Pengenaan Sanksi Pidana Bagi Pelanggar Tata Ruang


Salah satu hal terpenting yang dimiliki oleh Undang-undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007 dan tidak ditemukan dalam UUPR sebelumnya adalah pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang. Sanksi akan diberikan kepada pengguna ruang yang melanggar peruntukan tata ruang. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Penataan Ruang Nasional Iman Soedradjat dalam acara Dialog Tata Ruang Bersama Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum di Radio Trijaya FM, Rabu (24/06).

Iman menambahkan, terkait operasionalisasi sanksi di daerah, saat ini masih belum efektif diberlakukan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengguna ruang yang melanggar Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku di wilayah tersebut. Oleh karena itu, dengan pemuatan pasal-pasal tentang sanksi dan denda tersebut, kini baik pejabat maupun anggota masyarakat yang melanggar amanat tata ruang harus bersiap-siap berhadapan dengan hukum, imbuhnya.


Pemberian sanksi bagi pelanggar tata ruang dapat diberikan melalui tiga tingkatan. Yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang, pidana 8 tahun dan denda 1,5 Milyar bagi pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan pelanggaran yang menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 Milyar. "Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam UU Penataan Ruang, khususnya Pasal 69," ujar Iman.

Kepala Dinas Tata Ruang Kabupaten Tangerang Didin Syamsudin mengungkapkan bahwa pemberian sanksi terhadap pelanggar tata ruang, seperti yang tertuang dalam UUPR belum diaplikasikan di Kabupaten Tangerang. Hal ini dikarenakan, saat ini Kabupaten Tangerang sedang mempersiapkan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disesuaikan dengan UU No. 26 Tahun 2007 dan Perda Tata Ruang yang ada saat ini masih mengacu pada UUPR yang lama ( UU No. 24 Tahun 1992). "Ditargetkan tahun 2010 Perda RTRW tersebut telah selesai dan kemudian dilakukan sosialisasi kepada masyarakat luas, sebelum sanksi-sanksi pelanggaran terhadap Perda diberlakukan," jelas Didin.

Didin juga mengungkapkan, tata ruang di Kabupaten Tangerang umumnya sudah sesuai dengan peruntukan, namun mayoritas belum disertai dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Secara implementatif, siapapun masyarakat yang hendak melakukan pemanfaatan ruang atau mendirikan bangunan di atas sebuah lahan harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah. Kondisi yang berkembang saat ini tidak sedikit IMB yang sesungguhnya "cacat" karena berisikan izin pendirian untuk satu atau lebih bangunan dengan peruntukan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

"Perlu segera dilakukan pengembalian fungsi sesuai peruntukan ruang karena tidak ada istilah "pemutihan" dalam rencana tata ruang," tegas Iman.

Seiring upaya untuk menciptakan ruang yang nyaman dan menumbuhkan awareness dari masyarakat terhadap aturan-aturan yang terdapat UUPR, maka diharapkan penyelenggaraan penataan ruang harus sesuai dengan aturan teknis yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak yang besar dari pelanggaran penataan ruang, seperti halnya kasus Situ Gintung, tambah Iman.

Oleh karena itu penegakan hukum bagi pelanggaran peruntukan ruang yang bisa mengakibatkan bencana bagi daerah sekitarnya harus terus dilakukan. "Sehingga adanya kesan publik dimana peraturan hanya sebatas kebijakan yang dalam aplikasinya sering tidak sesuai, dapat diminimalisir," tandas Iman.

Sumber: penataanruang.net