Bagian: I
Dari perspektif historis sosiologis, munculnya kota sebenarnya sudah mulai terjadi semenjak masyarakat memasuki fase agrarian society (Lihat
uraian para ahli sosiologi dan antropologi yang dibahas panjang lebar
oleh Macionis (1977). Dalam kajian itu, Macionis membagi perkembangan
masyarakat berbasis teknologi produksi, pola pemukiman, organisasi
sosial dan sebagainya, dalam lima fase: mulai dari hunting and gathering
society, pastoral and horticultural society, agrarian sociaety,
kemudian industrial society, terakhir adalah post-industrial society.).
Pada saat itu, aktivitas dan mata pencaharian penduduk masih terpusat
di desa-desa, karena berupa usaha pertanian yang pada umumnya berada di
kawasan pedesaan (country side). Sementara itu, pertumbuhan
produksi hasil pertanian yang tinggi menyebabkan tidak semua hasil itu
dapat diserap dan disimpan untuk konsumsi internal setiap masyarakat
yang ada di kawasan itu. Dari proses inilah kemudian berkembang proses
“perdagangan” (yang awalnya berupa barter), yang terpusat bukan
di sentra- sentra produksi hasil pertanian, tetapi di titik-titik dimana
alur lalu lintas barang dan jasa mengalami pertautan. Inilah titik
tumbuh munculnya kota pada fase agrarian society.
Pada
fase itu, secara umum karakteristik kota tidak jauh berbeda dengan
desa. Di kota seperti itu, aktivitas utama adalah akumulasi hasil produk
(pergudangan, sortir, pembungkusan dan kemudian penyaluran).
Kebutuhan akan sarana pertanian (tradisional) mengharuskan munculnya
usaha pembuatan alat-alat pertanian, yang biasanya masih berskala lokal
dan diproduksi dengan teknologi yang ada pada fase itu. Handtools ini memang selangkah lebih maju dari primitive weapons,
yang sejak awal peradaban manusia telah dikenal, baik sebagai senjata
maupun alat berproduksi (berburu maupun berladang pindah). Unit produksi
ini memang mulai muncul tetapi belum mampu menjadi pengerak ekonomi
yang penting, karena dominasi usaha pertanian lebih menonjol (Gambaran
tentang kehidupan pertanian dan perkembangan ekonomi jangka panjang
yang mendahului dan mendorong hadirnya revolusi industri diurai secara
panjang lebar oleh Laeyendeckker (1985).
Baru pada fase industrial society,
kota benar-benar memiliki perbedaan yang sangat mendasar dari desa
maupun kawasan yang ada di luarnya. Jika mengacu pada sejarah
industrialisasi, khususnya di negara negara Eropa (Pada
umumnya milestone untuk menunjukkan fase industrial society adalah
ditemukannya mesin uap, kemudian mendorong munculnya revolusi industri
di Inggris, yang kemudian menyebar ke negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat. Gambaran secara detail tentang perkembangan ini diurai oleh
Gravovetter (1992),
kota mengalami perubahan yang mendasar ketika proses-proses produksi
industrial terpusat di kota-kota. Perbedaan mendasar dari karakteristik
kegiatan usaha, relatif lebih tingginya nilai tambah (upah dan
penghasilan lain), serta pergeseran tatanilai budaya industri yang
modern menggantikan budaya agraris tradisional, telah menjadikan
industri sebagai fajar baru yang merekah dan menarik banyak pihak untuk
terlibat di dalamnya. Akhirnya, pertumbuhan industri yang menggunakan
ruang kota (karena kebutuhan kemudahan, fasilitas dan prasarana dan
semua ini pada umumnya tersedia di kota) menyebabkan kota menjadi tempat
aglomerasi penduduk yang makin lama makin menguat. Inilah ciri kota
pada fase industrial society, kegiatannya dan penduduk terpusat di kota.
Tumbuhnya pola perkembangan kota (Buku
klasik karya E. W. Burgess (1967) nampaknya masih menjadi referensi
banyak ahli ilmu sosial untuk menjelaskan fenomena perkembangan kota,
terutama kaitannya dengan industrialisasi) yang
mengikuti hadirnya industri antara lain nampak dari munculnya pola
pemukiman mengikuti alur sepanjang jalur transportasi (pola pita),
mengikuti agregat industri yang ada di kota (pola multinuclei)
serta pola sektoral yang tumbuh akibat terjadinya pemanfaatan ruang kota
yang makin berragam. Terlepas dari seperti apa pola pemanfaatan ruang
kotanya, kecenderungan yang nampaknya umum terjadi adalah (1)
pertumbuhan pemanfaatan ruang kota mengalami akselerasi yang tinggi
sejalan dengan meningkatnya aktivitas industri dan pendukungnya, (2)
kota dengan aktivitas industrinya memiliki kekuatan penarik (pull factor)
yang kuat sehingga terjadi aglomerasi penduduk yang tinggi, (3)
intensitas pemanfaatan ruang kota yang makin tinggi sehingga kemudian
menjadi kekuatan menumbuh-kembangkan kawasan pinggiran kota, sebagai
embrio munculnya kawasan urban baru di pinggiran kota (Lihat
pula kajian lain seperti yang dilakukan oleh Tommy Firman (1989) dalam
mengkaji kota-kota di sekitar Jakarta, yang semula dikenal dengan
konsep Jabotabek, kemudian kini dikenal dengan Jabodetabek).
Perkembangan
industri yang meluas sejalan dengan proses modernisasi telah memacu
berkembang dan munculnya kota-kota di negara sedang berkembang (Untuk
mendapat pemahaman tentang karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat
negara sedang berkembang, lihat Todaro (1977), namun dapat pula dilihat
pada buku-buku klasik tentang keterbelakangan dan ketergantungan,
misalnya karya Gunnar Myrdal, J.W. Schoorl dan sebagainya).
Relokasi industri ke negara-negara sedang berkembang dengan cepat
menumbuhkan kawasan industri baru, yang umumnya berkembang di kota-kota.
Kebutuhan lapangan kerja di negara baru merdeka dan tekanan jumlah
angkatan kerja akibat baby-boom, yang umumnya dialami negara
sedang berkembang pasca kemerdekaan, menyebabkan problema baru di
kota-kota yang umumnya menjadi tujuan urbanisasi penduduk pedesaan di
negara tersebut. Munculnya hunian liar, kampung kumuh di tengah kota
serta fenomena sektor informal perkotaan, beserta berbagai bentuk
perilaku kaum marginal perkotaan, menjadi wajah yang umum ditemui di
kota-kota di negara sedang berkembang.
Bagian: II
Kota
sebagai sebuah sistem kehidupan merupakan sebuah entitas yang kompleks,
yang dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial, dimana di dalamnya
terdapat sub-sub sistem (budaya, ekonomi, politik), yang satu sama lain
saling berkaitan dan mempengaruhi (interrelated sub systems) (Larry
Lyon dalam The Community in Urban Society (1987) menunjukkan keberadaan
community, yang berbeda dari society dalam lingkungan perkotaan).
Sebagai sistem sosial, kehidupan masyarakat kota dapat dilihat dari
dua sisi yang bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan: Struktur
sosial dan Proses sosial.
Dari
sisi struktur sosial, masyarakat kota dipengaruhi oleh berbagai
parameter atau atribut yang membentuk struktur tersebut. Parameter
struktur sosial ini terdiri dari dua macam, yaitu pertama, parameter
nominal, yang membagi secara tegas anggota masyarakat ke dalam dua
kategori yang berbeda, misalnya jenis kelamin, pekerjaan pokok, suku
bangsa, agama dan sebagainya. Parameter yang lain adalah parameter graduated,
parameter bertingkat-jenjang seperti umur, penghasilan, tingkat
pendidikan dan sebagainya. Dari sisi parameter nominal, perbedaan yang
terjadi akan menghasilkan keragaman sosial (social heterogenity),
makin berragam parameter nominal ini, makin berragam pula karakteristik
sosial yang ada dalam masyarakat. Pada sisi yang lain, bekerjanya
parameter graduated akan menumbuhkan kesenjangan sosial (social inequality), makin senjang posisi sosial masyarakat dalam struktur tersebut, semakin jauh jarak sosial (social distance) antar warga tersebut. Sebaliknya, makin pendek kesenjangan, makin dekat jarak sosialnya (Secara rinci lihat Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, materi untuk bahan ajar Akademi Militer, 1991).
Ini
semua menjadi pembangun dan penentu sturktur sosial yang ada dalam
masyarakat kota, sekaligus mempengaruhi proses sosial: interaksi sosial
yang terjadi diantara penduduk kota tersebut. Ini akan mempengaruhi
proses interaksi sosial masyarakat, apakah akan menumbuh- kembangkan
kerjasama (cooperation), atau sebaliknya justru menumbuhkan persaingan (competition) atau bahkan menghadirkan pertentangan (conflict) yang dapat menggoyahkan sendi sendi kehidupan masyarakat tersebut (Lihat
Waters and Crook (1990) atau buku-buku teks klasik sosiologi akan
secara rinci menjelaskan tentang interaksi sosial dan bentuk-bentuk
interaksi sosial ini).
Dalam perspektif sosiologis, makin ragam suatu masyarakat dan atau
disertai oleh makin tingginya kesenjangan sosial ekonomi di dalam
masyarakat tersebut, akan sangat besar pengaruhnya terhadap proses
intergrasi sosial (social integration) masyarakat. Perbedaan
sosial dan jarak sosial akan menghasilkan sekat-sekat sosial yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses integrasi sosial masyarakat, suatu
kondisi atau prasyarat yang umumnya yang dibutuhkan oleh masyarakat
untuk berkembang secara normal dan wajar.
Bagian: III
Sejarah
kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota yang dimasa lalu berkembang
karena perdagangan, tidak dapat dipungkiri fakta historisnya bahwa
kota-kota itu menjadi persinggahan, pertemuan dan percampuran lintas
budaya, etnis, agama sehingga menghasilkan kompleksitas masyarakat yang
sangat tinggi. Kemajemukan masyarakat kota-kota seperti itu makin
bertambah sejalan dengan majunya sarana transportasi maupun terbukanya
isolasi geografis, baik dimasa lalu maupun sekarang ini. Kota menjadi
representasi masyarakat yang berkarakter majemuk, baik dalam pengertian
sebagai plural society maupun pluralistic society.
Gambaran Furnivall tentang masyarakat majemuk sebagai masyarakat bangsa
yang terpilah sesungguhnya jelas terjadi dalam masyarakat kota-kota di
Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan.
Dalam pemahaman Rabuskha dan Shepsle (Lihat
karya Rabuskha dan Shepsle “Politics in Plural Society”. Dalam buku ini
Rabuskha mengupat konsep masyarakat majemuk dari J.S. Furnivall dan
M.G. Smith, serta secara panjang lebar menggambarkan kosepnya tentang
plural dan pluralistic society), persamaan antara plural society dan pluralistic society terletak pada faktor cultural diversity,
adanya keragaman kultural, mengingat sangat sukar dipahami suatu
masyarakat yang memiliki kebudayaan tunggal, tanpa ada di dalamnya
keragaman subcultures. Namun pada pluralistic society, keragaman ini tidak menimbulkan problema integrasi sosial yang significant, sementara pada plural society,
keragaman kultural ini menimbulkan problema integrasi sosial
masyarakat, mengingat adanya faktor lain yang mendukung keragaman itu
sebagai entitas yang diperjuangkan melalui political organization dan menjadikannya kekuatan yang memberi arah perjuangan sepanjang atau berbasis garis etnis atau kultur tertentu (ethnic salience).
Jadi
pada dasarnya, di Indonesia sekarang ini (maupun di masa lalu),
karakteristik masyarakat kotanya adalah masyarakat yang majemuk dalam
pengertian plural society, sehingga keragaman ini menjadi faktor
yang mempengaruhi dinamika maupun integrasi sosial masyarakat tersebut.
Kondisi ini akan memiliki implikasi yang kian penting manakala
konfigurasi parameter nominal maupun graduated yang ada dalam
masyarakat tersebut mengarah pada kondisi yang saling mengukuhkan
(konsolidasi parameter struktur sosial), bukan membangun irisan-irisan
antar parameter sehingga membuka sekat sosial yang ada menjadi makin
terbuka (interseksi parameter struktur sosial).
Konsolidasi parameter struktur sosial terjadi manakala parameter yang satu berkembang saling mengukuhkan (coinsided)
dengan parameter yang lain. Akibatnya antar parameter itu membangun
kekuatan yang berkembang saling mengukuhkan. Jika menengok masa lalu,
kondisi yang demikian diperparah lagi dengan realitas keberadaan tiap
komunitas etnis dalam ruang kota tertentu, yang terpisah dari komunitas
etnis yang lain. Terlebih lagi jika kemudian diikuti oleh terjadinya economic and social inequality antar komunitas etnis tersebut. Masyarakat kota yang demikian tergolong masyarakat yang fragile, integrasi sosialnya rapuh, sehingga mudah terjadi konflik yang mengarah pada all out war antar komunitas etnis. Ini yang kemudian mendorong pemerintah kolonial dahulu menggunakan force (Dalam
analisis JS Furnivall, karakteristik masyarakat majemuk adalah rawan
konflik dan kemungkinan konflik yang terjadi menyerupai all out war,
sehingga menurut Furnivall, untuk mengintegrasikan masyarakat yang
demikian, diperlukan kekuatan (force) yang dapat memaksa terjadinya
integrasi sosial. Nasikun mengkritik pandangan ini karena terlalu
simplistik dan menyederhanakan masalah) untuk
mengintegrasikan masyarakat yang seperti itu. Apakah di era
kemerdekaan, di era demokratisasi dan HAM sekarang ini, pola penanganan
seperti itu masih relevan?.
Bagian: IV
Pembangunan merupakan upaya untuk membuat kondisi menjadi lebih baik (Lihat Tjokrowinoto (1996), “Pembangunan, Dilema dan Tantangan”).
Tapi tidak dipungkiri bahwa pembangunan telah membawa dampak, baik
positip maupun negatip. Positip bagi siapa atau negatip bagi siapa?
Pertanyaan seperti itu seringkali muncul dalam perjalanan waktu
pelaksanaan pembangunan di Indonesia semenjak Orde Baru. Pembangunan
telah membawa banyak perubahan di Indonesia, khususnya di wilayah
perkotaan. Urban planning yang dilakukan semakin lama semakin mengarah pada upaya memanfaatkan ruang kota sesuai dengan standart kehidupan yang lebih “memanusiakan manusia”. Sungguhpun demikian, masih banyak pula urban planning dilakukan karena tuntutan kondisi yang mengharuskan adanya penataan (emergency plann), sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan sebelum menjadi makin sukar diselesaikan.
Urban planning
pada umumnya dituangkan dalam ketentuan peraturan perundangan sebagai
produk politik lembaga yang kompeten dan harus dilaksanakan oleh lembaga
yang kompeten pula. Namun das sein selalu sama dan sebangun dengan das sollen. “Apa yang seharusnya” yang berujud urban planning
itu, seringkali tidak sesuai dengan “apa yang senyatanya”, karena apa
yang direncanakan itu tidak dapat diimplementasikan di lapangan.
Realitas menunjukkan, banyak produk peraturan tata ruang bak macan ompong, yang tidak sesuai dengan harapan dan kaidah penyusunannya. Persoalan ekonomi, sosial, politik dan kepentingan berbagai stakeholder, berkelindan menyertai permasalahan ini. Kompleksitas masyarakat yang berkarakter plural society makin membuat permasalahan seperti ini makin tak mudah diurai dan dipecahkan.
Dalam
konteks pengembangan infrastruktur perkotaan, permasalahannya jelas
tidak semudah merencanakannya, terutama jika perencanaan itu tidak
mengakar ke bawah (grassroot planning, bottom up planning).
Perencanaan yang mengabaikan kondisi struktur sosial dan proses sosial
ekonomi yang ada dalam masyarakat akan menghadapi banyak kendala dalam
implementasinya. Bahkan, pengembangan infrastruktur kota akan dipandang
sebagai hal yang baik dan menguntungkan bagi suatu kelompok, namun bisa
juga akan dipandang sebagai ancaman, bahkan ancaman yang mematikan,
bagi kelompok yang lain. Terlebih lagi jika pengembangan infrastruktur
kota itu akan mendorong makin kokohnya konsolidasi parameter struktur
sosial, serta mengukuhkan kesenjangan ekonomi yang ada dalam masyarakat.
Akibatnya, tanggapan dan reaksi (resistensi atau penerimaan) antar
kelompok akan berlainan terhadap hadirnya suatu pengembangan
infrastruktur, yang tujuannya untuk meningkatkan performa kota.
Bagian: V
Pembangunan
pada dasarnya memiliki katerkaitan dengan proses transformasi dan
mobilisasi sumber daya politik, ekonomi, sosial dan budaya untuk
melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Proses
pembangunan dapat menuju ke arah pemberdayaan, pembebasan, kesetaraan,
tetapi juga bisa menumbuhkan dominasi, ini tergantung bagaimana proses
transformasi dan mobilisasi itu dikelola dan dilaksanakan.
Kegiatan
pembangunan yang selama ini dilakukan memiliki kelemahan karena
berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan modernism, sehingga kurang
mendorong tumbuhnya kemandirian, keberdayaan dan kebebasan masyarakat,
sebaliknya justru menimbulkan dominasi, ketergantungan dan ketidak
berdayaan masyarakat. Menyadari kelemahan tersebut, reorientasi dan
pemikiran kembali pembangunan menjadi hal yang logis dan penting untuk
dilakukan. Beberapa pemikiran alternatif dapat digunakan sebagai pilihan
dalam melaksanakan pembangunan.
Pembangunan
yang mengedepankan pengembangan komunitas lokal memberi penekanan pada
pengembangan sumberdaya lokal, sesuai dengan potensi lokal. Model ini
sangat menghargai kemajemukan/keanekaragaman potensi lokal,
mengedepankan kemampuan melakukan tata kelola dan kearifan lokal. Model
ini meminimalisasikan berbagai bentuk penyeragaman, yang dipandang
dapat merusak potensi lokal, yang hasil akhirnya adalah menghasilkan
produk yang tidak berkelanjutan dan menghasilkan ketergantungan pada
kekuatan dari luar, menghilangkan baik inisiatif lokal, maupun sistem
tata kelola dan kearifan lokal.
Model lain yang sejalan adalah pembangunan berpusat pada rakyat atau participatory development.
Model ini menekankan partisipasi luas, aksesibilitas, keterwakilan
segenap elemen dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang
menyangkut nasib dan kehidupan mereka. Model ini juga mengedepankan
proses yang demokratis, berbasis masyarakat, bukan berbasis negara,
menolak perencanaan yang bersifat topdown yang sarat dengan mobilisasi, kooptasi dan politik represif, yang memperlemah kemampuan dan partisipasi masyarakat.
Bagian: VI
Man is central concern.
Pengembangan infrastruktur yang bertujuan untuk meningkatkan performa
kota, tetap harus menempatkan manusia sebagai inti dan hal paling utama
dalam proses perencanaan tersebut. Dengan basis kemanusiaan tersebut maka, apapun intervensinya, pengembangan dan pembangunan kota seharusnya dipandang sebagai sebuah proses societal change yang terrencana, harmonis, sistemik dan dinamis berinteraksi dengan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Mengingat posisi manusia sebagai central concern, maka segala pendekatan pengembangan, pembangunan maupun rencana pemanfaatan serta penataan ruang/kawasan/space, seharusnya selalu dijabarkan berdasarkan hak-hak asasi manusia, human right based.
Tidak mudah memang, tetapi bukan berarti tidak bisa dicoba dan diupayakan!
Sumber:
Suharman (Dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM - Wakil Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM)
Seminar Nasional:
Integrated
City: Kolaborasi Elemen Urban Planning dalam Perspektif Sosial dan
Ekonomi Melalui Pengembangan Infrastruktur Untuk meningkatkan Performa
Kota
Sabtu 12 Maret 2011, Ruang Seminar Gedung Pasca Sarjana UGM


