Keberadaan ruang terbuka hijau
(RTH) di setiap kota memiliki tiga fungsi penting yaitu ekologis,
sosial-ekonomi dan evakuasi. Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen
dari luas kota tersebut. Arsitek Landsekap/ Majelis Ikatan Arsitektur
Landsekap Indonesia (IALI) Ning Purnomohadi dalam program Selamat Pagi
Nusantara di TVRI, Rabu (2/7) mengatakan, RTH perkotaan adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman dan vegetasi.
Fungsi ekologis RTH yaitu dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Fungsi lainnya yaitu sosial-ekonomi untuk memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan sebagai tetenger (landmark) kota.
“Sementara evakuasi berfungsi antara lain untuk tempat pengungsian saat terjadi bencana alam,” terang Ning Purnomohadi. Dengan keberadaan RTH yang ideal, maka tingkat kesehatan warga kota yang bersangkutan juga menjadi baik. RTH dapat mengurangi kadar polutan seperti timah hitam dan timbal yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
“Saat ini, banyak anak di perkotaan yang menderita autis yang disebabkan antara lain karena tingginya kadar polutan di daerah perkotaan,” jelas Ning Purnomohadi.
“Sifat polutan berbahaya tersebut melayang-layang diudara dengan ketinggian kurang dari satu meter dari tanah, maka tidak aneh jika banyak berdampak terhadap kesehatan anak-anak,” imbuhnya.
Ning Purnomohadi menuturkan, ketentuan luasan 30 persen RTH di setiap perkotaan merupakan hasil kesepakatan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesberg, Afrika Selatan 10 tahun.
Namun tampaknya bagi kota-kota di Indonesia, hal ini akan sulit terrealisir akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti pembangunan bangunan gedung, pengembangan dan penambahan jalur jalan yang terus meningkat serta peningkatan jumlah penduduk.
Keberadaan RTH seringkali masih dikalahkan oleh berbagai kepentingan lain yang lebih “menguntungkan” dan cenderung berorientasi pada pembangunan fisik untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya, kebutuhan ruang (khususnya RTH) untuk berlangsungnya fungsi ekologis kurang terakomodasi, dan berdampak pada permasalahan manajemen pengelolaan RTH.
“Apalagi untuk kota seperti Jakarta, dimana tanah permeternya harganya sudah berjuta-juta, sehingga orang lebih memilih untuk dibangun daripada untuk ruang terbuka hijau,” ucap Ning Purnomohadi.
Untuk merealisasikan keberadaan RTH yang mumpuni di perkotaan Indonesia diperlukan komitmen kuat dari semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Upaya tersebut antara lain mendorong permukiman melalui bangunan vertikal. “Dengan tinggal di permukiman yang vertikal, maka akan menggunakan lahan yang lebih sedikit, sehingga lahan lainnya dapat dimanfaatkan untuk RTH,” kata Ning Purnomohadi. (rnd)
Sumber: http://ciptakarya.pu.go.id
Fungsi ekologis RTH yaitu dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Fungsi lainnya yaitu sosial-ekonomi untuk memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan sebagai tetenger (landmark) kota.
“Sementara evakuasi berfungsi antara lain untuk tempat pengungsian saat terjadi bencana alam,” terang Ning Purnomohadi. Dengan keberadaan RTH yang ideal, maka tingkat kesehatan warga kota yang bersangkutan juga menjadi baik. RTH dapat mengurangi kadar polutan seperti timah hitam dan timbal yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
“Saat ini, banyak anak di perkotaan yang menderita autis yang disebabkan antara lain karena tingginya kadar polutan di daerah perkotaan,” jelas Ning Purnomohadi.
“Sifat polutan berbahaya tersebut melayang-layang diudara dengan ketinggian kurang dari satu meter dari tanah, maka tidak aneh jika banyak berdampak terhadap kesehatan anak-anak,” imbuhnya.
Ning Purnomohadi menuturkan, ketentuan luasan 30 persen RTH di setiap perkotaan merupakan hasil kesepakatan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesberg, Afrika Selatan 10 tahun.
Namun tampaknya bagi kota-kota di Indonesia, hal ini akan sulit terrealisir akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti pembangunan bangunan gedung, pengembangan dan penambahan jalur jalan yang terus meningkat serta peningkatan jumlah penduduk.
Keberadaan RTH seringkali masih dikalahkan oleh berbagai kepentingan lain yang lebih “menguntungkan” dan cenderung berorientasi pada pembangunan fisik untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya, kebutuhan ruang (khususnya RTH) untuk berlangsungnya fungsi ekologis kurang terakomodasi, dan berdampak pada permasalahan manajemen pengelolaan RTH.
“Apalagi untuk kota seperti Jakarta, dimana tanah permeternya harganya sudah berjuta-juta, sehingga orang lebih memilih untuk dibangun daripada untuk ruang terbuka hijau,” ucap Ning Purnomohadi.
Untuk merealisasikan keberadaan RTH yang mumpuni di perkotaan Indonesia diperlukan komitmen kuat dari semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Upaya tersebut antara lain mendorong permukiman melalui bangunan vertikal. “Dengan tinggal di permukiman yang vertikal, maka akan menggunakan lahan yang lebih sedikit, sehingga lahan lainnya dapat dimanfaatkan untuk RTH,” kata Ning Purnomohadi. (rnd)
Sumber: http://ciptakarya.pu.go.id