Kawasan perkotaan seringkali disebut sebagai
pusat peradaban manusia yang berkembang sebagai konsentrasi penduduk
dengan berbagai kegiatannya. Tidak mengherankan segala bentuk pencapaian
budaya manusia, termasuk teknologi, mudah ditemukan di sini.
Perkembangan kawasan perkotaan yang pesat,
sejalan dengan perkembangan kegiatan penduduknya, secara ironis telah
menyebabkan kondisi yang justru tidak mencerminkan pencapaian budaya
yang tinggi. Permasalahan klasik perkotaan seperti kemiskinan,
kekumuhan, kesemrawutan, individualisme, kriminalitas, dan berbagai
permasalahan lainnya justru lebih menggambarkan tingkat peradaban yang
rendah.
Bila kita amati proses perkembangan
perkotaan di Indonesia, tingkat perkembangan fisik dan ekonomi selalu
dibarengi dengan peningkatan kompleksitas permasalahan perkotaan. Sangat
sulit menemukan sebuah perkotaan yang tumbuh dan berkembang sekaligus
mencegah, apalagi menyelesaikan, permasalahannya.
Salah satu permasalahan yang saat ini dihadapi
oleh hampir seluruh kawasan perkotaan di Indonesia adalah semakin
berkurangnya ruang publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) publik.
Perkotaan metropolitan dan besar pada umumnya memiliki ruang terbuka
hijau dengan luas di bawah 10% dari luas kawasan perkotaannya. Kondisi
tersebut jauh di bawah ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (UUPR) yang mewajibkan pengelola perkotaan untuk menyediakan RTH
publik dengan luas minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.
Tabel: Proporsi RTH Beberapa Kota di Indonesia |
Rendahnya
proporsi luas RTH publik di kawasan perkotaan disebabkan oleh tingginya
permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan, sementara banyak pihak
beranggapan RTH memiliki nilai ekonomi yang rendah sehingga
termarjinalkan.
Dengan berlakunya UUPR, banyak
pengelola perkotaan (baca: pemerintah daerah) yang merasakan kesulitan
untuk memenuhi ketentuan penyediaan RTH publik seluas 20% dari luas
kawasan perkotaan. Kesulitan pengelola perkotaan dapat dipahami
mengingat kondisi berikut:
a) pola
perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia pada umumnya masih bersifat
ekstensif (sprawling), menyebabkan permintaan lahan menjadi sangat
tinggi;
b) lahan di kawasan perkotaan telah dikuasai oleh masyarakat;
c) tidak adanya “bank” lahan yang dapat membantu pemenuhan kebutuhan lahan untuk kepentingan publik;
d) keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk mengakuisisi lahan-lahan yang telah dikuasai masyarakat.
Sebagai contoh, saat ini proporsi
luas RTH publik di DKI Jakarta adalah 9,97% atau masih kurang 10,03%
dari ketentuan UUPR. Dengan luas wilayah kurang lebih 65.000 (enampuluh
lima ribu) hektar, Pemerintah DKI Jakarta masih harus mengadakan lahan
seluas 6.520 hektar atau 650.200.000 meter persegi. Bila diasumsikan
rata-rata harga lahan di wilayah DKI Jakarta adalah Rp.2.000.000,00 (dua
juta rupiah) per meter persegi, diperlukan anggaran tidak kurang dari
130 trilyun rupiah untuk mengakuisisi lahan masyarakat!! Nilai tersebut
lebih dari 6,5 kali APBD DKI Jakarta Tahun 2009 (Rp.19,37 trilyun).
Sebuah angka yang sangat fantastis.
Untuk menutup defisit RTH-nya,
DKI Jakarta mengalokasikan anggaran dengan kisaran Rp.800 milyar hingga
Rp.1 trilyun per tahun. Sebagian besar dari angka tersebut dialokasikan
untuk pemeliharaan RTH yang ada, sehingga hanya sebagian kecil saja yang
dialokasikan untuk akuisisi lahan dan pengembangan RTH baru. Bisa
dibayangkan, diperlukan waktu yang sangat lama untuk memenuhi ketentuan
UUPR sebagaimana disampaikan di atas.
Kesulitan yang dihadapi kota-kota
besar kini juga mulai dirasakan oleh kota-kota yang lebih kecil. Namun
perilaku pengelola perkotaan dan masyarakat yang tidak menghargai nilai
RTH juga masih terlihat. Banyak kota kecil yang semakin hari semakin
gersang karena pepohonannya ditebang untuk pelebaran jalan tanpa ada
pengganti. Banyak taman dan lapangan terbuka yang dikonversi menjadi
mall, hotel, perkantoran, atau ruko. Sekilas, terkesan ada pandangan
bahwa warna hijau hanya cocok untuk kawasan perdesaan, sementara
perkotaan tidak perlu hijau.
Bila pemerintah daerah dan
masyarakat tidak segera merubah pandangannya, munculnya permasalahan
seperti yang dihadapi DKI Jakarta hanya masalah waktu. Untuk itu
kota-kota kecil harus menjaga keberadaan ruang terbuka hijau yang ada
dan sudah harus mulai mencadangkan lahan untuk mengembangkan ruang
terbuka hijau. Selagi harga lahan masih relatif terjangkau, sebelum
lahan-lahan dikuasai pelaku ekonomi yang hanya berhitung keuntungan
finansial.
Penyediaan lahan untuk pengembangan
RTH publik sesungguhnya dapat diupayakan dengan menerapkan pola-pola
kerja sama dengan dunia usaha sebagai berikut:
1. Penyediaan RTH publik sebagai syarat perizinan pemanfaatan ruang
Tingginya
permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan di satu sisi merupakan
hambatan bagi penyediaan lahan untuk RTH. Di sisin lain, kondisi ini
dapat diubah menjadi peluang dengan mewajibkan penyediaan RTH publik
bagi permohonan izin pemanfaatan ruang dengan nilai investasi tertentu.
Dengan pola ini, lokasi RTH berada di luar lokasi pemanfaatan ruang
investor namun tetap disesuaikan dengan penetapan lokasi dalam rencana
tata ruang. Sedangkan luas dan desainnya disesuaikan dengan anggaran
yang disediakan pihak swasta.
2. Penyediaan RTH publik sebagai bagian dari desain kawasan
Maraknya
pembangunan super block untuk hunian, perkantoran, atau pusat bisnis di
kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya merupakan peluang
tersendiri bagi penyediaan RTH publik. Sesuai prosedur yang umum
berlaku, desain kawasan yang akan dibangun memerlukan persetujuan dari
pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk
menetapkan syarat minimal RTH yang harus disediakan pihak pengembang,
disertai catatan bahwa RTH tersebut harus dapat diakses publik dan
kepemilikannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Terdapat kemungkinan
pihak pengembang akan merasa keberatan sehubungan dengan syarat
kepemilikan, namun hal ini dapat diantisipasi dengan kewajiban
penyediaan RTH publik di lokasi lain sebagaimana diuraikan sebelumnya.
3. Penyediaan RTH publik sebagai perwujudan Corporate
Social
Responsibility (CSR) Keberadaan perusahaan-perusahaan dengan modal
besar di kawasan perkotaan juga dapat dijadikan peluang dalam penyediaan
RTH publik. Sebagaimana diketahui, perusahaan besar umumnya
mengalokasikan anggaran untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam kerangka
CSR. Untuk memanfaatkan anggaran CSR, pemerintah daerah perlu
memberikan panduan dan fasilitasi untuk mengarahkan
perusahaan-perusahaan tersebut agar membiayai penyediaan lahan dan
pemeliharaan RTH publik. Sebagai bentuk apresiasi, pemerintah daerah
dapat mengumumkan penyediaan dan pemeliharaan RTH publik oleh pihak
swasta. Pemberian nama taman/ RTH sesuai dengan nama perusahaan yang
memberikan andil juga patut dipertimbangkan.
Penerapan pola-pola kerja sama
tersebut di atas tentu memerlukan payung hukum, sehingga pemerintah
daerah perlu menerbitkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.
Dalam menyusun dan menetapkan peraturan tersebut perlu kehati-hatian
dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing kawasan
perkotaan dalam menarik investasi swasta.
UPAYA SEMENTARA
Sebagaimana
disampaikan sebelumnya, besarnya defisit RTH publik, terbatasnya
ketersediaan lahan, dan terbatasnya anggaran pemerintah daerah merupakan
kombinasi yang menyulitkan pemenuhan proporsi RTH publik dalam waktu
singkat. Untuk itu diperlukan inovasi untuk memenuhi fungsi sosial dan
fungsi ekologis RTH publik. Tentu sebelumnya perlu dilakukan perhitungan
untuk mengetahui fungsi sosial dan ekologis RTH bila ketentuan
penyediaan 20% dari luas kawasan perkotaan dapat dipenuhi. Selanjutnya
juga perlu dihitung fungsi sosial dan fungsi ekologis yang sudah
dipenuhi oleh RTH yang ada. Dengan demikian inovasi atau terobosan yang
dikembangkan adalah untuk memenuhi defisit pemenuhan fungsi tersebut.
Upaya pemenuhan defisit fungsi
hidrologis, misalnya, dapat diupayakan dengan menyediakan sumur resapan
atau biopori untuk mengurangi limpasan air hujan. Sementara pemenuhan
defisit fungsi klimatologis dapat dipenuhi dengan mendorong pengembangan
roof garden pada bangunan-bangunan publik dan komersial. Yang relatif
sulit adalah menutup defisit fungsi sosial RTH publik sebagai ruang
aktivitas dan interaksi warga perkotaan. Hal ini dapat diupayakan dengan
membuka akses terhadap lahan-lahan publik seperti halaman perkantoran
pemerintah untuk dimanfaatkan sebagai ruang aktivitas publik.
Upaya di atas adalah upaya
sementara sambil terus mengupayakan pemenuhan RTH publik hingga mencapai
proporsi 20% dari luas kawasan perkotaan sebagaimana diamanatkan dalam
UUPR
Sumber:
Agus Sutanto,ST Msc, Buletin Tata Ruang, Juli-Agustus 2009 (Edisi: Pengembangan Ekonomi Perdesaan)