Rumah Susun


A. RUMAH SUSUN DI INDONESIA

Sebenarnya telah lama pemerintah Indonesia memberikan perhatian pada usaha pengentasan permukiman kumuh. Upaya itu tampak menonjol dengan diresmikannya pembangunan rumah susun Cengkareng Bumi Indah oleh Presiden Soeharto 30 November 1995 serta kebijakan pemerintah untuk meberikan subsidi pembangunan rumah susun di DKI Jakarta yang mencapai 60% dari harga jualnya. Selain itu, pemerintah pun telah lama memberikan subsidi untuk pembangunan rumah sederhana tupe 18 dan 21, dan mulai tahun 1996 berlaku pula subsidi untuk tipe 36.
Sekalipun bantuan telah cukup diberikan, tetapi apabila tidak memperhatikan pokok-pokok permasalahan nyata dalam proses huni rumah susun, bantuan itu akan sia-sia belaka atau paling tidak akan menimbulkan masalah kembali, seperti permainan kepemilikan rumah susun (jentrifikasi), rasa kepemilikan yang kurang sehingga dapat berakibat tidak terawatnya bangunan rumah susun.
Menteri Akbar Tanjung ketika menjabat sebagai Menteri Perumahan Rakyat dalam sambutan syukuran film Satu Atap Seribu Wajah mengatakan bahwa pada mulanya calon penghuni biasanya tidak mau diajak untuk tinggal di rumah susun. Menghuni rumah susun pada awalnya menimbulkan permasalahan tersendiri. Pembuatan film tersebut diharapkan menggugah masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh untuk bersedia pindah ke rumah susun. Namun, pada saat sekarang kesadaran masyarakat marjinal untuk menempati rumah susun relatif lebih tinggi daripada sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pengalaman penghuni sebelumnya bahwa kondisi rumah susun pasca huni dianggap lebih baik daripada ketika masih tinggal di tempat kumuh.

Urbanisasi dan Marjinalisasi

Isu pembangunan rumah susun berpangkal dari derasnya kaum urbanis untuk mencari kesempatan kerja di kota-kota besar. Padahal tidak setiap kota besar siap menerima arus deras itu. Labih-lebih apabila kaum urbanis ini tidak memiliki akses yang mampu memenuhi standar kebutuhan tenaga kerja yang layak di kota, maka lahirlah kaum marjinal baru yang mengisi kantong-kantong kota.
Kaum urbanis baru ini terpaksa harus ”puas” dengan tingkat kehidupan tertentu bersama kaum marjinal lama di kota karena umumnya mereka berpendidikan rendah, memiliki skill yang terbatas, cenderung berpikiran fatalistik yang (dapat) disebabkan oleh kondisi struktural masyarakatnya. Mereka hanya cukup bertahan sebagai buruh harian, buruh gendong, penambal ban, pemulung, penarik becak musiman, pedagang eceran dalam gerobak dorong atau petak dari kayu papan yang biasanya menyediakan barang-barang untuk kebutuhan kelompoknya di bantaran sungai,(sekaligus adakalanya menyediakan) bahkan didapati prostitusi ilegal di tempat itu juga. Kondisinya yang bersifat marjinal menyebabkan mereka hanya mampu menempati papan yang mendapatkan predikat kumuh.
Mereka tinggal di suatu kawasan tertentu, seperti sepanjang bantaran sungai atau rel kereta api, di daerah hunian kota yang sudah lama kosong di tengah kota atau bahkan di balik perumahan elite di tengah kota maupun di tepian kota. Mereka memilih lokasi tersebut yang (terbilang) di pusat kota karena 1) transportasi ke tempat kerja ke pusat kota menjadi murah, 2) apabila sedang tidak ada lowongan kerja atau tidak sedang bekerja memungkinkan mereka untuk melakukan konsumsi kolektif barang-barang subsisten serta mereproduksinya untuk dikonsumsi sendiri. Kehadiran mereka seolah-olah menyerupai kantong-kantong kota yang tersembunyi di balik permukiman kelas menengah ke atas. ”Kepuasan” mereka menghasilkan permukiman kumuh yang menjadi ganjalan keberhasilan pembangunan kota.
Kawasan yang ditempati kaum marjinal dapat dikategorikan menjadi dua jenis, pertama, di daerah yang disebut slum, yaitu kawasan permukiman kumuh di atas lahan yang statusnya legal sebagai kawasan untuk bermukim. Mereka membangun tempat tinggal dengan tembok bata yang sederhana, tetapi kebanyakan mereka membangun rumah dari papan, dan sebagian lagi menambal bangunannya dengan potongan kardus yang menempel di suatu tempat. Sedangkan jenis yang kedua disebut squatter, yaitu kawasan permukiman yang terletak di atas lahan yang statusnya ilegal sebagai kawasan untuk bermukim seperti du bantaran sungai
atau dekat rel kereta api. Mereka menempati dan membangun rumah dari potongan papan, potongan kardus, dan sebagian kecil membangun tempat tinggalnya dengan batu bata secara sederhana.       

B. ASPEK KULTURAL

Untuk tetap menghargai mereka sebagai bagia dari pelaku (agent) pembangunan dan untuk memanusiawikan wajah kota, pemerintah daerah beserta para pakarnya merancang model pembangunan rumah susun sebagai alternatif dalam mengentaskan kawasan kumuh.
Masalah awal pada upaya pengentasan permukiman kumuh melalui pembangunan rumah susun adalah masalah sosio-kultural, yaitu sulitnya penduduk di kawasan kumuh bersedia dengan senang hati menempati rumah susun. Mereka lebih suka tinggal di tempat yang langsung berpijak di atas tanah. Masalah ini masih muncul sampai sekarang, khususnya di Jawa Tengah, namun sudah mulai berkurang. Sementara masyarakat di Jawa Barat dan DKI Jakarta adakalanya sengaja mempermainkan kepemilikan rumah susun sebagai ajang bisnis.
Di negeri Barat kehadiran rumah susun sudah merupakan hal yang biasa bagi penduduknya. Hal ini disebabkan karena alam pemikiran fungsionalisme yang telah lama ada yang dimiliki oleh orang Barat sangat mendukung corak rumah tinggal dalam bentuk rumah susun. Pemanfaatan secara optimal dan efisien antara unsur yang satu dengan unsur yang lain tampak pada gejala tempat tinggal rumah susun. Alam berpikir fungsionalisme pada penghuninya yang diikuti ciri pengembangan unsur etika, sikap individualistis/mandiri, dan pengungkapan-pengungkapan secara terbuka ikut mendukung kultur hunian rumah susun.
Sikap terbuka dan etis pada hunian rumah susun sangat diperlukan. Apabila terjadi permasalahan pada hunian rumah susun permasalahan bisa diangkat dan dibicarakan bersama. Sikap tertutup pada warganya tentu akan menyulitkan pengungkapan dan pemecahan masalah akibatnya, masalah pemeliharaan dan hubungan sosial dalam rumah susun akan terjadi dan tidak terungkap sulit untuk dipecahkan bersama.
Sistem ekonomi urban pada masyarakat Barat yang memiliki sifat diversifikasi antara fungsi produksi, konsumsi dan jasa semakin memungkinkan mereka untuk menempati rumah susun tanpa banyak masalah. Mereka lebih suka hidup dengan pola pergaulan dan permainan di dalam rumah (indoor living). Mereka kurang begitu membutuhkan pergaulan sebagai suatu hiburan. Begitu pula dari segi klimatologi, udara yang dingan dan angin yang kencang di Barat mengharuskan mereka tinggal di bangunan yang bersifat tertutup.
Sebaliknya di negeri Timur, khususnya di Asia Tenggara, teristimewa di Indonesi (Jawa) akan mengalami masalah kultural. Masyarakat Jawa umumnya memiliki alam pemikiran mitis yang berorientas pada alam atau natural. Dalam alam pemikiran mitis, tanah memiliki kekuatan tertentu yang berkaitan dengan kekuatan jiwa dan fisik seseorang. Tinggal di sebuah rumah susun berarti memutuskan keterkaitan antara alam dengan dirinya. Dalam budaya Jawa ada pepatah yang mengatakan, ”sak dhumuk bathuk sak nyari bumi” yang artinya ”walau sedikit, sejengkal tanah akan dipertahankan”.
Dalam alam pemikiran mitis, keterkaitan dalam suatu kelompok (komunitas) sangat kuat. Mereka cenderung hidup secara out-door  living. Aktivitas sehari-hari lebih banyak dilakukan di luar rumah. Pergaulan dengan sesamanya yang dilakukan di luar rumah sekadar berkumpul bersama menjadi suatu kebutuhannya. Tinggal di rumah susun akan dirasa mengurangi jumlah anggota komunitas dan sifat komunitasnya. Komuintas antara lantai yang satu dengan lantai yang lain dirasa terpisah.
Dalam hidup sehari-hari, sebagian masyarakanya, khususnya masyarakat menengah ke bawah masih memiliki kebiasaan memelihara tanaman dan binatang peliharaan, seperti ayam dan burung yang menganggu lingkungan apabila dipelihara di sebuah unit rumah susun. Memelihara ayam bagi mereka merupakan hiburan dan investasi untuk dapat diambil dagingnya apabila binatang itu telah besar. Pada saat tertentu mereka dapat menyabung ayam atau menyembelih ayam yang dipeliharanya sejak masih anak ayam (kuthuk, bahasa Jawa). Budaya memelihara binatang sejak masih kecil ini merupakan kebiasaan pada masyarakat Jawa. Oleh karena itu, dalam budaya Jawa terdapat istilah-istilah khusus yang populer untuk menyebut anak binatang tertentu, seperti piyek (anak burung), pedhet (anak sapi), cempe (anak kambing), dan lain-lain. Dalam bahasa Jawa terdapat 94 istilah untuk sebutan anak binatang.
Secara lahiriah kebiasaan dekat dengan alam sering terungkap melalui kebiasaan memelihara tanaman dan binatang peliharaan yang biasa dilakukan di tempat tinggal yang bersifat horizontal. Dengan tinggal di bangunan yang bersifat vertikal seperti rumah susun kebiasaan tersebut akan sulit dilakukan yang menyebabkan mereka merasa jauh dari alam.
 Pada masyarakat Jawa sering terjadi pencampuran antara fungsi pemukiman dan ekonomi (produksi, konsumsi, dan jasa) pada sebuah rumah. Suatu rumah tangga dapat dibuka sebuah warung makan, warung sayur, dan warung kelontong dengan anggapan bahwa barang yang dijajakan selain untuk dijual dapat juga untuk dikonsumsi sendiri. Sedangkan di Barat fungsi pemukiman, produksi, konsumsi dan jasa dilokalisasikan secara terpisah.
Secara psikologis ada perbedaan cara penanaman pembelajaran pada anak untuk menyesuaikan diri terhadap rumah tinggal bersusun. Anak dari etnis Jawa cenderung dilindungi secara berlebihan untuk tidak diperbolehkan naik tangga karena dikhawatirkan kemungkinan terjatuh. Hal ini membuat orang tua enggan mempunyai rumah bersusun atau bertingkat. Ada juga rasa enggan untuk menaiki tangga. Alasan psikologis ini kiranya yang menghambat orang-orang di Jawa enggan menggunakan menempati rumah susun (dan jembatan penyeberang di jalan raya). Sebaliknya pada budaya Barat, seorang anak dibiasakan atau dianjurkan untuk naik-turun secara aman.
Alam pemikiran mitis, kebiasaan tinggal bersama komunitas, kebiasaan memelihara tanaman dan binatang, penyesuaian dengan penggunaan tangga menjadi penghalang awal ketika merekaharus tinggal di rumah susun.

Mitos tentang Alam pada Masyarakt Jawa

Alam pemikiran mitis masyarakat Jawa memiliki ciri khas tertentu. Budaya Jawa berakar pada budaya kerajaan Mataram Islam yang didirikan olrh Panembahan Senopati. Banyak mitos yang terjadi pada kerajaan ini. Sekalipun umumnya kerajaan-kerajaan memiliki mitosnya sendir-sendiri, tetapi kerajaan Mataram Islam memiliki mitos yang khas mampu bercokol kuat dalam kurun waktu yang relatif lama pada masyarakat Jawa.
Perjalanan kerajaan Mataram Islam yang terpecah menjadi kerajaan Yogyakarta dan Surakarta memiliki mitos yang dihubungkan dengan kerajaan-kerajaan roh halus, seperti kerajaan Laut Selatan yang dikuasai Kanjeng Ratu Kidul dan kerajaan Gunung Merapi yang menurut legenda dihuni oleh banyak tokoh roh halus. Kerajaan Laut Selatan dan Gunung Merapi dikatakan mampu memberikan perlindungan bagi kerajaan Mataram. Ketiga raja dari kerajaan tersebut khususnya oleh masyarakat Yogyakarta dipercaya saling melakukan kunjungan ataupun ”utusan”.
Hubungan antara keraton-keraton tersebut bersifat kekeluargaan melalui perkawinan antara wara keraton satu dengan warga keraton yang lainnya. Mereka saling tolong-menolong dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam bidang pertahanan, keraton Merapi dan Laut Selatan akan membantu keraton Yogyakarta jika terhadi serangan musuh terhadap Sultan Hamengkubuwono. Dalam bidang ekonomi, kedua keraton makhluk halus tersebut akan menjaga tanah pertanian dan tanaman milik seluruh rakyat Sultan Hamengkubuwono. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, kedua keraton makhluk halus tersebut akan mengirim utusannya untuk menghadiri pesta-pesta maupun kesenian yang diadakan keraton Yogyakarta.
Kepercayaan semacam itu telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa kuno terutama yang terletak di pedalaman dan bermatapencaharian pertanian. Gunung dipercaya sebagai tempat tinggal pada dewa. Kerajaan-kerajaan itu biasanyan mengambil lokasi di lembah-lembah atau di dataran tinggi yang subur, di antara kompleks gunung api, seperti kerajaan Mataram Hindu yang terletak di lembah gunung Merapi. Pada waktu itulah konsepsi-konsepsi India, gunung merupakan tempat tinggal dewa dan raja dianggap titisan dewa (Wales, 1951).
Bangunan-bangunan yang didirikan di kompleks gunung api dilambangkan sebagai kekuasaan dan sifat abadi para dewa sehingga diharapkan para dewa selalu ,elindungi raja, keluarga raja, pemerintahan, beserta rakyatnya. Bentuk rumah joglo pada tradisi rumah bangsawan Jawa dapat diperkirakan merupakan simbol gunung yang memberi kehidupan dan perlindungan pada manusia.
Demikian kiranya bentuk rumah limasan dan tajug.

Struktur gunung yang bersifat horizontal dan vertical (Frick, 1997)
Gambar 11.1 Struktur gunung yang bersifat horizontal dan vertical (Frick, 1997)
Gunung sebagai pusat inspirasi (Frick, 1997)
11.2. Gunung sebagai pusat inspirasi (Frick, 1997)

Para kawi pada zaman itu pula, selalu mempergunakan gunung api sebagai tempat pencaharian ilham, seperti yang dikemukakan oleh Empu Panuluh (Hartoko, 1984):
”Ke puncak gununga nun jauh di sana aku berkelana untuk melakukan ibadahku, rindu mencari hubungan dengan alam dewata. Batinku terpusat pada Bhatara Wisnu aagr beliau sudi turun dalam batinku sebagai bunga teratai. Kebaktianku kepada Wisnu lewat semadi ada satu tujuan, ialah agar aku dapat berhasil dalam membuat karya yang indah dan supaya beliau sudi membantu aku dengan kesaktian menciptakan sebuah syair ....”
Para kawi itu mempersonifikasikan gunung untuk menggambarkan karyanya dan merasakan bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya (Zoetnulder, 1983)
Apa yang dikemukakan Empu Panuluh dan kesimpulan dai Zoetmulder menunjukkan bahwa manusia Jawa memiliki keterikatan untuk menyatu dengan alam. Alam yang dimaksud adalah permukaan bumi dan isinya.
Bagi manusia Jawa pada zaman dahulu, masyarakat kebanyakan melihat posisinya berada di bawah, melekat di permukaan bumi. Posisi di atas adalah untuk para dewata, sedangkan posisi tengah ditempati oleh kaum bangsawan yang merupakan representasi para Dewa di dunia. Mitos yang terbawa ke alam bawah tidak sadar ini masih bercokol kuat pada masyarakat di Jawa (Tengah), khususnya Jawa Tengah bagian Selatan yang membuat mereka enggan tinggal pada hunian bertingkat.
Mitos kekuatan gunung api akan lebih mudah dihayati oleh kaum marjinal. Posisi kaum marjinal seringkali memiliki culture heritage yang kuat akan nilai-nilai mitis. Kondisinya sebagai kaum marjinal yang memiliki pendidikan dan akses rendah membuat mereka mudah ”lari” pada gejala-gejala mitis, sehingga mereka mampu menyimpan warisan-warisan budaya yang bersifat mitis secara khas dan turun-temurun. Gejala-gejala kemasyarakatan yang tidak memuaskan, misalnya, akan dinantikan kedatangan Ratu Adil. Gejala dan harapan itu melahirkan sikap solidaritas pertalian yang erat di antara mereka. Sikap solidaritas ini memberikan rasa tenteram dan kenyamanan jiwa. Pada perkembangannya sikap solidaritas ini dapat berlanjut dengan ikatan tali perkawinan dan kekeluargaan di antara anggotanya.
Dengan demikian, kaum marjinal yang memiliki jiwa untuk menyatu dengan alam akan merasa tercerabut akarnya apabila menempati rumah susun. ”Jiwa”-nya menjadi terancam, demikian pula pertalian persaudaraan menjadi renggang sehingga ungkapan mangan ora mangan waton kumpul terasa lebih menyejukkan daripada hunian yang dianggap orang lebih memberikan harapan. Oleh karena itu, minimal di dalam rumah susun dibutuhkan bentukan dan tempat-tempat khusus sebagai sarana untuk menciptakan tali persaudaraan di tiap-tiap lantai. Suatu permukiman yang memiliki beberapa ruang yang melahirkan suasana interaksi sosial yang erat dan memiliki bentuk horizontal dan natural akan membantu menjernihkan kenyamanan jiwa tersebut.


Rumah Susun Dupak, Surabaya tempat tinggal masyarakat kelas bawah dirancang secara komunal, dekat dengan alam (Silas, 1999)
Gambar 11.3 Rumah Susun Dupak, Surabaya tempat tinggal masyarakat kelas bawah dirancang secara komunal, dekat dengan alam (Silas, 1999)
Apartemen Taman Anggrek, Jakarta. Tempat tinggal masyarakat kelas atas dirancang secara individual dan artifisial (penulis, 2000)
Gambar 11.4 Apartemen Taman Anggrek, Jakarta.
Tempat tinggal masyarakat kelas atas dirancang secara individual dan artifisial (penulis, 2000)

Rumah susun di Singapura, memiliki karakter individual. (penulis, 2001)
Gambar 11.5 Rumah susun di Singapura,
memiliki karakter individual. (penulis, 2001)

C. ASPEK SOSIAL

Masyarakat lapisan bawah tidak mudah menempati rumah hunian bersusun. Masyarakat berpenghasilan rendah ini biasa hidup secara out-door living. Untuk mengisi waktu luang, biasanya mereka mencari hiburan yang tidak perlu membutuhkan biaya. Satu-satunya hiburan tanpa biaya adalah bergaul dengan tetangga dekat. Selain mendatangkan hiburan, berbincang-bincang dengan tetangga memperkuat persahabatan dan mempererat  tingkat kohesif masyarakatnya, sehingga hubungan kemasyarakatan itu dirasa mengayomi individu-individu di kala mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan. Pola hidup bermasyarakat ini disebut juga pola hidup komunal. Perasaan kohesif sosial pada pola hidup komunal mengisyaratkan kebutuhan mereka akan ruang horizontal daripada vertikal.
Sebaliknya, pola hidup individual banyak dialami oleh lapisan masyarakat menengah ke atas. Mereka biasa hidup secara in-door living. Hal ini terjadi, karena mereka umumnya tidak mempunyai waktu luang yang pasti dan cukup di rumah setelah seharian bekerja. Sisa waktu di rumah bahkan masih digunakan untuk memikirkan pekerjaan sehari-hari. Seandainya merekap punya waktu luang akan melakukan permainan dan hiburan yang bisa dilakukan secara individual, tanpa mengganggu orang lain yang biasanya dibantu dengan peralatan elektronik, seperti menonton video, memainkan video game, bermain komputer, menggunakan internet, komunikasi melalui pemancar, dan lain-lain. Melalui peralatan elektronik, mereka dapat juga memperluas pergaulan. Atau adakalanya mereka mencari tempat hiburan yang bersifat eksklusif, individual dan privat, misalnya di suatu club dengan berlangganan untuk kalangan atas yang menyediakan hiburan, barang-barang dan makanan yang dianggap memiliki cita rasa tinggi; pertemuan-pertemuan umum yang bersifat eksklusif di hotel berbintang atau rumah makan untuk merayakan suatu acara, atau untuk keperluan menjalin relasi bisnis.
Pola hidup individual ini lebih digerakkan oleh faktor rasional daripada emosional seperti yang terjadi pada masyarakat komunal. Mereka yang memiliki pola hidup individual lebih memiliki alternatif aktivitas yang bervariasi, termasuk alternatif untuk tinggal di rumah bersusun dengan tingkat privasi yang tinggi dan sarana/prasarana yang memadai. Sedangkan mereka yang hidup secara komunal cenderung kurang memiliki alternatif lain untuk tinggal di rumah bersusun dengan sarana/prasarana yang terbatas. Oleh karena itu, usaha membangun rumah susun bagi masyarakat yang bersifat komunal perlu persiapan mental secara khusus.
Dalam pelaksanaannya masyarakat lapisan bawah tidak begitu saja menerima tawaran peremajaan perumahan kumuh menjadi rumah susun. Padahal pola yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan pola rumah yang mereka huni, yaitu tetap berpola komunal, berlantai tiga dan skala blok rumah relatif kecil (hanya 25 unit per blok). Pada awal pertemuan, reaksi masyarakat langsung menolak. Baru setelah beberapa pertemuan berikutnya, tawaran peremajaan mulai diterima.
Rancangan rumah susun di Indonesia yang berorientasi pada masyarakat menengah ke bawah mengandung tiga prinsip dasar. Hal ini dilakukan berangkat dari keinginan untuk melayani masyarakat, tanpa memaksa harus mengubah pola perilaku mendasar calon penghuni. Tiga prinsip dasar tersebut adalah tatanan komunal, kegiatan dalam dan kegiatan luar, dan arsitektur tropis.

Tatanan komunal

Rumah susun dapat dirancang sebagai rumah tunggal bagi keluarga besar, seperti rumah adat Madura, Dayak, atau Aceh. Intinya adalah sebuah ruang besar di tengah. Di sekitar ruang itu ada dapur dan kamar mandi yang mengelompok.
Pada setiap lantai atas ada sebuah mushalla. Ruang komunal biasa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan di luar rumah (out-door living). Ruang komunal ini menjadi daya pengikat kehidupan bersama yang kuat dan sebagai penangkal minat masyarakat kelas menengah untuk mengambil alihnya.

Kegiatan dalam dan luar rumah

Pada rumah susun, pengertian ruang luar bersama tidak 100 persen terbuka. Pola ini ternyata efektif dan dapat diterima dengan baik. Tatanan communal space dengan privat space diberikan dengan tekanan yang jelas. Konsep in door berlaku pada tatanan ruang dalam kapling rumah dan konsep out door berlaku pada tatanan ruang umum. Hal yang menarik pada rumah susun Dupak dan Sombo di Surabaya adalah bahwa pada rumah susun ini orang bisa memilih di ruang tertentu setiap saat untuk melakukan suatu aktivitas.   

Arsitektur tropis

Aspek lain yan cukup menarik sebagai muatan rancangan rumah susun di Indonesia adalah penggunaan prinsip bangunan tropis yang diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Ada tiga unsur dasar arsitektur tropis, yaitu suasana teduh, banyak angin dan menyatu dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu, rumah susun perlu dilengkapi dengan tanaman. Pada lantai yang lebih tinggi, warga didorong menyediakan tanaman di balkon. Agar terasa teduh, tiap balkon diberi atap.
Rumah susun Dupak, Sombo, dan Pulo Gadung sengaja mencari solusi rancangan yang tidak fixed, namun open-ended dan dinamis. Perubahan tetap diperlukan dan berjalan terus.


Rumah Susun Sombo, Surabaya. Susunan ruang disusun menyerupai suatu perkampungan (Erik, 2004)
Gambar 11.6 Rumah Susun Sombo, Surabaya.
Susunan ruang disusun menyerupai suatu perkampungan (Erik, 2004)
Rumah Susun Dupak, Surabaya
Gambar 11.7 Rumah Susun Dupak, Surabaya.
Tampak unit rumah di lantai dua ke atas terdapat sudut sebagai balkon yang d
apat berfungsi sebagai ruang privasi (Erik, 2004)


Transformasi Masyarakat Penghuni

Menghuni rumah susun dapat melahirkan persepsi tertentu dibandingkan apabila tinggal di rumah kampung. Tinggal di rumah susun menimbulkan kenyamanan dan kemajuan. Nilai lebih yang bersifat positif ini dapat dikembangkan lebih lanjut. Ada lima aspek transformasi pada masyarakat untuk mempersiapkan perubahan pola hunian rumah kampung ke pola hunian rumah susun sebagai sesuatu yang dibangun secara positif, yaitu persoalan mengubah persepsi, gaya hidup, sumber daya manusia, keguyuban, dan urbanisasi.
a.    Persepsi
Persepsi warga terhadap pengertian rumah susun perlu dipersiapkan secara berlanjut dari pemahaman tinggal di rumah kampung yng tiap warga bisa berbuat seenaknya menajdi pemahaman yang menuntut perilaku yang etis dengan pola hidup di rumah susun yang lebih kompleks. Sikap penghuni rumah susun yang menuntut sikap kebersamaan yang tinggi perlu ditumbuhkan sejak dini. Keterikatan antara penghuni yangsatu dengan yang lainnya harus tampak dalam satu kesatuan sistem perumahan yang lebih besar.
Perubahan persepsi tidak hanya berlaku bagi warganya, tetapi juga pada masyarakat luar yang mempersepsikan kehadiran bentuk rumah bersusun ini secara benar. Apabila para pamong yang terkait dengan rumah susun tidak mengubah persepsi seperti pada penghuni, maka penghuni akan mengalami kesimpangsiuran sikap dan perilaku. Akibatnya, akan timbul masalah besar dalam pemanfaatan, perawatan, dan pengembangan hunian rumah susun secara lebih lanjut.
Persepsi masyarakat luas yangtidak berubah, seperti sering diutarakan media massa, sangat berpengaruh bagi perkembangan apresiasi yang baik dalam proses menghuni rumah susun bagi masyarakat golongan bawah. Persepsi yang salah juga sering dikemukakan oleh orang yang punya otoritas, tetapi sama sekali tidak mempunyai pemahaman dan pengalaman nyata. Kesalahpahaman ini menambah kesulitan dalam menilai pola rumah susun secara objektif. Apabila hal ini dibiarkan akan memberi kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam mengembangkan pla rumah susun untuk melayani masyarakt kecil.      
b.    Gaya Hidup
Sebelum rumah susun dirancang perlu dipelajari dahulu gaya hidup penghuni yang hendak dialihkan, terutama dilihat dari sudut tatanan ruang. Mempelajari gaya hidup ini perlu dilakukan, karena setiap kelompok punya pola dan gaya hidup khas, baik sisi positif maupun sisi negatif gaya hidupnya. Pola hidup yang dianut tentu bukanlah pola hidup yang dianut masyarakat golongan menengah , golongan atas, maupun pola hidup masyarakat Barat.
Pola hidup masyarakat lapisan bawah umumnya menganut pola hidup komunal yang hubungan di antara anggota masyarakatnya sangat erat. Dengan demikian, rumah susun harus dirancang secara komunal. Pembangunan rumah susun tanpa mengubah pola hidup komunal tidak berarti kondisi sosial ekonomi mereka mengalami stagnasi, melainkan perlu diberi pemahaman tentang tata hidup dan pergaulan yang lebih baik, seperti masalah kebersihan dan pemeliharaan lingkungan serta etika pergaulan untuk privat space dan public space. Penyesuaian sosial ekonomi, tata pergaulan dan pemeliharaan lingkungan ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya  manusia dan persepsi masyarakat pada proses huni yang berkelanjutan.
c.    Sumber Daya Manusia
Transformasi sumber daya manusia merupakan upaya paling penting dalam proses perubahan yang terjadi dari rumah kumuh menjadi rumah susun. Sebagai ilustrasi, perhatikan dua contoh berikut ini. Ketika masih berdiam di permukiman kumuh, penghuni perempuan yang punya keahlian memasak tradisional mendapat langganan terbatas. Akan tetapi, ketika pindah rumah susun, pelanggan bertambah, bahkan disuguhkan pula dalam pesta-pesta. Kepercayaan ini didapat karena tersedia tempat memasak yang higienis.
Kondisi fisik rumah susun juga meningkatkan status sosial penghuninya. Anak-anak yang berasal dari keluarga menengah tidak keberatan belajar bersama di rumah anak-anak penghuni rumah susun. Anak-anak penghuni rumah susun pergi ke sekolah dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Kesempatan meningkatkan status pekerjaan akan tampak. Seperti terjadi pada rumah susun Dupak dan Sombo di Surabaya, pekerjaan sebagai penjaga gudang lebihmudah diperoleh, karena mendapat kepercayaan lebih baik dari pemberi pekerjaan setelah pindah dari permukiman kumuh ke rumah susun. Pekerjaan subkontrak dari industri formal mulai terbuka, karena ada kepastian tempat tinggal pada perumahan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sebaliknya, jumlah warga yang mengandalkan pekerjaan sebagai pengemudi becak yang semula dominan (40%) terus berkurang. Sedangkan mereka yang bekerja dengan profesi tertentu, seperti sopir taksi, satpam, dan guru terus meningkat. Perubahan ini sejalan dengan upaya pemerintah daerah setempat untuk mentransformasikan profesi pengemudi becak ke profesi lain yang lebih layak.
d.    Hidup Guyub
Dalam teori ilmu sosial disebutkan bahwa kekuatan eksistensi penduduk lapisan bawah terletak pada tingkat kohesif masyarakatnya. Pola rancangan rumah susun umumnya meniru bentuk  dan pola yang dikembangkan di negara Barat untuk lapisan masyarakat menengah. Penekanan pola hidup individual sangat kuat. Akibatnya, tidak terpikirkan pola hidup yang mendorong masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi atau hidup secara guyub pada rumah susun di Indonesia yang diperuntukkan bagi masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu, perancangan ruang untuk menumbuhkan paguyuban sangat diperlukan agar tinggal di rumah susun menyenangkan dan saling meringankan. Orang tua yang ingin bepergian misalnya, bisa menitipkan ank-anak kepada tetangga. Kebersamaan menjadi tampak ketika seseorang warga mengalami suka dan duka. Ruang bersama sangat ideal dipakai sebagai tempat berkumpul untuk melakukan interaksi sosial, aktivitas-aktivitas tertentu atau untuk penyelenggaraan resepsi perkawinan.

Communal Space lantai 1 rumah susun Bandarharjo,  Semarang dapat digunakan untuk area rekreasi atau bermain
Gambar 11.8 Communal Space lantai 1 rumah susun Bandarharjo,
Semarang dapat digunakan untuk area rekreasi atau bermain (Erik, 2004)
Pertemuan di ruang communal lantai 1 rumah susun Bandarharjo, Semarang
Gambar 11.9 Pertemuan di ruang communal lantai 1 rumah susun Bandarharjo,
Semarang dapat digunakan sebagai ruang pertemuan (hajatan) (Erik, 2004)

Lantai 1 rumah susun Bandarharjo, Semarang dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi (usaha)
Gambar 11.10 Lantai 1 rumah susun Bandarharjo,
Semarang dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi (usaha) (Erik, 2004)

Pasar tradisional di lantai dasar rumah susun Pekunden, Semarang
Gambar 11.11 Pasar tradisional di lantai dasar rumah susun Pekunden, Semarang memenuhi kebutuhan sehari-hari penghuni rumah susun dan masyarakat di sekitarnya. Para pedagang ada yang berasal dari penghuni rumah susun maupun masyarakat luar.

a.    Urbanisasi
Pengertian urbanisasi selain merupakan peristiwa migrasi dapat juga diberi pengertian sebagai proses suatu masyarakat yang hidup dengan gaya perkotaan. Secara keseluruhan transformasi makro yang terjadi pada penduduk yang berdiam di rumah susun berupa proses urbanisasi yang berkelanjutan. Warga disiapkan dan dimatangkan agar mampu hidup sesuai dengan tata cara dan tuntutan sebuah kota yang terus maju.
Kehidupan di kota menuntut pelaksanaan hak dan kewajiban yang semakin ketat. Misalnya kewajiban mempunyai KTP, membayar iuran RT/RW, iuran kebersihan, iuran keamanan, dan lain-lain. Berbeda dengan ketika masih tinggal di permukiman kumuh, tinggal di rumah susun untuk pemakaian listrik dan air bersih misalnya, dituntut pembayaran yang teratur.

D. ASPEK PERANCANGAN

Upaya memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat lapisan bawah untuk memiliki rumah dengan harga terjangkau, pemerintah memberikan subsidi KPR (Kredit Perumahan Rakyat) rumah susun sederhana. Apabila upaya ini berhasil akan semakin banyak masyarakat pekerja yang hidup dengan pola tinggal secara vertikaldi kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Batam, dan lain-lain.
Pakar rumah susun, Prof. Ir. Johan Silas dalam suatu kesempatan mengatakan, selama ini pembangunan rumah susun sederhana belum menyelesaikan masalah pokok, tetapi yang terpenting adalah kesediaan dan kesiapan masyarakat berpenghasilan rendah untuk menghuni rumah berlantai banyak. Selain itu, ada enam masalah perancangan hunian rumah susun yang berkaitan dengan pengertian, sikap, metode dan pendekatan, rancangan, keputusan politik, serta keangkuhan satu pihak. 

Dalam Hal Pengertian

Ada dua hal yang keliru dalam merancang rumah susun. Pertama, makin tinggi rumah susun, makin hemat pemakaian lahan. Ukuran penghematan lahan sebenarnya tidak terlalu terkait dengan tinggi bangunan, tetapi berkaitan dengan jumlah orang yang bisa ditampung. Rumah susun di Sombo, Surabaya misalnya, bangunan ini mampu meningkatkan daya tampung lahan menjadi 2.000 orang perhektar, meskipun bangunannya hanya empat lantai. Kepadatan per hektar tersebut jauh lebih tinggi dibanding rumah susun Kemayoran atau rumah susun di negara maju manapun. Kedua, berkaitan dengan anggapan bahwa rumah kampung selalu lebih jelek daripada rumah susun. Anggapan ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena bentuk perumahan harus dinilai secara kontekstual. Banyak faktor yang menentukan tentang bentuk perumahan yang baik.

Anggapan yang Salah

Ada sikap umum yang tidak menguntungkan dalam upaya menghadirkan rumah susun, antara lain adanya anggapan bahwa rumah kampung sangat terbelakang, tidak sesuai dengan kemajuan pembangunan. Kemudian ada anggapan bahwa rakyat lapisan bawah tidak akan senang tinggal di rumah yang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Pembangunan rumah baru di perkotaan saat ini ikut memperkuat pandangan tersebut. Pola rumah seperti di Jawa ini kemudian menjadi idaman di luar Pulau Jawa. Sedangkan rumah adat di berbagai daerah seringkali dibangun jauh di atas tanah. Pola rumah di atas tanah dan jauh di atas tanah bersifat kontesktual.

Dalam Hal Metode  dan Pendekatan

Pengambil keputusan pembangunan rumah susun tidak mempertimbangkan kompleksitas yang dialami penghuni. Sikap ini menimbulkan dampak counter productive pada pihak yang terkait dalam proyek. Kesan latah muncul setelah melihat pembangunan rumah susun di luar negeri, seperti Singapura. Sebaliknya, kegagalan rumah susun di Amerika Serikat (Ronant Point), Belanda (Bijlmermeer), dan Prancis (Cite de Quatre Mille) tidak dijadikan pelajaran, yaitu ribuan unit rumah susun harus dibongkar.
Pola rancang rumah susun yang ditawarkan umumnya masih mengacu pada standar rancang rumah susun untuk golongan menengah ke atas. Dikarenakan dananya terbatas, maka realisasinya minim. Akibatnya, standar yang diterapkan sanagat minim tanpa mengubah pola. Rumah susun yang dibangun kemudian terkena hukum paradoks, ”yang mau tidak mampu, yang mampu tidak mau”. Untuk mengatasi masalah itu, maka pada awal pengenalan rumah susun, standar yang dipakai harus sedikit lebih baik dibandingkan dengan yang sudah diminimkan. Tujuannya antara lain agar terjadi pergeseran paradoks, ”yang mau menjadi mampu dan tidak perlu dijual kepada yang mampu”. Hal ini penting diperhatikan, karena perbaikan standar melibatkan subsidi yang cukup besar.

Aspek Perancangan

Seringkali rumah susun dirancang dengan bentuk rumah yang mengikuti pola rumah Barat dengan lebih menekankan home daripada omah-omah. Seperti dikatakan dalam penelitian Witold Rybcynski dalam bukunya berjudul Home (1986), dikatakan kenyamanan merupakan aspek penting dari rancangan sebuah rumah di Barat. Sedangkan aspek omah-omah menekankan pada aspek berkeluarga sehingga rumah tidak perlu diterapkan diferensiasi fungsi ruang secara ketat seperti home. Perbedaan ini seperti perbedaan antara spring bed dengan amben.

Belajar dari Pengalaman

Dalam membuat suatu keputusan politik pembangunan rumah susun selama ini tampak belum ada sikap wajar dalam menghadapi masalah yang harus diatasi. Pihak yang memikul tanggung jawab dalam pengadaan rumah susun tetap belum mau menunjukkan sikap kemauan belajar dari pengalaman terbaik.

Sikap Angkuh

Keangkuhan berbagai pihak sering terjadi. Akibatnya sindrom ”saya juga bisa” terjadi. Oleh karena itu, proses pengembangan rumah susun selalu dimulai dari nol. Selanjutnya, berbagai jebakan masalah akan dilalui kembali dengan hasil yang tidak memberi manfaat apa pun.

E. MODEL PENDAMPINGAN

Mempersiapkan hunian rumah susun tanpa memperhatikan faktor kultural akan berakibat muncul ungkapan-ungkapan hasil represi jiwa, berupa sikap-sikap yang tidak menguntungkan bagi pelestarian kenyamanan hunian, seperti preilaku jorok, ketidakpedulian pada pemeliharaan lingkungan, rasa kepemilikan yang  rendah, bahkan menjurus pada upaya-upaya pemanfaatan kepentingan-kepentingan pribadi yang biasanya bersifat ekonomis.
Tidak jarang letak rumah susun yang berada di daerah padat penduduk atau di pusat keramaian –sebagai bekas kawasan kumuh– cukup strategis sebagai kegiatan ekonomi, sehingga secara riil kaveling rumah susun memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kondisi ini mendorong penghuni rumah susun menjual tempat tinggalnya kepada orang lain (jentrifikasi), dan hasilnya dimanfaatkan untuk membeli sawah di desa atau barangkali kembali ke kawasan lama yang mendapat predikat kumuh. Kasus lain, dapat terjadi masyarakat kelas menengah mengincar letak yang strategis ini sebagai potensi kegiatan ekonomi, sehingga kepemilikan rumah susun dapat melenceng dari tujuan semula.
Masalah jentrifikasi ini tampaknya perlu diantisipasi dengan mendata secara lengkap calon penghuni rumah susun di suatu kota serta memperketak syarat kepemilikan, misalnya calon penghuni tidak boleh terdaftar dua kali atau lebih, prioritas adalah kepala keluarga atau yang telah berkeluarga, serta meningkatkan moralitas aparat untuk menghindari kepemilikan yang tidak sesuai dengan tujuan pembangunan rumah susun.
Munculnya aktivitas ganda dengan melakukan kegiatan usaha di dalam rumah tinggal secara mendadak pada masyarakat kaum marjinal dapat diatasi apabila sejak awal perencanaan pembangunan rumah susun dilibatkan calon penghuninya, sehingga dapat diantisipasi rencana yang tidak sesuai dengan tujuan calon penghuni menempati rumah susun.
Hunian yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi rumah tangga tentu direncanakan secara berbeda dengan hunian yang tidak melakukan kegiatan tersebut. Demikian pula perhatian dan pembinaan akan perlunya sikap hunian pada rumah susun perlu diberikan, seperti masalah kesehatan, kebersihan, lingkungan sosial, etika pergaulan, dan sebagainya.
Dalam masalah kesehatan misalnya, warga dari perkampungan kumuh seringkali kurang menyukai tempat yang terang dengan sirkulasi udara yang baik, karena mereka terbiasa hidup secara berhimpit-himpitan yang tempatnya gelap. Suasana yang gelap dirasakan ”sejuk”. Sirkulasi udara yang tidak lancar dan pengap dirasakan ”hangat”. Oleh karena itu, penyadaran untuk hidup secara sehat secara benar dengan suasana yang baru perlu diberikan kepada mereka.
Model pendampingan ada dua macam, yaitu pertama, pendampingan pra huni. Tahap ini disebut juga tahap perencanaan. Aspek perancangan menyesuaikan pola hidup masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kebiasaan dan ciri khas sendiri-sendiri  yang perlu dipelajari untuk diangkat dalam aspek perancangan. Titik berat tahap ini adalah untuk: 1) membuka akses masyarakat agar dapat memiliki unit rumah susun; 2) mengatasi masalah kesesuaian desain bangunan denan kebutuhan masyarakatnya; 3) kesadaran lingkungan hidup yang sehat dan manajemen ekonomi rumah tangga dapat dilakukan.
Jenis yang kedua adalah pendampingan pasca huni. Pada tahap ini titik beratnya adalah aspek manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik. Apabila aspek fisik dan aspek manusia saling menyesuaikan diri diharapkan adaptasi mudah dilakukan, sehingga pembangunan rumah susun dapat mewadahi masyarakat sedemikian rupa dan masyarakat pun betah tinggal di rumah susun. Titik berat tahap pasca huni meliputi: 1) pemeliharaan kesehatan dan lingkungan; 2) adaptasi sosial dan etika untuk menghuni rumah susun; 3) menampung kebutuhan dan permasalahan yang muncul setelah masyarakat menghuni.
Dengan model pendampingan akan terbentuk ikatan moral calon penghuni dengan tempat tinggalnya sehingga akan mengurangi masalah jentrifikasi. Selain itu akan dibantu juga mengenai tahap pradesain, masalah kepastian hukum atau kepemilikan, masalah sosio-kultural psikologis dengan titik berat pada proses penyadaran dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya, sehingga diharapkan masalah-masalah yang sempat muncul di sekitar yang menghuni rumah susun selama ini dapat dikurangi.
Model pendampingan serupa sebenarnya telah dilakukan uji coba oleh pemerintah sejak tahun anggaran 1991/1992 melalui program Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK) atau sering disebut juga dengan istilah Community Based Development (CBD).  Tampaknya pogram ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, melainkan perlu dibantu oleh pihak lain yang memiliki kompetensi tinggi, seperti konsultan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pengabdian Masyarakat dari Lembaga Pendidikan Tinggi. Aspek penyadaran masyarakatnya menunjukkan bahwa membangun rumah susun tidak sekedar menyediakan sarana secara fisik, melainkan membangun manusianya.      

F. RINGKASAN

Di Indonesia rumah susun memiliki dimensi yang kompleks untuk dibicarakan. Dari segi istilah rumah susun diperuntukkan sebagai rumah tinggal yang bercorak vertikal yang biasa dihuni oleh masyarakat kelas bawah. Sebaliknya, apabila bangunan yang bercorak vertikal itu diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas disebut dengan istilah lain.
Perancangan rumah susun bagi masyarakat kelas bawah yang sebelumnya tinggal di perkampungan atau tempat kumuh melahirkan permasalahan tersendiri ditinjau dari berbagai aspek, seperti aspek kultural, sosial, kesadaran kesehatan lingkungan dan aspek perancangan. Pertimbangan desain yang bercorak komunal dan natural menjadi solusinya. Sedangkan upaya untuk mewujudkan pembangunan rumah susun direkomendasikan dengan model pendampingan.  




Diketik dari Buku Sosiologi Kota Untuk Arsitek
Hariyono, P., Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Publisher Bumi Aksara, 2007, (ISBN 9795267493, 9789795267492); Bagian Keempat; Perumahan, Rumah Tinggal, Dan Budaya; Bab 11 RUMAH SUSUN