We reject the view that the planners 
plan for use, not people. We argue that people — through social issues, 
social processes, and social organization — are fundamental to all 
planning activities. Therefore, all planners must more effectively 
integrate the social dimensions of planning into practice 
Heidi Hoernig, Danielle Leahy, Zhi Xi (Cecilia) Zhuang, Robert Earley, Lynn Randall, and Graham Whitelaw (2005) 
Pendahuluan
Plan
 for People merupakan suatu slogan yang seharusnya mendorong para 
perencana untuk bekerja lebih terfokus kepada masyarakat. Rencana Tata 
Ruang yang disusun oleh perencana adalah media perantara untuk mencapai 
kesejahteraan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, para perencana harus
 lebih banyak bekerja sama dengan masyarakat (plan by people) dan turut 
serta mendorong kegiatan perencanaan tata ruang agar menjadi proses yang
 partisipatif. Keterlibatan masyarakat menjadi komponen penting dalam 
perencanaan. Begitu juga halnya dalam pembangunan karena anggota 
masyarakat memiliki perspektif yang berbeda-beda, baik dalam haknya 
sebagai orang memiliki pengetahuan maupun sebagai aktor strategis dalam 
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi rencana tersebut (Chambers 1997; 
Arnstein, 1969) 
Keberhasilan
 penataan ruang akan ditentukan oleh seberapa besar masyarakat dapat 
terlibat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
 pemanfaatan ruang yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sebagai tahapan 
pertama dari penataan ruang, maka perencanaan memegang peran strategis 
dan vital untuk dapat menentukan keberhasilan pemanfaatan dan 
pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan yang partisipatif memberikan
 peluang yang lebih besar untuk terciptanya pemanfaatan ruang yang 
terpadu dan sinergis, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif 
dan efisien. Tulisan ini baru mencoba menguraikan proses partisipatif 
dalam tahapan perencanaan tata ruang saja, beserta apa peran dan 
kontribusi yang dapat dilakukan oleh para perencana. Perencanaan Partisipatif
Dalam
 beberapa referensi tentang perencanaan partisipatif, terdapat beberapa 
kesamaan tahapan dalam proses perencanaan. Secara umum, setidaknya ada 4
 (empat) tahapan yang harus diperhatikan oleh para perencana, yaitu: 
1. Tahapan Pengkondisian (prepatory action)
Tahap
 awal ini sangat penting untuk menjamin keberhasilan proses 
partisipatif. Situasi dan kondisi wilayah atau kota yang akan 
direncanakan harus dapat mencerminkan terciptanya suasana yang 
menceritakan tentang agenda-agenda kegiatan perencanaan tata ruang di 
kota/wilayah mereka, seperti misalnya pembicaraan di warung kopi, 
pangkalan ojek, tempat gaul anak muda, dan seterusnya. 
Contoh masa pengkondisian yang 
ideal adalah seperti pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), dimana
 hampir semua pojok kota dihiasi oleh berbagai promosi para kandidat. 
Substansi yang paling penting pada masa ini adalah bahwa urgensi proses 
perencanaan sangat penting untuk menentukan masa depan kota/wilayah 
mereka pada 20 tahun mendatang. 
Oleh karena itu, perencana harus 
dapat berperan aktif menciptakan kondisi tersebut, terutama dalam 
berinteraksi dengan tokoh masyarakat, media massa, tokoh agama, dan 
lain-lain. Perencana harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa proses 
penataan ruang tersebut penting untuk perikehidupan kota/wilayah 
tersebut. 
2. Tahapan Pembentukan Forum Stakeholder (key stakeholder group)
Tahap pembentukan forum penataan 
ruang ini sangat penting untuk dapat menjamin suksesnya pelaksanaan 
proses perencanaannya nanti. Menurut Friedmann (2001), setidaknya ada 3 
(tiga) aktor yang terlibat, yaitu: 
a)    Politisi dan Pemerintah (politicians and bureaucrats) yang mewakili lembaga pemerintahan pada setiap level wilayah, 
b)    Dunia Usaha (corporate capital) baik yang bersifat trans-nasional maupun domestik, dan 
c)    organisasi kemasyarakatan (civil society), seperti misalnya keluarga, organisasi keagamaan, klub hobi, NGO, dan lain-lain. 
Substansi yang paling penting 
dalam tahapan ini adalah pemilihan perwakilan dari ketiga aktor tersebut
 (representative system). Secara umum, kriteria yang harus dipenuhi oleh
 wakil-wakil dari ketiga aktor tersebut, antara lain adalah harus mampu 
menyampaikan aspirasi kelompoknya (people voice), memiliki pengaruh di 
dalam kelompoknya (influenced people), dan memiliki kepentigan dalam 
pembangunan kota/wilayah di sana (interested people) 
Oleh karena itu, peran perencana 
di sini sangat vital dalam menyeleksi partisipan yang memenuhi kriteria 
tersebut diatas, selain mendesain tata laksana dan sistem kerja forum 
penataan ruang tersebut. Perencana juga harus mampu menguraikan tugas 
dan fungsi dari masing-masing perwakilan stakeholder tersebut. 
3. Tahapan Pemilihan Media Partisipasi (participatory tools)
Menurut
 Amerasinghe, Farrell, Jin, Shin, and Stelljes (2008), setidaknya ada 7 
(tujuh) jenis instrumen partisipasi, yaitu pengumuman terbuka (notice 
and comment), dengar-pendapat publik (public hearing), diskusi kelompok 
terfokus (focus group discussion), workshop partisipatif (Participatory 
Workshops), konsultasi penasehat (Citizen Advisory Committees), 
perundingan juri (Citizen Juries), dan pemilihan langsung (Referenda). 
Pemilihan instrumen didasarkan pada kriteria-kriteria, seperti 
karakteristik dan pengetahuan masyarakat, waktu yang tersedia, serta 
kemampuan dan kapasitas pemerintah dan perencana. 
Oleh karena itu, perencana 
mempunyai peran untuk dapat menilai instrumen mana yang paling tepat 
untuk digunakan dalam proses perencanaan tersebut. Tidak menutup 
kemungkinan untuk dapat digunakan lebih dari satu instrumen dalam satu 
proses perencanaan. 
Kemampuan perencana untuk 
memodifikasi instrumen tersebut agar lebih sesuai dengan kultur budaya 
kota/wilayah tersebut juga sangat diperlukan agar menghasilkan produk 
yang partisipatif. 
4. Tahapan Pembentukan Forum Pakar (Expert’s Choice)
Tahapan
 ini diperlukan apabila dalam media partisipasi yang dilaksanakan tidak 
menghasilkan kesepakatan dalam waktu yang direncanakan. Untuk dapat 
memberikan pilihan-pilihan yang lebih bervariatif, obyektif, dan tepat 
sasaran, maka dibutuhkan pendapat pakar yang memiki kompetensi dan 
kapasitas dalam permasalahan atau kebijakan yang akan dipilih. Jadi, 
Forum pakar ini dibentuk untuk menghasilkan lebih banyak pilihan dan 
lebih informatif (well-informed choice) kepada para partisipan 
(stakeholder) dalam proses pengambilan keputusan nantinya. 
Oleh karena itu, peran perencana 
adalah harus mampu memfasilitasi terciptanya variasi pilihan yang lebih 
informatif untuk mencegah kebuntuan dalam proses pengambilan keputusan 
rencana tata ruang (Siregar, 2009). Perencana juga harus mampu berperan 
sebagai koordinator yang akomodatif (inclusive) terhadap pendapat maupun
 pandangan dari berbagai disiplin kepakaran yang terlibat dalam proses 
tersebut
Penutup
Dalam 
melaksanakan proses perencanaan tata ruang partisipatif, perencana harus
 mampu mengawinkan kemampuan analitis dan sintesis secara berimbang agar
 dapat menjadi seorang fasilitator perencanaan tata ruang yang tepat. 
Perencana harus bisa menyadari posisinya dalam proses pembangunan, 
khususnya dalam pengambilankeputusan kebijakan publik. Perannya sebagai 
pihak yang netral dalam proses tersebut harus terus dijaga dan 
ditingkatkan kemampuan teknisnya dalam memberikan alternatif-alternatif 
solusi yang lebih informatif mengenai rencana tata ruang yang disusun 
tersebut. 
Perencana memang tidak dapat 
dilepaskan dari hal-hal yang berkaitan dengan masa depan dan 
ke-utopis-an. Dalam praktek perencanaan yang partisipatif, seringkali 
ditemui kendala bagi masyarakat untuk memahami gambaran masa depan yang 
ditawarkan oleh para perencana tersebut, dan begitu juga sebaliknya, 
tidak semua perencana mampu menyerap dan memahami keinginan masa depan 
dari para stakeholder bagi kota/wilayahnya. Padahal pengetahuan tersebut
 sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan suatu konsesus terhadap 
gambaran kota/wilayah yang mereka cita-citakan. 
Untuk menghasilkan konsesus 
tersebut, maka proses perencanaannya tentunya tidak akan berjalan dalam 
satu kali iterasi. Frekuensi dan intensitas dari forum yang diadakan 
akan terus bergulir sepanjang belum terjadinya kesepakatan terhadap 
substansi dari perencanaan tata ruang tersebut. Para perencana harus 
mampu memetakan(setting), mengarahkan (steering), dan mendorong 
(accelerating) proses perencanaan yang terjadi menjadi lebih efektif, 
efisien, dan tepat sasaran. Oleh karena itu, kepemilikan mental yang 
kuat dan kesabaran yang tinggi juga mutlak diperlukan oleh para 
perencana untuk dapat mewujudkan rencana tata ruang yang partisipatif 
tersebut.
Sumber:
Hendricus Andy Simarmata, Buletin Tata Ruang, Juli-Agustus 2009 (Edisi: Pengembangan Ekonomi Perdesaan) 
 


