Prolog
Public spaces
di negara-negara yang sedang berkembang seperti di Jakarta, Indonesia,
hampir selalu kurang dan bahkan ada yang mulai diinvasi oleh private
sector, dijadikan ruang publik milik privat. Tapi itulah kenyataan yang
terjadi, lihatlah mall yang menyediakan ruang publik, demikian juga
perumahan mahal yang menyediakan taman dan hutan kota yang orang mesti
bayar jika ingin menggunakannya.
Tapi hal berbeda terdapat di
Hanoi, Vietnam. Kota ini mempunyai lima danau besar, dan yang
mengejutkan danau-danau itu memiliki kebersihan yang terjaga,
pinggirannya tertata dengan taman-taman dan pavement yang terpelihara.
Demikian juga bagian kota lain yang mempunyai pathway yang besar hingga 5
meter dan digunakan untuk berkumpul banyak orang. Pada bagian yang
tidak mempunyai pathway yang besar, banyak orang yang menggunakan jalan
sebagai tempat berkumpul
Apa yang terlihat kemudian adalah
suasana vibrant, manusiawi dan sangat sehat, pada pagi dan sore hari
orang tua, pemuda dan anak-anak akan memenuhi bagian public spaces
tersebut.
Kemudian, lihatlah di hari Minggu
di depan gereja katolik tua di Hanoi, sekelompok anak muda dengan baju
ala mode barat saat ini, kaos hitam, dengan bandega bagi yang laki-laki,
sedangkan celana super short dan baju kaos ketat yang sering kali
terlihat tidak cukup bahan menjadi trend bagi anak perempuannya.
Memasang sound system mahal bikinan Jepang atau Korea, memutar musik
Michael Jackson, kemudian, secara serentak mereka melakukan moon walk,
menunjukkan bahwa mereka berlatih untuk pertunjukkan gratis dimuka umum
di hari itu.
Sementara itu, pada sore hari dipinggir
danau-danau, atau pinggir jalan utama yang mempunyai pathway besar,
orang tua berdansa tanggo atau waltz. Sedangkan tidak jauh darinya yang
lebih muda melakukan senam dengan wajah ceria dan segar terlihat. Di
pojok lain, walaupun agak mengganggu pejalan kaki, pathway dipasangi net
dan mereka bermain badminton di jalan itu, yang lain melihat dan duduk
di pinggir.
Di sisi lain, didepan Musoleum
Paman Ho, yang terlihat seperti miniaturnya Tianamen di Negeri Cina,
orang tua muda dengan anak-anaknya yang masih kecil juga "tumplek blek"
di sana berlari dan bermain layang-layang. Di Taman Lenin, tempat
berdirinya patung besar Lenin, terlihat anak kecil bermain mobilan
dengan baterai yang bisa mereka tumpangi. Sedangkan yang lebih besar
bermain mobil dengan remote control. Agak lebih malam, tepatnya pada
malam Minggu, di pinggir jalan muncul tempat makan seperti lesehan di
Yogya. tetapi mereka tidak benar-benar lesehan, tetapi duduk di bangku
plastik pendek. Dan ini tidak hanya di satu tempat saja - hampir disemua
tempat yang dilewati dengan menggunakan sepeda motor. Mereka makan pho -
mie rebus ala Vietnam yang sangat enak, dan minum kopi atau teh
vietnam.
Nah, tempat inilah yang
menjadikan suasana vibrant, tua muda, kaya miskin kumpul dengan suasana
gembira. Tentu gaya bebas baju dan relasi anak muda di sana bukan
sesuatu yang bisa di tiru di Indonesia. Namun, keberadaan public spaces
inilah yang mesti ditiru dan ditambahkan di kota-kota seperti Jakarta
dan Bandung.
Taman yang membebaskan kita dari
perbedaan sosial, gender dan ras, bukan taman publik di lahan privat
yang hanya dinikmati oleh anggota masyarakat tertentu saja, tentu saja
bagi mereka yang memiliki strata ekonomi yang tinggi atau mereka yang
hanya menunjukkan polesan luar saja, yang merasa malu jika mesti memakai
baju bukan bermerek. Tetapi taman yang memberikan suasana manusiawi
tempat ‘manusia merasa menjadi manusia’ setelah seharian di perbudak
waktu dan uang.
Hanoi pada lokasi public space
sangat memberikan kenyamanan yang terbaik. Tetapi sangat disayangkan,
kini mulai terlihat akan segara terkalahkan dengan masuknya pemikiran
pasar yang kapitalistik. menghilangkan public spaces hanya untuk
kepentingan uang.
Henry Lefebvre dan ruang
Prolog
di atas memberikan gambaran bagaimana keberadaan ruang kota yang baik
terutama ruang publik, ruang yang dapat diakses oleh penduduk kota
secara bebas, dapat membentuk suasana vibrant yang hangat dan egaliter,
sama bagi semua penduduk kota. Sayang keadaan ruang publik seperti itu
telah jarang dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Kenyataannya
sering ditemui adalah ruang kota yang terdegradasi dan digunakan secara
segmented.
Ada ruang kota yang diklaim
sebagi ruang publik di perempatan jalan yang digunakan oleh banyak
penduduk dan jualan-jualan oleh sektor informal, sayangnya keadaan ini
mengganggu lalu lintas. Sementara di Mall yang mahal tersedia tempat
berkumpul dalam bentuk cafe yang tentu saja dinikmati oleh segmen lain
dari penduduk kota secara exclusive. Mengapa semua itu terjadi?
Dalam buku Production of Space
(1991). Henry Lefebvre sudah menyampaikan kegundahan hatinya dan
menenggarai bahwa ruang kota saat ini telah dipakai sebagai ruang-ruang
konsumsi. Suatu pemikiran yang sangat kritis mengenai penggunaan ruang
perkotaan, lebih jauh Lefebvre menyatakan penggunaan ruang perkotaan
saat ini menunjukkan berbagai kontradiksi: 1) Kontradiksi antara
Domination dan appropriation; 2) kontradiksi antara Perceived space dan
conceived space; 3) kontradiksi antara representational spaces dan
representation of space dan 4) kontradiksi antara fixed capital dengan
variable capital.
Walaupun semua kontradiksi itu
sangat dirsakan pada kota-kota di Indonesia, namun barangkali
kontradiski ke-empat lebih terasa mewakili apa yang saat ini dirasakan
oleh banyak orang sebagai komersialisasi ruang kota. Pada dasarnya ruang
kota seharusnya diciptakan untuk digunakan oleh semua orang, karena
memang itulah nilai guna (use value) suatu ruang kota yang alamiah.
Tetapi pandangan seperti ini telah bergeser dengan munculnya pemikiran
ruang kota sebagai faktor produksi, yang dilihat adalah nilai tukarnya
(exchange value). Ruang kota telah tereduksi nilai gunanya dan secara
sempit dilihat sebagai faktor produksi yang jika dipakai sedemikian rupa
dapat memberikan keuntungan finansial yang besar bagi seorang investor.
Dalam pemikiran ekonomi
neoclassic, keadaan ini terlihat sebagai hal yang wajar karena
permintaan terus meningkat sementara pasokan terbatas. Pertambahan
penduduk perkotaan yang sangat besar, bahkan menurut data terakhir di
Indonesia 70% penduduknya akan tinggal di perkotaan, maka ruang kota
akan segara diinvasi oleh pertambahan penduduk. Pasokan ruang kota
menjadi “terbatas”, sementara permintaan terus menerus meningkat,
akibatnya adalah benturan pada penggunaan ruangnya.
Ruang kota akan dilihat sebagai
konsumsi karena diperlukan oleh masyarakat, dilihat sebagai komoditi
yang bisa diperjual belikan, yang mampu membeli, kemudian memberi nilai
tambah dengan mengembangkannya menjadi mall, atau tempat leisure lain,
akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Aktor yang terlibat
Lefebvre
menenggarai bahwa ruang yang dahulunya telah digunakan secara tetap
untuk kegunaan publik seperti, kantor pemerintah, terminal, jalan dan
taman umum. (yang disebutnya sebagai fixed capital) akan berbenturan
dengan keinginan sebagian pemilik modal, untuk menciptakan ruang baru
yang akan digunakan untuk mencari keuntungan, misalnya ruang untuk mall,
perkantoran dsb-nya, yang sifatnya adalah temporal dan mengikuti
keinginan pasar (ruang-ruang ini disebutnya sebagai variable capital).
Di sini lah peran pengembang
sangat besar dalam mencari variable capital dan memproduksinya untuk
digunakan mendapatkan nilai tambah yang pada akhirnya memberikan
keuntungan finansial yang besar. Jika sudah terasakan bahwa keuntungan
dari ruang yang diproduksinya menurun, maka dengan sigap pengembang akan
mengalihkan penggunaannya untuk mendapatkan nilai tukar yang lebih
tinggi lagi, misalnya perubahan penggunaan di Ratu Plaza Jakarta dari
mall yang umum menjadi spesifik, Hotel Indonesia yang berubah menjadi
Grand Indonesia. Bagi investor yang menginginkan quick yield keuntungan
yang cepat, maka bisa saja mereka akan membuat rumah yang segera
terjual, dan seringkali menjadi masalah di kemudian hari.
Bagi pengembang yang menginginkan
mendapatkan keuntungan lebih lama, dibuatlah ruang publik di ruang yang
sudah menjadi miliknya tersebut. Tentu saja, publik harus mengeluarkan
uang untuk menikmati keberadaan ruang kota di ruang privat tersebut,
ruang dalam mall adalah salah satu contohnya, hanya dipakai publik
ketika mall buka. Dalam keadaan seperti itu besar kemungkinan kota-kota
akan terdegradasi secara spasial. Ruang-ruang kota akan diambil alih
oleh kepentingan pasar dijadikan mall atau taman-taman yang tertutup
milik privat. Misalnya taman-taman dalam pengembangan perumahan baru
yang dijual sebagai daya tarik sebenarnya hanya dinikmati oleh sangat
sedikit orang.
Danau atau situ yang dimiliki
oleh pengembang seringkali dijadikan daya tarik dan dibuat tertutup
karena disekelingnya dibangun perumahan yang mahal, sehingga taman-taman
itu akan dinikmati oleh yang membeli rumah di sekeliling danau saja.
Sementara masyarakat umum yang tetap memerlukan ruang kota akan
menginvasi juga perempatan dan ruang uang marginal dalam kota untuk
digunakan. Jika tidak ada kebijakan yang baik dalam keadaan seperti maka
segregasi spasial akan segera terlihat.
Pemerintah akan menjadi aktor
yang sangat penting agar tidak terjadi konflik penggunaan sumber daya
ruang kota yang memang terasa menjadi semakin terbatas, kebijakan yang
tepat mesti dipegang oleh Pemerinatah Daerah. Pemerintah berkewajiban
menyediakan ruang kota yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat
dengan mudah.
Epilog
Keberadaan
ruang dalam suatu kota adalah keniscayaan, kota berkembang sejalan
dengan petumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduknya, yang akan
mengakibatkan bertambahnya kebutuhan ruang kota. Baik untuk kepentingan
privat atau dipakai sendiri ataupun untuk di perjual-belikan. Kebutuhan
ruang publik untuk dipakai penduduk kota secara bebas adalah kewajiban
Pemerintah Kota untuk selalu menyiapkan ruang-ruang kota yang dapat di
akses oleh seluruh penduduk kota.
Keberadaan ruang publik yang baik
akan dapat memberikan suasana nyaman vibrant, hidup dan memberikan
kenikmatan bagi peduduk kota. Sementara itu, UU Tata Ruang di Indonesia
telah menetapkan bahwa 20 persen dari ruang kota haruslah ruang yang
terbuka. Namun sayang peraturan ini belum menegaskan bahwa ruang terbuka
itu haruslah ruang publik, ruang yang bisa di akses oleh semua lapisan
masyarakat dengan bebas.
Keberadaan dan produksi ruang
publik tidak boleh dilepaskan kepada pasar, harus ada intervensi
pemerintah dengan jelas dan tegas. Pemerintah berkewajiban menyediakan
ruang publik yang baik, dimana dalam memproduksinya tentu saja dapat
bekerjasama dengan pengembang swasta. Boleh saja swasta menyediakan
ruang publik tetapi tidak boleh ekslusif karena eklusivitas ruang kota,
apalagi keberadaan ruang tersebut terlihat oleh semua lapisan
masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan yang membahayakan
ketentraman kehidupan kota.
Pemerintah harus dapat
menyediakan ruang publik dalam bentuk taman kota. Taman yang membebaskan
penduduk kota dari perbedaan sosial, gender dan ras, bukan taman publik
di lahan privat yang hanya dinikmati oleh anggota masyarakat tertentu
saja, yang kaya dan yang bergaya kaya. yang hanya menunjukkan polesan
luar saja, yang merasa malu jika mesti memakai baju bukan bermerek.
Tetapi taman yang memberikan suasana manusiawi tempat „manusia merasa
menjadi manusia? setelah seharian di perbudak waktu dan uang.
Sumber:
Haryo
Winarso (Ketua ASPI, Dosen di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung), Buletin Tata Ruang,
Juli-Agustus 2010 (Edisi: Ruang Untuk Semua)