Pendahuluan
Kota
muncul dikarenakan adanya surplus pertanian, dan pada saat yang sama,
terjadi spesialisasi tenaga kerja. Namun demikian, spesialisasi tenaga
kerja menuju bidang usaha non-pertanian dasar, memiliki karakteristik increasing returns to scale,
dimana dengan peningkatan skala produksi maka efisiensi produksi akan
meningkat. J.U. Marshall (1989) menekankan bahwa kegiatan ekonomi
tertentu muncul di kota dikarenakan adanya efisiensi dalam aspek
komersial, manufaktur dan administrasi yang sulit dicapai jika
beroperasi di populasi yang tersebar (dispersed).
Kota
telah dikenal dalam sejarah sebagai simbol peradaban, bahkan untuk
peradaban-peradaban tertua di dunia. Fungsi perkotaan telah menembus
batas dimensi perekonomian, hingga mencakup pula dimensi sosial budaya,
sebagai manifestasi dari hakikat dasar kota. Hakikat dasar kota adalah
tempat berkumpulnya manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi dan sosial,
dan berkumpulnya manusia menciptakan efek aglomerasi yang selanjutnya
mendorong kemajuan peradaban manusia.
Dominasi
kota dalam kehidupan manusia dapat dilihat sebagai fenomena global,
dimana kota tidak saja tumbuh dari segi jumlah dan populasi
masing-masing kota, namun juga meningkatnya peran kota dalam
perekononomian negara. Di Jepang, ketiga kota metropolitan yaitu Tokyo,
Osaka dan Nagoya, beserta daerah hinterland masing-masing kota
tersebut, mencakup hanya 5,2% luas Jepang, namun menyumbang 33% dari
populasi Jepang, dan 40% dari PDB Jepang. Begitu pula di Perancis, Greater Paris hanya seluas 2,2% dari luas Perancis, tetapi menyumbang 30% dari PDB Perancis.
Selain
itu, menurut Marshall (1890), eksternalitas sebagai efek aglomerasi,
dapat digambarkan sebagai preferensi industri untuk saling berlokasi
dekat satu sama lain dikarenakan kelebihan yang sangat signifikan untuk
pemain ekonomi dengan keahlian yang sama dari keberadaannya yang dekat
dengan lingkungan keahlian yang sama. Proses ini terjadi seperti diluar
kesadaran, dimana pekerjaan yang baik diapresiasi dengan tepat, penemuan
dan perkembangan dalam peralatan, proses dan pengaturan bisnis dibahas
secara intensif, dan ide baru cepat dimplementasikan atau bahkan
dikembangkan dengan masukan dari pihak lain. Inilah proses yang menurut
Marshall menjelaskan kreativitas insan perkotaan.
Thisse
dan Fujita (2002) menyimpulkan adanya empat hal yang menjadi kunci dari
kelebihan aglomerasi perkotaan, yaitu produksi massal dalam
karakteristik increasing returns to scale, ketersediaan jasa dan bahan baku khusus, terbentuknya tenaga kerja spesialis dan ide-ide baru dari akumulasi human capital dan komunikasi face-to-face,
serta adanya infrastruktur modern. Makalah ini akan fokus kepada aspek
ketersediaan infrastruktur modern, sebagai salah satu dari lima pilar
utama perkotaan.
Infrastruktur Perkotaan
Infrastruktur
dapat didefinisikan sebagai sistem yang mendukung kegiatan masyarakat,
termasuk jaringan telekomunikasi, listrik, air dan sanitasi, serta
transportasi. Keberadaan infrastruktur modern menjadi kunci penopang
kegiatan masyarakat perkotaan. Penyediaan infrastruktur perkotaan
seringkali terkendala meningkatnya populasi kota dari urbanisasi yang
bersamaan dengan semakin tuanya infrastruktur yang ada dan keterbatasan
kapasitas.
Aglomerasi melibatkan dua macam gaya, yaitu gaya centripetal
yang menarik kegiatan ekonomi dan sosial untuk berlokasi secara
terpusat dan terkumpul demi mendapatkan manfaat aglomerasi diantaranya economies of scale, dan gaya centrifugal yang mendorong kegiatan ekonomi dan sosial untuk berlokasi diluar dikarenakan adanya inefisiensi dari congestion
di perkotaan atau biaya tanah yang mahal. Ketidakmampuan kota
meningkatkan pelayanan infrastruktur sesuai tingkat pertumbuhan populasi
akan mendorong gaya centrifugal.
Tantangan
terbesar yang dihadapi perkotaan adalah penyelarasan pilar-pilar
ekonomi, sosial dan lingkungan, dikarenakan kuatnya tekanan dari fungsi
ekonomi perkotaan dalam menopang perekonomian negara. Penyediaan
infrastruktur, bahkan peningkatan efisiensi ruang perkotaan, didominasi
oleh pertimbangan ekonomi, dan sifat sosial dan lingkungan menjadi
penyeimbang. King (1997) mengamati bahwa sejak abad ke-19, masyarakat
mulai melihat kota sebagai sebuah kelompok bangunan, fungsi dan
infrastruktur kompleks yang bersama-sama memiliki pengaruh penting
terhadap kualitas kehidupan masyarakatnya, dan keinginan untuk
mewujudkan lingkungan kota yang lebih sehat menimbulkan pemisahan urban planning dari disiplin ilmu arsitektur dan teknik (engineering).
Integrated Territorial and Urban Conservation Program (ITUC) merupakan program dari International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property
dibawah naungan UNESCO. Program ini mencoba mengintegrasikan
perencanaan untuk situs bersejarah dan daerah kebudayaan penting,
kedalam kerangka perkotaan dan wilayah yang lebih besar. Salah satu
kajian penting dari program ini adalah aspek estetika didalam
perencanaan kota. Tekanan populasi dan meningkatnya ekspektasi terhadap
fungsi ekonomi perkotaan, menyebabkan dominasi aspek ekonomi dalam
perencanaan perkotaan, dimana hal yang menjadi perhatian utama perencana
kota adalah dalam menangani kebutuhan akan efisiensi, hygiene, produktivitas dan penyediaan barang umum (social goods).
Pertimbangan estetika menjadi suatu variabel yang sulit diintegrasikan
kedalam formula perencanaan kota ditengah tekanan ekonomi yang berat.
Pengembangan sarana transportasi membawa perencanaan kota ke dimensi lain, dimana fokus yang sebelumnya lebih hanya kepada hygiene
dan udara bersih, kemudian bertambah bahkan menjadi relative didominasi
aspek lalu lintas. Namun Baumeister sebagaimana dikutip King,
menekankan bahwa fungsi estetika tetap memegang peranan dalam
perencanaan kota, dimana dikatakan bahwa jalan harus simetris, memiliki
aspek visual yang baik dan deret bangunan yang atraktif. Disisi lain,
King mengutip Camillo Sitte yang percaya bahwa perencanaan kota
berdasarkan sistem grid yang ketat membuat seni menjadi tidak memegang peranan.
City Beautiful
adalah perencanaan yang relatif mendominasi perencanaan kota di dunia
dan dianggap cukup berhasil memadukan aspek estetika dan aspek sosial
ekonomi perkotaan. Karakteristik dari perencanaan beautiful city adalah jalan bulevar yang lebar dengan deretan pepohonan, bangunan publik monumental di beberapa titik penting grid jalan
dan taman, serta adanya ruang terbuka. Menurut King, pendekatan ini
masih mengundang pertanyaan apakah cukup dengan adanya bulevar diagonal
dalam memecahkan grid jalan yang monoton, dapat memenuhi aspek
estetika secara memadai. Pendekatan ini cenderung sangat erat dengan
upaya mengatasi masalah lalu lintas, pencahayaan dan udara bersih,
dikarenakan bulevar lebar dengan deretan pohon tidak hanya indah, tetapi
juga mendukung lalu lintas serta memberikan pencahayaan dan aliran
udara yang baik untuk gedung-gedung disekitarnya. Banyak pihak yang
melihat aspek estetika sebagai sebuah upaya yang tidak realistis, dimana
memaksakan jalan kecil yang berkelok sangat tidak mungkin untuk
menampung lalu lintas tinggi, dan kritik keras banyak muncul untuk
mencegah infrastruktur perkotaan menjadi kurang fungsional demi sekedar
mempertahankan aspek seni.
Oleh
karena itu, yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana seharusnya
aspek estetika mendapat tempat dalam perencanaan infrastruktur
perkotaan, ditengah pentingnya aspek fungsional terkait pertimbangan
ekonomi, sosial, dan lingkungan? Definisi estetika yang begitu luas dan
berbeda-beda membuatnya sulit untuk menjadi pertimbangan penentu dalam
perencanaan kota, apalagi mengingat estetika relatif subjektif dengan
batasan yang kurang jelas sehingga dapat terpengaruh tren dan perubahan
selera. Perencana kota relatif melihat bahwa penerapan standar
lingkungan, pertimbangan land use, aturan kepadatan, lebar kota,
konservasi karakter lokal kota, sebagai upaya yang cukup memadai untuk
mengintegrasikan aspek estetika kedalam perencanaan kota.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa memadukan seni dan estetika seutuhnya kedalam
perencanaan infrastruktur kota bukan hal yang sederhana, dan kompromi
yang dapat dicapai adalah mengutamakan fungsionalitas infrastruktur
untuk kemudian diseimbangkan dengan pertimbangan estetika, sebagaimana
tercermin dalam gerakan City Beautiful.
Departemen Perencanaan Hong Kong pada tahun 2001 hingga 2003 melakukan studi “Urban Design Guidelines for Hong Kong” yang bertujuan menyiapkan acuan desain perkotaan untuk mempromosikan image Hong Kong sebagai world class city dan meningkatkan kualitas built environment dari segi fungsional dan estetika. Dari studi ini terlihat bahwa konsep estetika memiliki adaptability,
dan para perencana perlu mempertimbangkan kondisi dasar dari daerah
perencanaan. Untuk kasus Hong Kong, studi mengakui bahwa Hong Kong pada
dasarnya bukanlah kota dengan karakteristik arsitektur yang berkualitas
tinggi, dan memiliki kebutuhan pembangunan dan atribut yang khusus.
Beberapa diantara aspek-aspek yang dipertimbangkan adalah alam, yaitu
topografi seperti medan pegunungan, kemudian aspek sejarah yang
menentukan perkembangan kota hingga saat ini dimana Hong Kong berawal
sebagai fishing villages and market towns yang kemudian dibawah New Town program berkembang ke New Territories dan urbanisasi mendorong perkembangan bangunan-bangunan bertingkat tinggi.
Hong Kong merumuskan urban design attributes kepada tiga level, yaitu makro, intermediate, dan mikro. Pada tingkat makro adalah hubungan antara built environment dengan alam atau natural setting. Atribut termasuk diantaranya pelabuhan, gerbang atau gateways. Pada tingkat intermediate adalah
hubungan antara bangunan, bangunan dengan ruang, dan bangunan/ruang
dengan jalan. Atribut terkait termasuk diantaranya komposisi bangunan, landmarks, ruang terbuka, jalan pedestrian.Pada tingkat mikro adalah hubungan antara pengguna (masyarakat) dengan built environment, terkait persepsi pengguna. Atribut terkait adalah harmony, street furniture, streetscape, human scale.
Integrasi makro, intermediate,
dan mikro menjadi kunci utama pengembangan aspek humanis didalam
perencanaan infrastruktur perkotaan, dimana ketiga aspek dimulai dari
keseimbangan dengan kondisi alam, sinkronisasi diantara built environment,
dan pada akhirnya, perspektif pengguna atau masyarakat yang ketiganya
terwujud melalui atribut yang berbeda-beda yang dapat diformulasikan
sebagai acuan perencanaan kota.
Penataan Ruang di Indonesia
Penataan
ruang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang no.26 tahun 2007. Ernawi
(2010) menegaskan bahwa transformasi sosial di perkotaan Indonesia belum
membentuk morfologi kota-kota sebagaimana yang diharapkan. Definisi
dari morfologi yang diharapkan adalah fungsi-fungsi perkotaan yang
efisien, serta wajah kota yang estetis secara visual. Terkait penataan
ruang, Ernawi melihat salah satu penyebab tidak tercapainya morfologi
kota yang diharapkan adalah belum berfungsinya secara optimal Rencana
Tata Ruang Wilayah sebagai instrument pemandu pembangunan kota.
Menurut
Ernawi, UU Penataan Ruang baru diarahkan kepada teratasinya tujuh
kelemahan praktek penataan ruang masa lalu, diantaranya peran pemerintah
yang sangat dominan dan cenderung mengabaikan peran pemangku
kepentingan lainnya, penitikberatan kepada aspek pertumbuhan ekonomi
tanpa perhatian yang memadai atas perlindungan kualitas lingkungan dan
keselamatan publik, terbatasnya perhatian untuk berkembangnya kecerdasan
local sebagai aset perencanaan yang vital, dan proses perencanaan tidak
terkait proses perancangan bangunan dan infrastruktur pada tingkat yang
lebih rinci.
Ditjen
Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum telah merumuskan tujuh
kebijakan pokok untuk mewujudkan kota yang layak huni, yang secara garis
besar mencakup penegakan hukum dan penerbitan RTRW termasuk rencana
detail, insentif untuk perwujudan RTH sebesar 30%, dan meningkatkan
kolaborasi antar pemangku kepentingan berdasarkan pilar pembangunan kota
berkelanjutan yaitu sosial, ekonomi, lingkungan dan tata kelola atau
pemerintahan.
Dapat
dilihat bahwa komitmen pemerintah dalam penataan ruang kota adalah demi
membentuk morfologi kota yang mencakup elemen struktural terkait
efisiensi pelayanan publik, fungsional terkait optimalitas kegiatan
perkotaan, visual terkait estetika dan arsitektur tradisional, dan
lingkungan terkait perlindungan alam.
Rencana detail tata ruang (RDTR) menjadi produk utama yang menjembatani aspek mikro dengan aspek makro dan intermediate
dalam perencanaan kota. Skala perencanaan yang pada tingkatan detail
dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana tata ruang wilayah, dan
merupakan langkah integrasi aspek mikro kedalam perencanaan kota.
Kesimpulan - Solusi Pengembangan Infrastruktur Kota
Pengembangan
infrastruktur kota tidak dapat dipungkiri harus memenuhi prinsip
fungsionalitas, terutama dalam mendorong peran kota sebagai penggerak
ekonomi wilayah, terutama terkait peran infrastruktur sebagai elemen
yang mendorong efek aglomerasi. Namun demikian, penerapan aspek estetika
kedalam perencanaan infrastruktur kota dapat dilakukan dengan membagi
perencanaan menjadi tiga tingkatan, makro, intermediate, dan mikro, dimana aspek mikro menjadi perencanaan detail yang memungkinkan integrasi human perspective melalui atribut-atribut perencanaan mikro.
Aspek
estetika dalam mewujudkan kota yang humanis tidak dapat diseragamkan di
kota-kota yang berbeda, dan sebagaimana pengalaman di Hong Kong,
pertimbangan topografi dan historis dapat memandu perwujudan perencanaan
kota yang mempertimbangkan aspek estetika. Aspek estetika dapat
didefinisikan melalui kesesuaian dan harmonisasi terhadap aspek-aspek
topografi dan historis.
UU
Penataan Ruang telah memungkinkan pembentukan morfologi kota yang
menekankan adanya insentif untuk perwujudan RTH, serta peningkatan aspek
visual terkait estetika dan arsitektur tradisional. Rencana Detail Tata
Ruang di Indonesia dapat menjadi acuan dalam integrasi aspek mikro
kedalam perencanaan kota dan wilayah.
Daftar Pustaka
Marshall, J.U. (1989), The Structure of Urban Systems, Toronto: University of Toronto Press
Marshall,A. (1890), Principles of Economics, London: Macmillan, 8th edition published in 1920
Thisse, J.F. dan Fujita, M. (2002), The Economics of Agglomeration: Cities, Industrial Location, and Regional Growth, Cambridge University Press
King (1997), Aesthetics in Integrated Conservation Planning: A Consideration of Its Value, Urban Space and Urban Conservation as an Aesthetic Problem International Conference, Rome
Planning Department Hongkong SAR Government (2002), Urban Design Guidelines for Hong Kong
Ernawi (2010), Morfologi-Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Seminar Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber:
Dr. Emil Elestianto Dardak, MSc
(Executive
Vice President, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund & Assistant
Professor, Faculty of Economics, Universitas Esa Unggul Jakarta)
Seminar
Nasional - Integrated City: Kolaborasi Elemen Urban Planning dalam
Perspektif Sosial dan Ekonomi Melalui Pengembangan Infrastruktur Untuk
meningkatkan Performa Kota, Sabtu 12 Maret 2011, Ruang Seminar Gedung
Pasca Sarjana UGM


