Menurut Cristaller dalam Zulkarnain (1933),
sistem perdagangan ditentukan oleh permukiman dan transportasi. Asumsi
yang digunakan adalah:
a) Budaya dan tempat seragam
b) Area tidak terbatas
c) Aksesibilitasnya sama
d) Permintaan sama
Johnson (1975) menyebutkan bahwa
daerah cenderung mempunyai pengaruh pasar sendiri, terutama jika daerah
tersebut merupakan tanah datar, luasnya pengaruh radius dapat dibatasi
oleh hambatan alam, sarana transportasi yang mendukung daerah itu.
Hambatan dalam pencapaian bisa disebabkan oleh struktur ruang yang
kurang baik, sulitnya untuk mencapai lokasi, jalan-jalan masih becek
pada musim hujan dan berdebu pada musim kemarau serta belum adanya
jalur kendaraan.
Menurut Robinson (1974), enam kriteria yang dilihat dari ilmu geografi yang berpengaruh dalam pemilihan lokasi adalah :
a) Bahan mentah
b) Sumber Daya tenaga (power resource)
c) Suplai tenaga kerja
d) Suplai air
e) Pemasaran
f) Fasilitas Transportasi
Sin (1982) mengemukakan bahwa
faktor pengaruh yang membagi kawasan perdagangan pusat kota dipengaruhi
oleh aksesibilitas dan keterkaitan spasial.
Morill (1982) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi kegiatan perdagangan adalah :
a) Spasial
atau geografis, yang berkaitan dengan karakteristik seperti ruang,
jarak, aksesibilitas, ukuran, bentuk, aglomerasi dan posisi relatif
lokasi dalam keseluruhan.
b) Faktor-faktor
lainnya yaitu ekonomi, politik, budaya sehingga saling berpengaruh
antara faktor spasial dan aspasial. Selain itu juga perlu diperhatikan
konsumen.
Analisa Wiliam Alonso (1964) yang
didasarkan pada konsep sewa ekonomi (Economic Rent) atau sewa lokasi
(Location Rent ) menyebutkan bahwa:
a) Kota hanya mempunyai satu pusat (one centre / CBD)
b) Kota terletak pada daerah yang datar/dataran (Flat feature less plant)
c) Ongkos
transportasi sesuai dengan jarak untuk ditempuh ke segala arah, biaya
transportasi menuju ke pusat kota meningkat apabila jaraknya makin jauh
dari pusat kota. CBD dianggap sebagai daerah yang mempunyai derajat dan
ketergantungan yang paling tinggi, makin kearah luar makin rendah
derajad aksesibilitasnya.
d) Setiap
jengkal lahan akan dijual kepada penawar tertinggi. Hal ini berarti
bahwa semua fihak mempunyai kesempatan sama untuk memperoleh lahan,
tidak untuk memonopoli dalam "land market" baik ditinjau dari pembeli
maupun penjual. Disamping itu tidak ada pula campur tangan pemerintah
(government intervention) dalam ekonomi pasar, tidak ada
pembatasan-pembatasan dalam kaitannya dengan " land use zoning" atau
standar polusi lingkungan dan jenisnya "free market competition"
berjalan baik.
Rondinelli (1985) berpendapat
bahwa dalam interaksi ekonomi keterkaitan integrasi spasial yang sangat
penting adalah adanya jaringan pasar melalui pelayanan komoditi, bahan
baku yang berinteraksi antara pusat perdagangan dengan permukiman.
Karena kota lebih banyak berfungsi sebagai tempat pemasaran (market
town) maka kota merupakan penghubung utama bagi masyarakat kota dan
masyarakat hinterland dalam menerima serta melayani sistem pasar
produksi hinterlandnya atau sebaliknya. Pada umumnya jika ada
aksesibilitas bagi pembeli maupun pedagang, maka pasar yang diciptakan
oleh adanya aktifitas perekonomian akan berkembang karena dibutuhkan
oleh masyarakat.
Pada umumnya masyarakat suatu
kota (kecil atau besar) akan berbelanja ditempat yang terekat jika
barang yang diinginkan masih ditawarkan. Barang-barang tersebut lebih
banyak bersifat untuk konsumen sehari-hari yang bisa dibeli tanpa harus
banyak melakukan pertimbangan. Disisi lain pedagang tidak akan menjual
barangnya pada pusat-pusat yang kecil jika barang tersebut tidak banyak
diminati oleh masyarakat atau jika masyarakat harus mempertimbangkan
dengan lebih teliti barang yang akan dibelinya (Christaller dalam
Harstorn, 1992).
Diana (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor penentu berkembangnya lokasi perdagangan meliputi :
1) Jumlah penduduk pendukung
Setiap
jenis fasilitas perdagangan eceran mempunyai jumlah ambang batas
penduduk atau pasar yang menjadi persyaratan dapat berkembangnya
kegiatan. Jumlah penduduk pendukung dapat diketahui dari luas daerah
pelayanan tetapi luas daerah layanan tidak dapat ditentukan sendiri
karena faktor ini bergantung pada faktor fisik yang mempengaruhi daya
tarik suatu fasilitas perdagangan.
2) Aksesibilitas
Aksesibilitas
berkaitan dengan kemudahan pencapaian suatu lokasi melalui kendaraan
umum dan pribadi serta pedestrian. Untuk fasilitas perdagangan kemudahan
pencapaian lokasi, kelancaran lalu lintas dan kelengkapan fasilitas
parkir merupakan syarat penentuan lokasi dan kesuksesan kegaiatan
perdagangan.
3) Keterkaitan spasial
Pada
kegiatan perdagangan yang bersifat generative, analisa ambang batas
penduduk dan pasar menjadi halyang penting sedangkan pada lokasi
perdagangan yang bersifat suscipient, analisa kaitan spasial dari
kegiatan merupakan hal yang penting.
4) Jarak
Kecenderungan
pembeli untuk berbelanja pada pusat yang dominan, namun menyukai tempat
yang dekat maka faktor jarak merupakan pertimbangan penting untuk
melihat kemungkinan perkembangan suatu lokasi terutama pusat perdagangan
sekunder yang menunjukkan trade off antara besarnya daya tarik pusat
dan jarak antara pusat.
5) Kelengkapan fasilitas perdagangan.
Kelengkapan
fasilitas perdagangan menjadi faktor penentu pemilihan lokasi
berbelanja konsumen. Konsumen berbelanja barang-barang tahan lama yang
tidak dibeli secara tidak teratur seperti pakaian, alat-alat elektronik
pada tempat perdagangan yang memiliki banyak pilihan barang yang dapat
diperbandingkan. Oleh karena itu pembeli cenderung untuk berbelanja
barang-barang tahan lama pada pusat perdagangan yang lebih lengkap,
tetapi untuk kebutuhan standar sehari-hari seperti bahan makanan, para
konsumen cenderung masih mempertimbangkan jarak yang dekat kalau
terdapat fasilitas yang memadai.
Ratcliffe (1974) mengemukakan
aksesibilitas adalah kemudahan suatu tempat untuk dijangkau dan
karakteristik spasial merupakan karakteristik lokasi perdagangan atas
lokasi yang bersifat generative yaitu lokasi kegiatan perdagangan yang
menarik konsumen dari kawasan sekitar dan lokasi perdagangan yang
bersifat suscipient yaitu lokasi kegiatan perdagangan yang mengambil
keuntungan dari kegiatan lain disekitarnya. Pada kegiatan perdagangan
yang bersifat generative, analisa ambang batas penduduk dan pasar
menjadi hal yang penting sedangkan pada lokasi perdagangan yang bersifat
suscipient, analisa kaitan spasial dari kegiatan merupakan hal yang
penting.
Kedua ciri ini pada kenyataannya
sulit untuk dipisahkan, suatu pusat perdagangan cenderung berkembang
pada pertengahan jalur antara permukiman dengan pusat lain, dengan kata
lain, suatu kegiatan perdagangan cenderung berkembang pada suatu lokasi
yang mengintersepsi arus pembeli yang menuju pusat yang lain (Nelson
dalam Hamdi Nur, 1996).
Nugraha dkk (2000) mengemukakan
bahwa lokasi merupakan salah satu faktor penentu yang mempengaruhi
karakter ruko dari sudut pandang pengembang selain faktor keuangan,
pasar, fisik. sedangkan yang paling menentukan dari sudut pandang
pengguna adalah faktor price dan product. Dalam penelitiannya, untuk
pihak pengembang diamati melalui faktor-faktor karakteristik ruko
(Fisik, lokasi, peraturan, pasar dan keuangan) sedangkan untuk pihak
pengguna diamati melalui "Empat -P" Koetler yaitu Product, Price, Place
dan Promotion. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa lokasi
merupakan faktor yang menentukan nilai suatu ruko baik dari sudut
pandang pengembang maupun sudut pandang pengguna.
Daftar Pustaka:
Asteriani,
Febby (2005). “Analisis Peringkat Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Ruko
Dari Sudut Pandang Pengguna dan Pengembang Ruko Di Kota Pekanbaru”.
Tesis S-2 MPKD, UGM, Yogyakarta.
Hamdi Nur,(1996). “Kajian Lokasi Perdagangan Eceran Kota”, Tesis S-2 MPKD, UGM, Yogyakarta.
Johnson,E.A.J.,(1975). The Organization of Space in Developing Tries. Harvard University Press, London.
Morril, Richard L.,(1982). The Spatial Organization of Society. Wadsworth Publishing Company, California.
Nugraha, dkk, (2000). Jurnal Teknik Sipil FTSP Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Sim, Duncan., (1982). Change in The City Center. Gower House, Hampsire.
Zulkarnain,
(2003). “Perkembangan dan Sebaran Spasial Ruko di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat”. Tesis S-2 MPKD, UGM, Yogyakarta.