Permasalahan utama kepemilikan rumah layak huni adalah masalah kemiskinan. Kemampuan ekonomi yang terbatas berakibat terbatas pula dalam memiliki rumah layak huni. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah yang perlu dituntaskan.
A. PENGANTAR
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 telah menyebabkan
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah. Padahal
sebelum terjadi krisis, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus berkurang.
Masalah kemiskinan ini berpengaruh pada pemilikan rumah layak huni. Oleh karena
itu, mengentaskan mesalah kemiskinan untuk meningkatkan kepemilikan rumah layak
perlu dicari pemecahannya.
B. MENGENAL KEMISKINAN
Meningkatnya
kemiskinan dari tahun 1996 ke tahun 1999 yang diduga penyebabnya adalah krisis
ekonomi ternyata diikuti dengan variasi kualitas pemilikan rumah yang salah
satunya diindikasikan dengan luas lantai (m²). Penduduk yang memiliki rumah
dengan luas lantai 49 m² ke bawah mengalami penurunan persentase. Diduga mereka
tidak lagi memiliki rumah melainkan dengan mengontrak atau menyewa. Sedangkan
penduduk yang memiliki rumah dengan luas lantai 50-149 m² mengalami kenaikan.
Akan tetapi, penduduk yang memiliki luas lantai 150 m² ke atas mengalami
penurunan persentase (lihat tabel Persentase Perubahan Jumlah Rumah Tangga dan
Luas Lantai tahun 1996-1999). Diduga
penduduk yang semula memiliki luas 150 m² beralih ke pemilikan rumah yang lebih
kecil (50-149 m²).
Tabel 10.1 Persentase Perubahan Jumlah Rumah
Tangga dan Luas Lantai Tahun 1996-1999
(Sumber: Diolah dari Stastistik Indonesia 1996 dan 1999) |
Jika dugaan krisis ekonomi menjadi penyebabnya, dari data tersebut dapat
dikatakan bahwa penduduk golongan ekonomi bawah banyak terkena dampak krisis
ekonomi, sedangkan penduduk golongan ekonomi menengah tidak banyak terkena
dampak krisis ekonomi. Akan tetapi, penduduk golongan ekonomi atas banyak
terkena dampak krisis ekonomi.
Umumnya penduduk dengan rumah luas lantai kurang dari 49 m2 cukup rentan dalam upaya pemilikan rumah. Sebaliknya, golongan masyarakat elite biasanya lebih mudah untuk memiliki rumah dengan kuantitas, kualitas dan lokasi yang memiliki nilai lebih; bahkan di Jawa Barat sempat dijumpai makam eksklusif dengan menyediakan kapling kuburan berukuran 80-100 m2 dan ditemui pula kapling makam seluas 3.000 m2 (Budihardjo, 1997). Dengan kemampuan dan akses yang dipunyai, segala sesuatu dapat dimiliki oleh kaum elite, termasuk kuburan yang eksklusif.
Umumnya penduduk dengan rumah luas lantai kurang dari 49 m2 cukup rentan dalam upaya pemilikan rumah. Sebaliknya, golongan masyarakat elite biasanya lebih mudah untuk memiliki rumah dengan kuantitas, kualitas dan lokasi yang memiliki nilai lebih; bahkan di Jawa Barat sempat dijumpai makam eksklusif dengan menyediakan kapling kuburan berukuran 80-100 m2 dan ditemui pula kapling makam seluas 3.000 m2 (Budihardjo, 1997). Dengan kemampuan dan akses yang dipunyai, segala sesuatu dapat dimiliki oleh kaum elite, termasuk kuburan yang eksklusif.
Sebaliknya, penduduk miskin yang miskin akses memiliki kemampuan hidup yang
serba terbatas seperti pemilikan rumah yang terbatas, luas rumah yang terbatas,
kualitas lingkungan yang terbatas, jangkauan lokasi yang terbatas, pencapaian
sarana-prasarana kota/daerah, dan sandang serta pangan yang terbatas pula.
Masalah berikutnya adalah sulitnya didapat rumah yang sehat, dengan
lingkungan yang bersih dan nyaman, lokasi yang terjangkau, dan harganya pun
terjangkau, sekalipun luasnya terbatas. Pengembang (biasanya swasta) lebih suka
membangun perumahan bagi penduduk menengah ke atas. Beberapa keuntungannya,
yaitu 1) keuntungan materiil yang dapat diperoleh pengembang lebih banyak; 2)
kredibilitas penduduk menengah ke atas lebih bisa dipercaya untuk melakukan
angsuran secara teratur; 3) kemungkinan dibayar tunai oleh konsumennya sehigga
peraturan uang dapat cepat dilakukan. Pemasukan dana yang cepat ini bagi
pengembang dan bank perkreditan tentu akan menguntungkan.
Kekhawatiran bahwa pengembang lebih suka membangun perumahan bagi penduduk
menengah ke atas dirasakan oleh pemerintah sehingga lahir anjuran atau
peraturan yang mewajibkan pengembang membangun rumah dengan tipe kecil bagi
penduduk golongan menengah ke bawah. Namun demikian, harga rumah dengan tipe
kecil yang dibangun oleh pengembang seringkali tetap tak terjangkau oleh
penduduk kalangan bawah, lebih-lebih oleh penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan (untuk Agustus tahun 1999 batas garis kemiskinan di perkotaan
ditetapkan Rp 89.845,00 dan di pedesaan Rp 69.420,00 perkapita per bulan).
Sehingga mereka yang tidak dapat menjangkau perumahan dengan tipe skala kecil
terpaksa tinggal di permukiman kumuh di perkotaan.
C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN PERUMAHAN
Perumahan
menyangkut secara langsung berbagai aspek kehidupan dan harkat hidup manusia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan cukup banyak yang
bersifat lintas sektoral serta saling kait mengkait. Dalam kegiatan pembangunan
perumahan terlibat berbagai instansi pemerintah, antara lain BPN, Bappeda,
konsumen (masyarakat), developer, perancang dan arsitek, kontraktor, PLN, PDAM,
Perum Telekomunikasi, perbankan, pemodal, pemilik tanah, dan industri bahan
bangunan. Keterlibatan banyak pihak itu dapat menjadi potensi besar, tetapi
dapat menjadi penghambat bila tidak ada kerja sama dan koordinasi yang baik.
Di antara banyak faktor yang terkait dalam kegiatan pembangunan kota, dapat
dilihat faktor-faktor pokok yang merupakan variabel terwujudnya pembangunan
dengan fluktuasi tertentu. Beberapa variabel itu antara lain sebagai berikut.
1.
Faktor Kependudukan
Perkemabangan penduduk yang tinggi merupakan masalah tersendiri dalam usaha
pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Tahun 1980 penduduk Indonesia tercatat
147.490.298 jiwa, pada tahun 1990 tercatat 179.321.641 jiwa, dan tahun 2000
diperkirakan sampai 200 juta jiwa lebih. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini
menuntut pertambahan kebutuhan jumlah unit rumah yang tinggi pula
2.
Faktor Pertanahan
Arus urbanisasi sebagai fenomena yang terjadi di kota-kota besar di negara
berkembang seperti Indonesia, berakibat timbulnya masalah tanah. Diperkirakan
pada tahun 2005 penduduk perkotaan di Indonesia akan meningkat menjadi 40% dari
seluruh penduduk di Indonesia. Hal ini tentu berakibat pada kepadatan penduduk
di kota menjadi tinggi sehingga harga tanah semakin mahal dan biasanya akan
diikuti masalah tata guna lahan apabila tidak segera diantisipasi.
3.
Faktor Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat
Sejak pembangunan Pelita I sampai sekarang masalah keterjangkauan harga
rumah masih menjadi kendala, khususnya karena masih banyaknya penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Sekalipun program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
digalakkan pada tahun 1994-1996, pengurangan penduduk yang miskin terhambat
dengan terjadinya krisis ekonomi (1997) yang berkepanjangan di Indonesia,
bahkan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah.
Pemerintah secara makro seharusnya mampu ikut memecahkan masalah keterjangkauan
daya beli masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni. Beberapa usaha yang
telah dilakukan adalah pembangunan perumnas dan rumah susun. Namun, tentu usaha
dari masyarakat sendiri untuk dapat menjangkau harga rumah tetap
diharapkan.
4.
Faktor Teknologi dan Jasa Konstruksi
Perkembangan teknologi dan jasa konstruksi belum dapat mendukung industri
pembangunan perumahan dalam skala besar. Di Indonesia industri jasa konstruksi
dan bahan bangunan terbagi dalam segmen modern
dan segmen tradisional. Dalam pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke
bawah masih digunakan segmen tradisional.
5.
Faktor Kelembagaan
Perangkat kelembagaan berfungsi sebagai pemegang kebijakan, pembinaan dan
pelaksanaan, baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta, di tingkat pusat
maupun daerah. Secara keseluruhan perangkat kelembagaan tersebut belum
merupakan sistem yang terpadu. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam
pelaksanaan pembangunan perumahan, khususnya untuk koordinasi vertikal maupun
horizontal. Dalam banyak hal pemerintah daerah leibh tahu tentang kondisi
wilayah dan penduduknya daripada pemerintah pusat. Peran dan fungsi ini masih
perlu dimantapkan dan dipersiapkan aparaturnya.
6.
Faktor Peraturan Perundang-undangan
Dalam menunjang faktor kelembagaan, peraturan perundang-undangan merupakan
landasan hukum bagi kebijaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman. Namun,
berbagai produk perundangan sering sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi.
Sebagai contoh, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Perumahan (Undang-Undang No.
1 Tahun 1964) menitikberatkan kebutuhan perumahan secara individual, tetapi
GBHN mentikberatkan pada pembangunan perumahan secara fungsional. Masalah
perizinan dalam proses pembangunan pembangunan perumahan masih memiliki mata
rantai yang amat panjang, rumit, memakan waktu dan biaya. Mata rantai yang
panjang ini sudah tidak layak terjadi era reformasi.
D. ASPEK-ASPEK KEMISKINAN
Dari
sekian banyak faktor yang berpengaruh dalam pembangunan perumahan, pada tulisan
ini akan diambil masalah faktor Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat yang
disebabkan karena kemiskinan.
Dalam kenyataannya, sekalipun penduduk miskin diberi fasilitas berupa
keringanan angsuran dan penyediaan rumah kecil yang sehat, seringkali mereka
masih tidak mampu mengakomodasi failitas itu. Hal yang terjadi adalah 1) masih
tidak mampunya sekelompok penduduk miskin untuk mengangsur maupun menyewa suatu
rumah yang sangat sederhana, sehingga masih perlu disubsidi oleh pemerintah,
sebagai contoh penghuni rumah susun; 2) keterikatan yang kuat dengan pola-pola
hidup yang lama (masih suka tinggal di kawasan kumuh); 3) kondisi rumah yang
baru, baik perumahan biasa atau rumah susun, dianggap tidak sesuai sehingga
mereka sulit menyesuaikan diri.
Dengan
demikian, masalah kemiskinan tidak sekadar dapat dipecahkan dengan memberikan
bantuan materiil semata, melainkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Sebelumnya akan disebutkan beberapa jenis kemiskinan, yaitu sebagai berikut.
1. Kemiskinan absolut, yatiu kemiskinan yang
dialami seseorang yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan.
2. Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang
dialami seseorang yang hidup dalam taraf yang rendah dibandingkan dengan
kelompok masyarakatnya.
3. Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan
yang dialami seseorang karena struktur masyarakat yang berjalan secara timpang.
4. Kemiskinan situasional atau natural, yaitu
kemiskinan yang dialami seseorang karena tinggal di lokasi yang tidak
menguntungkan atau di daerah miskin.
5. Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang
dialami seseorang karena kultur yang dianut masyarakat yang tidak memberi
tantangan dan keinginan untuk maju.
Penyebab
kemiskinan sering diibaratkan bagai lingkaran setan, mana sebenarnya yang
terlebih dahulu menyebabkan kemiskinan, 1) apakah karena pendapatannya rendah,
2) tidak memiliki tabungan (saving), 3) produktivitasnya rendah, ataukah 4)
karena tidak memiliki investasi. Keempat penyebab ini saling berurutan dan
mempengaruhi yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 10.2 Membuka akses kesejahteraan
Sekalipun ditemui kondisi lingkaran setan, untuk memecahkannya dibutuhkan
keberanian untuk memotong alur lingkaran setan dengan melihat beberapa faktor
penyebab kemiskinan. Dari kelima jenis kemiskinan itu dapat dikelompokkan sebab
terjadinya kemiskinan, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor materiil yang bersifat internal,
yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kapital/materi yang dimiliki.
Kemiskinan ini bisa dialami pada kasus kemiskinan absolut, kemiskinan relatif,
dan kemiskinan situasional.
2. Faktor ekstern atau struktur masyarakat
yang timpang sehingga berakibat penduduk yang lemah tidak mempunyai akses yang
sama untuk mencapai kesejahteraan.
3. Faktor budaya yang dianut masyarakatnya.
Ketiga
jenis kemiskinan ini membutuhkan cara-cara khusus untuk menanganinya sehingga
mereka lambat laun memiliki kemampuan dan berkeinginan untuk mendapatkan rumah
yang layak.
E. MEMBUKA AKSES
Ketiga
faktor penyebab kemiskinan di atas (yaitu faktor maateriil, struktur masyarakat
dan budaya) disebabkan oleh ketidakmerataan akses yang seharusnya dimiliki pula
oleh penduduk miskin. Oleh karena itu, perlu diuka akses kepada mereka. Bantuan
untuk membuka akses ini bisa dlam bentuk 1) memberikan pengetahuan dan
kemampuan dalam bentuk suntikan modal, 2) membenahi struktur masyarakat, 3)
pemahaman tentang perlunya perbaikan tempat tinggal.
Ketiga
solusi ini di atas diharapkan dapat mengatasi kemiskinan, baik kemiskinan
materiil, kemiskinan budaya, kemiskinan akses, dan kemiskinan pemilikan tumah
sehingga memiliki kemampuan dan keinginan untuk mendapatkan rumah tinggal yang
layak. Ketiga solusi ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Gambar 10.2 Membuka akses kesejahteraan
1. Memberikan Pengetahuan, Kemampuan, dan Suntikan Modal
Solusi
ini khususnya dapat digunakan bagi penduduk miskin yang disebabkan secara
dominan oleh faktor materiil. Penduduk miskin diberi kesempatan untuk
meningkatkan kemampuan daya beli dengan melakukan suatu usaha. Dengan daya beli
ini diharapakan mereka memiliki kemampuan pada pemilikan rumah. Model yang
digunakan dapat berupa hal berikut.
a)
Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Model ini melihat masyarakat tidak lagi sebagai objek, tetapi sebagai
subjek pembangunan. Partisipasi masyarakat sepenuhnya dianggap sebagai penentu
keberhasilan pembangunan. Masyarakat dipercaya mempunyai potensi untuk
mengembangkan diri, apabila mereka bersatu dalam suatu kelompok untuk
memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam usaha mendapatkan perumahan yang
layak, model ini dikenal dengan istilah P2BPK (Pemilikan Perumahan Baertumpu pada
Kelompok) yang berlangsung dengan sukses selama dekade tahun 1990.
Partisipasi masyarakat dan pemberdayaan ini melihat keterlibatan masyarakat
mulai dari tahap pembuatan keputusan pra huni, penikmatan hasil dan evaluasi
pasca huni. Partisipasi mendukung masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran
terhadap situasi dan masalah yang akan dihadapinya serta berupaya mencari jalan
keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin
untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka serta alternatif
solusinya. Masalah yang dipecahkan dapat saja tidak sekadar masalah pemilikan
rumah, tetapi juga masalah menambah pendapatan dalam suatu forum yang berbeda.
b)
Model Pendampingan
Untuk menambah pengetahuan dan kemampuan kelompok masyarakat dalam
pengelolaan kapital diperlukan pendamping agar tujuan kelompok untuk mencapai
kesejahteraan dan mendapatkan rumah dapat berlangsung secara efektif dan
efisien. Pendamping sekadar memberikan alternatif pemecahan masalah agar
pikiran mereka terbuka, namun keputusan tetap di tangan mereka sendiri.
c)
Suntikan Kapital
Untuk mendapatkan rumah, kemiskinan harus diberantas. Bagi mereka yang
kemiskinannya disebabkan oleh terbatasnya modal, dapat diberikan suntikan
kapital dengan tingat suku bunga yang rendah dan jangka pengembaliannya yang
lunak. Pemberantasan kemiskinan dengan meningkatkan penghasilan akan membantu
penduduk yang miskin untuk memiliki rumah.
2. Pembenahan Struktur Masyarakat
Frans
Magnis Suseno (1987) mensinyalir apabila adanya suatu kelompok masyarakat yang
hidup dalam kemiskinan, (tetapi ditemui pula) ditengah-tengah kelompok
masyarakat yang hidup secara mewah maka di dalam masyarakat itu terdapat ketidakadilan
sosial. Ketidakadilan sosial terjadi karena struktur masyarakat yang timpang,
misalnya praktik monopoli kegiatan usaha, pungutan pajak yang tidak membela
yang miskin, struktur penggajian dan pendapatan kelompok masyarakat yang
timpang, pungutan biaya yang tidak berasaskan distribusi masyarakat, dan
lain-lain.
Pembenahan
struktur masyarakat dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang membela
kelompok yang hidup miskin. Kelompok-kelompok masyarakat yang berwenang (LSM,
Serikat Kerja, Lembaga Pengabdian, dan lain-lain) dapat memberikan masukan,
usulan dan desakan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan yang membela
kepentingan kaum miskin. Perbaikan struktur masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan kemakmuran penduduk miskin sehingga kemampuan ini dapat mendorong
mereka memiliki rumah yang sehat dan layak huni.
3. Pemahaman Perbaikan Tempat Tinggal
Upaya
ini dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan pengetahuan tentang hidup
dalam lingkungan yang sehat. Budaya masyarakat yang kurang sesuai dengan hidup
sehat sulit diubah, bahkan budaya ini dapat terwariskan pada generasi
berikutnya. Kadangkala dengan pendekatan psikologis yang menyentuh harga
dirinya, mereka baru tersentak, sadar akan kemampuan dan perlunya untuk hidup
dalam lingkungan yang sehat.
Ketiga solusi di atas diharapkan dapat meruntuhkan belenggu lingkaran setan
kemiskinan, sehingga penduduk miskin memiliki kemampuan daya beli rumah,
memiliki motivasi untuk keluar dari lingkungan kumuh untuk tinggal di
lingkungan hidup yang lebih sehat dan layak.
F. RINGKASAN
Rumah
merupakan citra dari sosok manusia yang menempatinya. Oleh karena itu, rumah
yang layak huni akan meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi pembangunan perumahan yang layak, antara lain jumlah
penduduk, masalah nilai lahan, kelembagaan, teknologi dan konstruksi, serta
masalah keterjangkauan daya beli masyarakat.
Masalah utama bagi penduduk miskin untuk memiliki rumah yang layak huni
adalah masalah keterjangkauan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh kemiskinan
itu sendiri. Sedangkan kemiskinan sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan
situasional (natural), dan kemiskinan kultural.
Diketik dari Buku Sosiologi Kota Untuk Arsitek
Hariyono, P., Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Publisher Bumi Aksara, 2007, (ISBN 9795267493, 9789795267492); Bagian Keempat; Perumahan, Rumah Tinggal, Dan Budaya; Bab 10 RUMAH LAYAK HUNI