Reformasi hukum pertanahan boleh jadi telah dimulai melalui penerbitan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 2007 yang lalu. Dalam ketentuan pelaksanaan pemanfaatan ruang, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 32-34, harus dilaksanakan dengan pengembangan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya. Selain itu dalam ketentuanketentuan perencanaan tata ruang wilayah kota, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 28-31, terdapat penegasan untuk menyediakan ruang terbuka hijau sekurangnya 30% dari luas wilayah kota, 20% di antaranya adalah ruang terbuka hijau publik dan 10% di antaranya adalah ruang terbuka hijau privat. Dalam hal ini pelaksanaan perencanaan ruang dan pemanfaatan ruang telah memasuki pengaturan ruang-ruang privat.
Pada tahun 2004 telah diterbitkan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, sebagai tindak lanjut dari UUPR terdahulu. Di dalam PP tersebut telah mulai diperkenalkan neraca tanah yang digunakan dalam penatagunaan tanah, walau hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan pengaturan yang lebih mendalam. Oleh sebab itu dalam Pasal 33(2) UUPR yang mengatur pengembangan penatagunaan tanah harus melalui penyelenggaraan kegiatan dan penyusunan neraca penatagunaan tanah.
2. Penatagunaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan, dalam penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. Hal ini membuka upaya bagi Pemerintah untuk memenuhi di antaranya ketentuan Pasal 29 yaitu aspek penyediaan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH), dan secara khusus adalah untuk pembangunan prasarana (infrastruktur) kepentingan umum.
Selama ini telah dikenal dua metode yang berkaitan dengan penyediaan lahan publik, yaitu sebagaimana dapat dilihat dalam dua kebijakan :
a. Konsolidasi lahan (land consolidation), sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Lahan.
b. Akuisisi lahan (land acquisition), sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Infrastruktur Publik.
Dengan terbitnya UUPR No. 26 Tahun 2007, kaidah-kaidah penatagunaan tanah memerlukan penyesuaian metode lebih lanjut sehingga dapat selaras dengan maksud dan tujuan penataan ruang di dalam UUPR tersebut.
3. Pemanfaatan Ruang
Dalam pemanfaatan ruang wilayah kota, dilakukan :
a. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
b. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan
c. Pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang strategis, ditetapkan kawasan budidaya yang dikendalikan dan kawasan budidaya yang didorong pengembangannya.
Pelaksanaan pembangunan dalam hal ini dilaksanakan secara terpadu. Adapun pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan :
a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
4. Neraca Penatagunaan Tanah
Neraca penatagunaan tanah pada dasarnya merupakan program operasionalisasi pemanfaatan ruang dalam upaya mewujudkan pola ruang dan struktur ruang wilayah dan kawasan strategis. Dalam penyusunannya telah mempertimbangkan berbagai ketentuan dan kaidah penataan ruang, meliputi di antaranya standar pelayanan minimal dan standar kualitas lingkungan.
Penyusunan neraca penatagunaan tanah meliputi :
a. penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;
b. penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah;
c. penyajian ketersediaan tanah dan sumber daya alam lain dan penetapan prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang wilayah.
Faktor ketersediaan dimaksudkan perlunya pertimbangan aspek meteorologi, klimatologi, geofisika, dan ketersediaan prasarana sumber daya air, termasuk sistem jaringan drainase dan pengendalian banjir.
5. Metode Land Readjustment (LR)
Salah satu alternatif metode yang dapat dikembangkan untuk kegiatan penyusunan neraca penatagunaan tanah adalah metode penyesuaian batas-batas kepemilikan tanah (land readjustment) yang dilakukan dengan menggunakan penentuan kembali batas-batas peruntukan lahan berdasarkan arahan zonasi dalam rencana tata ruang. Dengan menyesuaikan batas-batas kepemilikan tanah, selanjutnya dapat diperoleh lahan yang dikontribusikan untuk ruang publik atau prasarana kepentingan umum lainnya. Prinsip dasar dari metode ini adalah : replot – reshuffle – contribution (penyesuaian batas tanah – penyesuaian lokasi – kontribusi lahan).
Metode LR telah sukses diterapkan di Jepang dan Jerman, diikuti oleh Korea, Taiwan, dan Thailand, dan telah diujicobakan pada beberapa lokasi di Amerika, Asia, hingga Eropah. Beberapa varian yang lebih sederhana dari LR adalah land consolidation (Taiwan dan Indonesia), land banking (Australia), dan sebagainya.
6. Teknik Replotting
Teknik replotting adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam penyusunan neraca penatagunaan tanah, karena akan mengalokasikan peruntukan ruang untuk berbagai jenis aktivitas pemanfaatan ruang.
Teknik replotting dalam metode LR memperhatikan sepenuhnya kaidah-kaidah penataan ruang, khususnya aspek perubahan nilai lahan. Dalam teknik replotting ini dilakukan penilaian lokasi serta aspek eksternalitasnya, penerapan standar dan model perencanaan, proporsi peruntukan lahan, serta suatu arahan untuk penyediaan ruang publik.
7. Teknik Reshuffle
Dari hasil teknik replotting selanjutnya dapat dirancang batas-batas kepemilikan tanah secara rapi dan bentuk-bentuk persil yang lebih teratur dengan menggunakan teknik reshuffle. Teknik reshuffle memiliki pengertian realokasi batas-batas kepemilikan dan bentuk persil berdasarkan perubahan nilai lahan secara berkeadilan. Perubahan nilai lahan ini disesuaikan dengan jenis-jenis peruntukan dalam pemanfaatan ruang, berdasarkan kondisi awal sebelum pelaksanaan program.
8. Kontribusi Lahan
Proporsi ideal penyediaan ruang publik adalah minimal 30% dari suatu luasan kawasan. Bila 20% di antaranya adalah untuk ruang terbuka hijau publik, maka masih terdapat sekurangnya 10% untuk prasarana kepentingan umum lainnya, seperti jalan, saluran air, dan sebagainya.
Untuk memperoleh luasan ruang publik yang disyaratkan hingga saat ini masih menjadi masalah, mengingat selama ini aspek penyediaan lahan tersebut seakanakan masih menjadi tugas pemerintah. Mengingat kemanfaatannya adalah ditujukan kepada masyarakat luas, maka selayaknya masyarakat juga menanggung beban dalam penyediaan lahan publik tersebut.
Kontribusi lahan 30% diperoleh dari lahan masyarakat, dan bila menggunakan metode LR, maka angka tersebut dapat diperoleh melalui teknik replotting dan reshuffle. Kontribusi lahan dihitung secara proporsional sesuai dengan kondisi asal dan perubahan nilai lahan untuk setiap persil. Dengan demikian sebenarnya pemilik tanah tidak akan dirugikan walaupun telah mengkontribusikan sebagian lahannya, karena mendapatkan keuntungan dari peningkatan nilai lahannya.
9. Prasyarat Neraca Penatagunaan Tanah
Untuk melaksanakan suatu program neraca penatagunaan tanah pada suatu kawasan, diperlukan prasyarat : suatu perkiraan terjadinya peningkatan nilai lahan sekurangnya 150% setelah pelaksanaan program, sehingga rasio ini layak untuk mendapatkan kontribusi lahan. Berdasarkan perhitungan tertentu dari perubahan nilai lahan selanjutnya dapat dialokasikan sekurangnya 30% ruang publik pada kawasan tersebut.
Peningkatan nilai lahan secara drastis dapat ditimbulkan oleh :
- Pelaksanaan suatu program pembangunan oleh pemangku kepentingan pada kawasan tersebut, seperti misalnya pembangunan jalan, rumah sakit, pintu exit mass rapid transportation, dan sebagainya.
- Reklamasi atau pemulihan suatu kawasan dengan kualitas lahan rendah, seperti kawasan rawa, kawasan pasca bencana, dan sebagainya.
- Efek economic boom dari suatu kawasan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi, seperti pusat perniagaan, kawasan pariwisata, sentra industri, dan sebagainya.
10. Iklim bagi Penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah
Program penyusunan neraca penatagunaan tanah dapat dilakukan pada suatu kawasan dengan luasan sekitar 100 Ha, sehingga kegiatan replot dan reshuffle untuk mencapai target 30% ruang publik akan lebih leluasa untuk dilakukan.
Proporsi 20% ruang terbuka hijau publik bisa dikurangi bila selisih proporsi itu telah teralokasi pada kawasan lain di luar kawasan yang diprogramkan. Lingkup kawasan yang diprogramkan dapat diarahkan melalui RUTRK, RDTRK, atau Peraturan Zonasi; sehingga RUTRK, RDTRK, dan Peraturan Zonasi seharusnya telah mengindikasikan kawasan-kawasan yang akan diprogramkan untuk dilaksanakan neraca penatagunaan tanah.
Kontribusi 30% dari pemilik lahan dapat dikonversikan dengan nilai program pembangunan oleh Pemerintah, seperti pembangunan jalan dan sebagainya. Dalam beberapa hal perlu pengaturan lebih lanjut untuk menempatkan program pembangunan Pemerintah ini sebagai salah satu bentuk subsidi.
Sumber: Modul Zonasi, Materi Pelatihan Tim Teknis Tata Ruang Departemen Pekerjaan Umum, 2008 (oleh : ‐ekadj dan Hardwn)