunian tetap merupakan suatu hal yang relatif kompleks, karena
pada umumnya hunian bagi masyarakat miskin belum dapat sepenuhnya
menjadi kebutuhan dasar dan mendesak dibandingkan kebutuhan dasar
lainnya seperti pangan, sandang, dan pendidikan. Oleh karenanya, kepada
kelompok masyarakat miskin perlu diupayakan kegiatan untuk
memberdayakan kemampuan ekonomi masyarakat yang berbasis
keswadayaan masyarakat melalui penciptaan usaha ekonomi produktif
dengan berbagai upaya fasilitasi pendampingan masyarakat, yang secara
komprehensif tetap dalam kerangka prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan di bidang perumahan dan permukiman.

Kegiatan yang dikembangkan antara lain seperti penyediaan prasarana dan
sarana usaha ekonomi produktif bagi keluarga miskin, termasuk penyediaan
prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman yang memadai, pengadaan kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan teknologi tepat guna
dan pengembangan kewirausahaan serta keterampilan pendukung lainnya,
disamping pemberian akses kepada berbagai sumber daya pembangunan,
seperti modal usaha, biaya pembangunan dan pelatihan. Dalam kerangka
pemberdayaan ekonomi yang berbasis pada pembangunan berkelanjutan,
pengarusutamaan gender untuk pengembangan usaha ekonomi produktif
tetap menjadi pertimbangan yang tetap signifikan. Diharapkan
keberhasilannya di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif
rumah tangga dan komunitas akan membantu mengentaskan kemiskinan,
yang pada tahun 2001 populasi penduduk miskin telah mencapai 18,95%
atau sekitar 37,3 juta jiwa, dan sekaligus dapat memberikan keleluasaan di
dalam menjangkau berbagai kebutuhan dasar lainnya, termasuk khususnya
perumahan dan sekaligus meningkatkan kualitas permukimannya.

5. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman akibat dampak bencana alam dan kerusuhan sosial, yang meliputi :

  • Penanganan tanggap darurat.
  • Rekonstruksi dan rehabilitasi bangunan, prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman.
  • Pemukiman kembali pengungsi.

Penanganan tanggap darurat merupakan bagian upaya pertama yang harus
dilakukan dalam rangka penanganan pengungsi, sebagai kegiatan
penyelamatan korban dampak bencana alam atau kerusuhan sosial,
sebelum proses lebih lanjut seperti pemulangan, pemberdayaan, dan
pengalihan (relokasi). Dalam rangka pemulangan kembali pengungsi ke
tempat lingkungan perumahan dan permukimannya semula, diperlukan
upaya rekonsiliasi sosial untuk mendukung terciptanya suasana yang
kondusif, sehingga kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan,
prasarana dan sarana dasar permukiman yang mengalami kerusakan dapat
berjalan dengan baik, berhasil guna dan berdayaguna.

Apabila upaya tersebut tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan optimal
maka upaya pemberdayaan pengungsi di tempat penampungan perlu
dilakukan agar kemudian dapat mampu menjalankan kehidupannya di
tempat yang baru secara mandiri dan produktif. Namun demikian apabila
upaya pemulangan dan pemberdayaan tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan, dapat dilakukan pilihan terakhir yaitu kegiatan pengalihan
(relokasi). Upaya pengalihan berupa kegiatan pemukiman kembali
pengungsi ke tempat yang baru baik secara sisipan maupun secara
terkonsentrasi di daerah perkotaan maupun perdesaan. Apapun upaya yang
dilakukan, konsep TRIDAYA, yang meliputi penyiapan aspek sosial
kemasyarakatan, aspek pemberdayaan usaha ekonomi komunitas dan
pendayagunaan prasarana dan sarana dasar lingkungan hunian, tetap
menjadi acuan pelaksanaan sebagai aktualisasi implementasi pembangunan berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan azas
kesetaraan dalam perlakuan antara pengungsi dengan masyarakat lokal
untuk menghindari terjadinya potensi eskalasi permasalahan dan potens
konflik sosial baru yang tidak diharapkan.

6. Pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara, yang meliputi :

  • Pembinaan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan rumah negara.
  • Pengelolaan asset bangunan gedung dan rumah negara.

Sebagai bagian investasi pemerintah di bidang perumahan dan
permukiman, bangunan gedung dan rumah negara perlu diselenggarakan
secara efektif dan efisien serta dapat sebagai teladan di dalam
penyelenggaraan perumahan dan permukiman, tidak saja dalam hal
kontribusi kualitasnya terhadap penciptaan lingkungan yang lebih
responsif, tetapi juga dalam hal kinerjanya mengembangkan manajemen
pembangunan dan pengelolaan yang mendukung perkembangan industri
konstruksi secara keseluruhan. Kegiatan pembinaan teknis
penyelenggaraan bangunan gedung dan rumah negara, seperti penyiapan
peraturan, pedoman, standar, dan petunjuk teknis, bimbingan teknis
teknologis dan teknis administratif perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan pembangunan, serta kegiatan manajemen asset pada tahap
pemanfaatan sampai dengan penghapusan bangunan gedung dan rumah
negara, dilaksanakan dengan berbasis kepada pemanfaatan produksi dalam
negeri dan potensi teknologi tepat guna setempat, serta yang sekaligus
dapat mendorong perkembangan konsep manajemen pembangunan yang
lebih efektif dan efisien.



C. Kebijakan dan strategi (3)


Kebijakan (3) :


Mewujudkan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan
guna mendukung pengembangan jatidiri, kemandirian, dan produktivitas
masyarakat.



Kualitas perumahan yang layak huni dan terjangkau secara ideal perlu didukung
dengan kualitas lingkungan permukiman yang lebih luas sebagai satu kesatuan
hunian yang tidak terpisahkan guna mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kualitas permukiman di
perkotaan dan perdesaan diupayakan sedemikian rupa sehingga dapat
membantu mengatasi urbanisasi, mendorong pertumbuhan wilayah, mendukung
kesalingterkaitan kawasan perkotaan dan perdesaan secara baik, yang sekaligus
dapat mewujudkan permukiman di perdesaan yang mendukung perwujudan kawasan perdesaan secara keseluruhan dan berkelanjutan. Pembangunan sosial,
ekonomi dan lingkungan secara menyeluruh akan dapat berlangsung lebih efektif
apabila terwadahi di dalam permukiman yang sehat secara fisik, emosional, dan
spiritual; yang aman dari segi keselamatan dan kepentingan publik; yang
harmonis sebagai satuan permukiman yang utuh dan kualitas hubungannya
dengan fungsi-fungsi kawasan lainnya; serta yang berkelanjutan dari segi sosial,
ekonomi, dan lingkungan secara keseluruhan.

Strategi (3) :


Perwujudan kondisi lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan,


melalui strategi operasional sebagai berikut :

1. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman, dengan prioritas kawasan permukiman kumuh di perkotaan dan daerah pesisir/nelayan, yang meliputi :

  • Penataan dan rehabilitasi kawasan permukiman kumuh.
  • Perbaikan prasarana dan sarana dasar permukiman.
  • Pengembangan rumah sewa, termasuk rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di perkotaan.

Untuk mendukung keberlanjutan permukiman, kualitas lingkungan secara
keseluruhan dari segi fungsional, lingkungan, dan visual wujud lingkungan
harus dapat terjaga sesuai dengan karakteristik dan dinamika sosial,
ekonomi, dan lingkungan setempat serta dampak kesalingterkaitannya
dengan kawasan disekitarnya pada skala yang lebih luas. Pada kawasankawasan
permukiman kumuh, upaya peningkatan kualitas tidak dapat
dilakukan hanya terbatas pada aspek fisik lingkungannya, seperti
pengadaan dan perbaikan prasarana dan sarana dasar kawasan
permukiman, tetapi harus secara komprehensif didasari konsep TRIDAYA,
yaitu secara menyeluruh disamping kegiatan utamanya memperbaiki
lingkungan, perumahan dan pendayagunaan prasarana serta sarana
lingkungannya secara kontekstual, juga harus dapat secara seimbang
menampung kebutuhan pengembangan sistem sosial masyarakat dan
pemberdayaan ekonomi lokal masyarakatnya.

Upaya peningkatan kualitas
lingkungan permukiman yang pernah dilaksanakan selama ini, seperti
perbaikan kampung (KIP), pemugaran dan peremajaan lingkungan
perumahan dan permukiman kumuh dilaksanakan secara lebih
komprehensif, sehingga untuk keberhasilannya sangat diperlukan
aktualisasi konsep pembangunan partisipatif yang berbasis kepada
keswadayaan masyarakat, termasuk didalamnya pertimbangan
pengarusutamaan gender, dan melembaganya kemitraan positif dari
berbagai pelaku pembangunan, tidak saja dari sisi pemerintah dan
masyarakat, tetapi juga dari sisi dunia usaha.

Pada kawasan permukiman padat penduduk di perkotaan dan permukiman
kumuh di daerah pesisir/nelayan, upaya peningkatan kualitas permukiman
juga sekaligus diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan
perumahannya, dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem rumah
sewa, yang karena keterbatasan lahan di perkotaan, untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah, dapat berupa rumah susun
sederhana (rusuna), atau rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Dalam
hal dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas permukiman kumuh,
pembangunan rusuna/rusunawa tersebut harus tetap memberikan
prioritas kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah yang
tinggal di permukiman kumuh tersebut untuk dapat lebih mudah
mengakses kebutuhan huniannya, dengan menciptakan berbagai
kemudahan tertentu bagi mereka, dan tetap berpegang kepada prinsip
pembangunan dengan tanpa menggusur.

2. Pengembangan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman,
yang meliputi :

  • Pengembangan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap
    bangun (Lisiba).
  • Pengembangan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.

Pengembangan Kasiba dan Lisiba di daerah, termasuk Lisiba berdiri sendiri, adalah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten atau Kota, dan
Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di
Daerah (RP4D) yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah. Kasiba dan
Lisiba tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan permukiman
skala besar secara terencana sebagai bagian dari kawasan khususnya di
perkotaan, mulai dari kegiatan seperti penyediaan tanah siap bangun dan
kaveling tanah matang, serta penyediaan prasarana dan sarana dasar
permukiman, termasuk utilitas umum, secara terpadu dan efisien, dan
pelembagaan manajemen kawasan yang efektif. Untuk mewujudkan
struktur pemanfaatan ruang Kasiba dan Lisiba, disamping melalui
pentahapan program yang dikembangkan oleh badan pengelola dan sejalan
dengan program pembangunan daerah, tetap diperlukan dukungan
Pemerintah di dalam menyediakan prasarana dan sarana dasar kawasan
yang bersifat strategis sebagai kegiatan stimulan dan pendampingan, yang
untuk selanjutnya diharapkan dapat lebih diwujudkan berdasarkan prinsip
kemitraan yang positif dari dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah.

Prinsip-prinsip pembangunan kawasan permukiman yang berkelanjutan,
baik secara internal di dalam kawasan maupun secara eksternal
kesalingterkaitannya dengan skala kawasan yang lebih luas, diterapkan
secara efektif di dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba, termasuk Lisiba
berdiri sendiri. Penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba dengan manajemen kawasan yang efektif diharapkan juga mampu berfungsi sebagai instrumen
untuk mengendalikan tumbuhnya lingkungan perumahan dan permukiman
yang tidak teratur dan cenderung kumuh. Keragaman fungsi secara relatif
terbatas dari Kasiba dan Lisiba, disamping dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi kawasan, juga diharapkan dapat menampung secara seimbang
kebutuhan perumahan dan permukiman bagi semua lapisan masyarakat,
termasuk lapisan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Sehingga
dengan demikian mereka dapat terbantu untuk memperoleh kesempatan
yang sama untuk menikmati hunian yang layak, prasarana dan sarana dasar
permukiman yang memadai dengan harga yang relatif lebih terjangkau,
termasuk melalui pengembangan sistem subsidi silang bila diperlukan.
Dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba serta kaitannya dengan
pengelolaan tata guna tanah, juga perlu dipertimbangkan pengembangan
Bank Tanah untuk lebih mengendalikan harga tanah.

3. Penerapan tata lingkungan permukiman, yang meliputi :

  • Pelembagaan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan
    dan permukiman di daerah (RP4D)
  • Pelestarian bangunan yang dilindungi dan lingkungan permukiman
    tradisional.
  • Revitalisasi lingkungan permukiman strategis.
  • Pengembangan penataan lingkungan permukiman dan pemantapan standar pelayanan minimal lingkungan permukiman.

Upaya pengembangan permukiman juga ditujukan secara seimbang bagi
permukiman yang telah terbangun, dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya penurunan kualitas permukimannya, melindungi nilai-nilai
spesifik, unik, tradisional, dan bersejarah yang telah tercipta sepanjang
umur kawasan, dan untuk meningkatkan kinerja kawasan sehingga dapat
melampaui ukuran indeks minimal keberlanjutan kawasan.

Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di
Daerah (RP4D) merupakan pedoman perencanaan, pemrograman,
pembangunan dan pengendalian pembangunan jangka menengah dan atau
jangka panjang yang harus diupayakan dapat melembaga di setiap daerah,
melalui peraturan daerah, yang untuk realisasinya harus dipantau dan
dikendalikan dari waktu ke waktu, serta dikelola dengan tata
pemerintahan yang baik dan melibatkan secara sinergi kemitraan
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. RP4D merupakan arahan utama
sehingga pada setiap kurun waktu tertentu para pelaku pembangunan
perumahan dan permukiman di daerah dapat mengukur dan mengevaluasi
kinerja keberhasilan penataan lingkungan perumahan dan permukiman di
daerah yang bersangkutan.

Perumahan atau permukiman yang bernilai spesifik dan unik ditinjau dari
aspek sosial budaya, teknologi, dan arsitektural, bernilai tradisional, dan
bernilai sejarah, termasuk secara khusus pada bangunan gedung dan
lingkungannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan cagar budaya
yang ada dapat dikategorikan sebagai benda atau situs yang harus
dilindungi dan dipelihara. Perlindungan dan pemeliharaan yang dilakukan
dapat mulai dari kegiatan pendataan, dan pemugaran, konservasi atau
renovasi sampai dengan kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan guna
pelestarian khususnya nilai-nilai berharga yang terkandung didalamnya.
Pelestarian juga dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jatidiri
masyarakat yang dinamis namun masih berbasis pada nilai-nilai kontekstual
setempat. Dalam hal tertentu, upaya revitalisasi kawasan perumahan dan
permukiman yang dinilai strategis tetap dimaksudkan untuk merealisasikan
pembangunan berkelanjutan, namun dengan memanfaatkan potensi
spesifik dari asset permukiman yang bisa dikembangkan secara ekonomi,
sosial, dan lingkungan.

Sejalan dengan dinamika masyarakat yang berinteraksi melakukan
kegiatan berusaha, bersosial budaya, dan bertempat tinggal,
keberlanjutan suatu permukiman menjadi sangat dipengaruhi oleh tingkat
pencapaian masyarakat secara keseluruhan dari segi sosial, ekonomi, dan
tuntutan lingkungan yang dikehendaki, disamping akan juga dibatasi oleh
daya tampung dan daya dukung lahan atau ruang yang tersedia. Karena itu,
standar pelayanan minimal kawasan permukiman harus terus dimantapkan,
sekaligus ditumbuhkembangkan aplikasi konsep penataan lingkungan
permukiman yang responsif, yaitu yang layak huni, berjatidiri, dan
produktif. Penataan lingkungan permukiman dapat dikembangkan mulai
dari yang berskala tapak bangunan, suatu lingkungan, sampai dengan skala
kawasan, dengan memperhatikan berbagai aspek seperti keragaman fungsi
lingkungan/kawasan, aksesibilitas, ekologi lingkungan, dan kesalingterkaitan
dengan fungsi ruang dan kawasan lainnya, termasuk
pertimbangan keberlangsungan keanekaragaman hayati yang ada.
Dalam rangka pengembangan penataan lingkungan permukiman dan
pemantapan standar pelayanan minimal perumahan dan permukiman, juga
harus pula dipertimbangkan pentingnya mencegah perubahan fungsi
lahan, menghindari upaya pemaksaan/penggusuran di dalam pelaksanaan
pembangunan, mengembangkan pola hunian berimbang, menganalisis
dampak lingkungan melalui kegiatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL), serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) secara konsisten, dan menerapkan proses
perencanaan dan perancangan kawasan permukiman yang partisipatif dan
transparan, serta mengantisipasi potensi bencana alam yang mungkin
terjadi.



BAB VII. PENUTUP


Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP) merupakan
arahan dasar yang masih harus dijabarkan secara lebih operasional oleh berbagai pihak
yang berkepentingan di bidang penyelenggaraan perumahan dan permukiman,
sehingga pada akhirnya Visi yang diharapkan dapat dicapai dengan baik. Penjabaran
secara teknis melalui kegiatan penyiapan perangkat pengaturan, perencanaan,
pemrograman, pelaksanaan, dan pengendalian serta pengelolaan pembangunan
dilakukan secara menyeluruh di semua tingkatan pemerintahan, baik di Pusat maupun
di Daerah wilayah provinsi, kabupaten dan kota. Penjabaran kebijakan dan strategi
nasional tersebut juga dapat dicerminkan melalui penyiapan Propeda, RP4D dan
Repetada di tingkat daerah.

Perencanaan sasaran penyelenggaraan perumahan dan permukiman di setiap daerah
sangat ditentukan oleh kesiapan dan rencana pengembangan kelembagaan di daerah,
kinerja pemenuhan kebutuhan perumahan, kinerja pencapaian kualitas permukiman,
termasuk kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan kondisi permukiman yang
bersifat spesifik, perlindungan nilai-nilai kontekstual permukiman setempat,
pengembangan arsitektur bangunan, permukiman dan perkotaan serta perdesaan,
serta dalam kaitan perwujudan perkotaan dan perdesaan secara keseluruhan dalam
konteks pengembangan wilayah.

Berlandaskan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata pemerintahan yang
baik, penyelenggaraan perumahan dan permukiman diharapkan dapat dilaksanakan secara penuh dan efektif di semua tingkatan pemerintahan, sehingga pada akhirnya “papan” sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi secara layak
bagi seluruh rakyat Indonesia; dan proses pendidikan keluarga, persemaian budaya
serta peningkatan kualitas generasi yang akan datang dapat lebih terjamin guna
membentuk masyarakat yang lebih berjatidiri, mandiri dan produktif.