Sebenarnya sejak tahun 1931, Indonesia, waktu itu Hindia Belanda, telah memiliki Monumenten Ordonantie Nr. 238, yaitu peraturan perlindungan terhadap bangunan lama/bersejarah. Pada tahun 1992, perangkat hukum tersebut direvisi menjadi UU Cagar Budaya Nomor 5/1992. Tetapi, keberadaan UU ini belum menjamin bahwa kegiatan pelestarian dan pemugaran di kota-kota Indonesia berlangsung baik, karena petunjuk pelaksanaan teknis maupun dukungan kebijaksanaan masih dalam proses penggarapan.
Lemahnya penerapan aspek legal dan kurangnya pemahaman mengakibatkan tidak sedikit bangunan tua bersejarah dikorbankan demi pembangunan baru (modernisasi). Di sinilah terjadi konflik kepentingan antara pro dan kontra kegiatan pelestarian/pemugaran. Situasi ini masih diperburuk dengan kurangnya partisipasi dan motivasi masyarakat dalam proses pembentukan lingkungan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejauh mana kaitan kegiatan konservasi dengan realitas sosial di Indonesia?
DALAM era pertumbuhan ekonomi, modernisasi fisik menjadi usaha penyetaraan. Semangat pembebasan dan apa yang disebut minderwertigkeitskomplexe melatarbelakangi proses tersebut. Pada sisi lain, orientasi terhadap tuntutan ekonomi tidak hanya menyebabkan de-orientasi pembangunan fisik, tetapi juga penolakan terhadap konsep serta produk seni bangunan dan seni binakota yang telah terbina, termasuk warisan sejarah dari zaman kolonial.
Dalam kegiatan konservasi sendiri masih terdapat permasalahan mendasar tentang pengertian monumen dan warisan sejarah. Monumen secara terbatas diartikan hanya pada bangunan monumental, candi, tugu ataupun prasasti. Kecuali keraton, istana dan bangunan religius, peninggalan sejarah lainnya yang tidak tergolong dalam kategori grand architecture-sebenarnya juga produk budaya-belum dapat diterima. Dalam diskusi warisan sejarah, pumpunan pengkajian masih terbatas pada warisan budaya dalam bentuk kesenian tradisional, kaligrafi, seni kriya, seni lukis tradisional, dan bahasa daerah/dialek. Sedangkan apresiasi terhadap artefak sejarah dalam konteks seni bangunan maupun kawasan kota sangat terbatas.
Secara empiris, kegiatan konservasi di kebanyakan negara Dunia Ketiga dipelopori dan dilakukan ahli-ahli asing atau sebagian kecil masyarakat berkecukupan yang sempat memperoleh pendidikan langsung/tidak langsung dari Barat (lihat kasus Gedung Arsip Nasional). Meskipun golongan masyarakat ini semakin hari jumlahnya meningkat, tetapi bukan jaminan penyebaran apresiasi terhadap warisan budaya berjalan lancar. Terlebih lagi kegiatan pembangunan fisik perkotaan di Indonesia masih berada pada sekelompok masyarakat tertentu dan bagi mereka bahkan menjadi semacam komoditi. Kondisi ini mengakibatkan timbulnya diskrepansi di dalam struktur masyarakat yang tercermin juga pada sektor pembangunan fisik. Jadi, jelaslah mengapa kegiatan pelestarian dengan segala aspek kulturalnya masih bersifat elitis dan belum memasyarakat.
Realitas sosial seni bangunan Indonesia saat ini berada dalam konteks pembangunan masyarakat industrial baru (era informasi). Hal ini ditandai dengan adanya perubahan mencolok dari masyarakat feodal-agraris menuju masyarakat demokratis-industrial. Struktur sosial budaya yang membentuk nilai dan batasan perancangan arsitekturalnya pun juga masih samar. Di satu pihak, kekaburan ini tidak lepas dari proses modernisasi sikap hidup dan di lain pihak berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung pesat namun hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat tertentu. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial maupun pendapatan yang terus melebar karena struktur pemerataannya tidak dan belum sempat terbangun. Tidak mengherankan apabila pembangunan kelembagaan pun lebih lambat dari pembangunan fisik arsitekturalnya. Adanya diskrepansi dalam struktur masyarakat secara tidak langsung juga menyebabkan sulitnya pengungkapkan apresiasi terhadap warisan budaya umumnya dan terhadap karya seni bangunan/seni binakota khususnya.
Hal ini terjadi karena realitas sosial yang mendukung nilai seni bangunan menjadi fragmen yang tidak mudah dikaitkan satu sama lain secara arsitektural.
SEJAK dua dasawarsa terakhir dimulai diskusi pencarian jati diri arsitektur Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini sudah sewajarnya bila posisi seni bangunan maupun seni binakota saat ini di Indonesia secara moral dituntut membentuk lingkungan hidup yang bercirikan nuansa regional secara kultural. Hal ini sekaligus diharapkan juga mampu menjembatani kesenjangan antara sektor informal dan formal yang merupakan fenomena realitas seni bangunan.
Karateristik permasalahan seni bangunan ini tidak bertumpu saja pada pencarian "gaya arsitektural" tetapi juga pada pengungkapan kembali konsep arsitektural yang telah ada sebelumnya; khususnya dari khasanah arsitektur tradisional dan kolonial.
Atas dasar pemikiran inilah maka pertimbangan kritis terhadap warisan budaya, khususnya arsitektur tradisional dan kolonial, menjadi sentral. Diperlukan usaha kreatif dalam melestarikan warisan budaya urban tersebut. Nuansa pendidikan dalam mengapresiasi konsep lama dan menginovasi sejarah sebagai acuan untuk mengembangkan konsep baru menjadi hal yang tak terelakkan, seperti dituturkan arsitek Richard Rogers (1988)...In all fields, not least in architecture, it is generally accepted that to learn from the past is the way forward and that history is a prime generator. Proses ini pada hakikatnya merupakan semangat dari konservasi.
Dalam konsep pengungkapan kembali bangunan bersejarah perlu adanya suatu manfaat yang jelas bagi komunitas untuk masa kini dan masa depan. Konservasi harus mampu mengantisipasi dan menjawab permasalahan lingkungan, sehingga kegiatan konservasi bukan hanya untuk mengenang dan membekukan masa lalu.
Sentimental budaya harus dihilangkan karena sebagian dari masa lalu bukan untuk menjadi kenangan, melainkan untuk dijadikan pertimbangan bagi konsep pengembangan lingkungan hidup. Dengan demikian, hakikat dan salah satu tujuan penting konservasi bangunan dan kawasan bersejarah adalah untuk proses belajar dan pengembangan komunitas per se.
Melalui penafsiran sejarah dan apresiasi kritis terhadap warisan budaya urban ini diharapkan komunitas semakin mampu menghargai eksistensi warisan budaya. Dengan penulisan sejarah tentang bangunan dan kawasan lama pula, maka proses apresiasi ini bisa berlangsung.
Realitas sekarang menunjukkan, kegiatan konservasi masih berada pada posisi marjinal. Meski demikian adalah tanggung jawab bersama untuk menginformasikan dan menyosialisasikan kegiatan konservasi dengan pendekatan partisipatif, yaitu melibatkan masyarakat ikut mengartikulasikan permasalahan lingkungan. Partisipasi mengindikasikan suatu bentuk proses perencanaan dan perancangan demokratis. Dengan demikian masyarakat tidak saja diberi kesempatan aktif mengenal, belajar dari lingkungannya, tetapi juga ikut bertanggung jawab.
Akan tetapi, mengingat realitas sosial masyarakat Indonesia, implementasi proses perencanaan dan perancangan masih memerlukan fungsi keperantaraan yang tidak sekadar memberi bantuan teknis, tetapi juga memberi dukungan dan bantuan moral kepada masyarakat serta melindungi hak dan kepentingan mereka. Jadi, fungsi keperantaraan ini diharapkan menjembatani berbagai kepentingan dari para pemangku dalam kegiatan pelestarian/pembangunan, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.
Seandainya pembentukan identitas nasional diyakini dapat diraih melalui pelestarian kekayaan warisan budaya, maka pembangunan lingkungan binaan seharusnya berangkat dari kenyataan yang ada. Proses pemahaman warisan budaya dan apresiasi makna sejarah didalamnya memerlukan waktu, karena keduanya juga bagian dari proses berbudaya suatu komunitas. Pada akhirnya, konservasi memang merupakan kinerja budaya!
Read More in: Konservasi dan Realitas Sosial Kota Indonesia
Dr Ing Widjaja Martokusumo, staf pengajar Bidang Keahlian Perancangan Kota, Jurusan Teknik Arsitektur ITB.