Setiap kota-kota lama yang terbentuk pada masa
colonial (colonial Town) pastinya memiliki Masjid Agung dan Alun-alun.
Periode pembentukan kota pada masa 1914 hingga 1945 tersebut
meninggalkan kenangan terhadap rancangan kota-kota di Eropa. Kota-kota
ini mendapat sentuhan dari seorang arsitek sekaligus perancang kota Ir.
Thomas Karsten, sehingga keberadaan alun-alun, keraton atau masjid agung
menjadi ciri yang sangat kental (The Indonesian City, 1986).
Di alun-alun ini warga berinteraksi,
berdiskusi, berolahraga, atau sekadar menghabiskan waktu di waktu
senggang. Kota Yogyakarta, Bandung, Semarang, atau kota-kota kecil
seperti Pandeglang, Lebak, Serang, Cilegon, dan Tangerang juga memiliki
alun-alun. Bahkan di tempat yang jauh dari Jawa, seperti Sibolga (pusat
keresidenan di Tapanuli) dan Pematang Siantar (pusat perkebunan/tembakau
zaman kolonial) memiliki alun-alun yang cukup luas.
Begitu juga dengan kota-kota di Belanda
seperti Rotterdam, Den Haag, dan Amsterdam, juga banyak ditemukan
alun-alun di pusat kota. Bahkan hampir di depan apartemen atau kompleks
perumahan selalu bisa ditemukan tempat-tempat terbuka yang lebih kecil
dari alun-alun tapi biasanya digunakan untuk tempat kumpul-kumpul,
bermain skate board, bersepeda, atau bermain basket. Demikian pula
halnya di Paris, Perancis, kita bisa melihat ruang-ruang terbuka persis
di depan warung kopi (coffe shop/café) di sepanjang Jalan Boulevard
Champs E’lyse’s, yang merupakan jaringan utama menuju monumen Arc de
Triumph. Keadaan yang sama bisa ditemui di Jerman, di Cologne, disana
kita bisa menemukan banyak ruang-ruang kosong berupa lapangan rumput
dimana masyarakat bisa mengisi waktu luangnya. Kota-kota di Eropa dan
Amerika selalu memiliki ruang-ruang seperti di atas atau saat ini
dikenal dengan ruang publik.
Ruang publik di Eropa dan Amerika telah
berkembang sebagai icon kota (image of the city). Kota-kota di Asia
seperti Singapura dengan Boulevard Orchard Road mengambil contoh ruang
publik seperti jalan boulevardnya Champs E’lyse’s di atas. Orchard Road
telah menjadi icon kota Singapura dan menjadi pengangkat citra kota.
Kita bisa melihat bagaimana pemerintah Singapura menciptakan harmonisasi
antara kawasan niaga internasional (kompleks Takasimaya), apartemen
mewah, hotel berbintang, serta restauran (shop/cafe) dengan ruang publik
(dalam bentuk jaringan pejalan kaki/pedestrian). Pemandangan yang
sangat menyentuh di ruang publik Singapura terjadi pada saat hari Sabtu
dan Minggu. Kita bisa melihat para TKW yang berasal dari berbagai negara
(Indonesia, Filipina, dan Thailand) serta ABK yang sedang berlabuh di
pelabuhan Singapura dapat berbaur dengan bangsa lain (Eropa dan
Amerika)secara multi ras tanpa terlihat perbedaan yang begitu menonjol.
Ruang publik menurut Undang Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dapat berupa Ruang Terbuka Hijau
Publik atau Ruang Terbuka Non Hijau Publik yang secara institusional
harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kota-kota
di Indonesia.
Terminologi Ruang Publik
Istilah
ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan
bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi
didalam kota (Lynch, 1960).
Gagasan tentang ruang publik kemudian
berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil
society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai
penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas
memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang
berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire
Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989.
Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi
diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini,
warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik
dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya
kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas
berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih
lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti
surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik
adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, serta ruang publik
lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu
responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik
adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan
kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh
masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya
serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki
arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan
dunia luas dengan konteks sosial.
Mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak
akan pernah menjadi ruang publik utuh, meski belakangan ini tempat
tersebut dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau
sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan, mall tetap menampilkan wajah
yang privat dimana orang yang ada disana cenderung berasal dari kalangan
ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai
prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa
ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan.
Sementara itu, secara spasial ruang publik
didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk
memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang
publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan
(pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa
ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta
ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan
public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik.
Arti Penting Ruang Publik
![]() |
| Ruang Terbuka Hijau |
Karakteristik
ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat penting
dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Ruang publik
di Indonesia memiliki arti yang sangat penting dan strategis secara
hukum yaitu dengan ditetapkannya Undang Undang No. 26 tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang. Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan perlunya penyediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) didalam
suatu kota. Terkait dengan ruang publik maka RTH Publik dan RTNH Publik
yang disediakan untuk publik dapat dikategorikan sebagai ruang publik.
Bentuk RTH yang akan dikembangkan di kota sebagai ruang publik:
1. Taman Lingkungan
2. Taman RW
3. Taman Kelurahan
4. Taman Kecamatan
5. Taman Kota
6. RTH Pemakaman
7. RTH Lingkungan Perumahan Kecil
8. RTH pada Jalan Lingkungan yang Sempit
9. RTH pada Sempadan Sungai
10. Hutan Kota
Bentuk RTNH yang dapat digunakan sebagai ruang publik:
![]() |
| Bentuk RTNH yang dapat digunakan sebagai ruang publik (Klik untuk memperbesar gambar) |
Perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan untuk kota maupun perkotaan karena:
a. Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang
Ruang
di sekitar kita, baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang kita
kunjungi ketika berpergian, merupakan bagian dari realitas sosial.
Perilaku spasial yang ditentukan dan menentukan ruang sekitar kita
merupakan bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial kita.
b. Ruang publik menciptakan batasan spasial
Pembentukan
batasan spasial menjadi prasyarat utama dalam perancangan kota (Cullen,
1971). Sebagai nodal dan landmark, ruang publik berguna untuk
menavigasi kota (Lynch, 1960). Jalan dan ruang terbuka seperti lapangan
menjadi huruf-huruf yang akan digunakan untuk membaca dan merancang
ruang perkotaan (Krier, 1979). Menciptakan batasan ruang-ruang yang
hidup dan aktif dilihat sebagai kondisi yang penting untuk keberhasilan
penyediaan ruang publik. Hal ini menjadi sangat penting bagi perancangan
kota untuk menciptakan ruang publik positif, dimana ruang dibatasi oleh
bangunan, bukan dibatasi oleh apa yang tertinggal dari suatu
pembangunan (Alexander et al, 1987).
c. Adanya reintegrasi dari pembagian sosio-spasial
Ruang
publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi wilayah
kota dan memainkan peran penting dalam pembagian sosiospasial. Tanpa
adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di dalam kota menjadi
sangat terbatas. Sama seperti kondisi yang berkembang di abad
pertengahan di kota-kota Mediterania dimana permukiman dipisahkan oleh
dinding dan gerbang. Kondisi saat ini pun memperlihatkan banyaknya
permukiman yang dijaga keamanannya serta jaringan jalan yang ada banyak
dikotak-kotakkan dan dibatasi aksesnya.
d. Adanya integrasi kota menuju fragmentasi fungsional
Pada
Jaman modern, integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan
memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi
ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari
lingkungan publik dan privat. Teknologi transportasi telah memungkinkan
masyarakat untuk hidup dan bekerja di luar kota serta ruang pusat kota
dapat dihindari dari tingginya jumlah penduduk. Kemampuan untuk
menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi kontak fisik antara
penduduk kota dan lingkungan terbangunnya, seperti yang telah
berlangsung sepanjang sejarah (Sennett, 1994).
Ruang
publik kota cenderung menjadi ruang residual yang digunakan untuk
parkir kendaraan atau untuk kegiatan pariwisata dan perdagangan. Lebih
lanjut, sejumlah tempat di kota dibuka untuk publik dan dilihat sebagai
milik publik, seperti restoran, museum, perpustakaan, dan bioskop.
Tempat-tempat ini memegang peranan yang penting dan signifikan. Dengan
cara yang sama seperti pusat perbelanjaan berfokus pada perdagangan dan
restoran memiliki fungsi tertentu serta jam operasional yang dibatasi
oleh aturan tersendiri.
Kondisi Ruang Publik Saat Ini
Sayangnya,
arti penting keberadaan ruang publik pada kota di Indonesia semakin
lama diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah,
sehingga ruang yang sangat penting ini semakin berkurang. Ruang-ruang
publik yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, seperti
lapangan olahraga, taman kota, arena wisata, arena kesenian,
lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mal, pusat-pusat perbelanjaan,
dan ruko-ruko.
Kecenderungan terjadinya penurunan
kuantitas ruang publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun
terakhir sangat signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun
1970-an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian
besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan
jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan
permukiman baru.
Disamping itu, kondisi ruang publik juga
menghadapi masalah kualitas. Menurut William H. Whyte dalam tulisannya
yang berjudul “Why Many Public Spaces Fail” menyatakan bahwa ruang
publik sering terlihat rapi, bersih dan sepi/kosong. Kondisi ini
terkesan seolah-olah hendak mengatakan “no people, no problem”. Tetapi
buat kita sebenarnya ketika ruang publik kosong/sepi atau dirusak maka
ruang publik tersebut mungkin ada yang salah dengan design dan
manajemennya.
Banyak ruang publik yang disediakan hanya untuk enak dipandang tapi tidak untuk disentuh apalagi digunakan oleh masyarakat.
Sejumlah masalah yang umum dijumpai di ruang publik:
a. Minimnya tempat duduk
Banyak
ruang publik yang tidak menyediakan tempat duduk membuat orang
cenderung bertindak sesukanya untuk memperoleh kenyamanan. Kadangkala
mereka tidur-tiduran atau terpaksa duduk di atas tas yang dibawanya. Hal
ini merupakan isu yang sangat penting, contohnya pilihan untuk duduk di
bawah teriknya sinar matahari atau berlindung di balik bayangan gedung
dapat membuat perbedaan keberhasilan atas keberadaan tempat tersebut.
b. Minimnya tempat berkumpul
Paris'
Parc de la Villette memiliki tempat duduk yang memaksa orang untuk
duduk di tempat yang ada serta rambu/tanda larangan memanjat patung yang
ada. Walaupun terletak di sepanjang Jalan Raya Pacific Coast, taman
yang ada di Pantai Laguna ini memiliki banyak aktivitas, menyediakan
tempat untuk makan, serta menyediakan tempat duduk yang memadai.
c. Akses jalan masuk yang buruk secara visual
Jika
suatu ruang dapat digunakan, maka orang harus dapat melihat dan
memasukinya. Jalan masuk yang gelap dan sempit seperti di New York
City's Bryant Park dapat membuat orang enggan mengunjunginya. Lain
halnya dengan jalan masuk pada gambar kedua dimana terdapat kios penjual
kopi dan makanan, serta interior taman dapat terlihat dengan jelas dari
bagian luar taman.
d. Fitur yang Disfungsional
Seringkali
sejumlah fitur dirancang untuk menunjukkan kekhasan suatu ruang dan
cenderung hanya untuk visualisasi semata. Seharusnya fitur-fitur khas
yang ada dapat merangsang tumbuhnya aktivitas di tempat tersebut.
e. Jalan setapak yang berliku-liku
Jalan
setapak yang berliku dan tidak memiliki tujuan akhir seperti di Taman
Phoenix, Arizona tidaklah berguna. Sementara itu, Taman Luxembourgs di
Paris menunjukkan jalan yang dapat menarik orang yang melewatinya untuk
dapat berhenti dan beristirahat sejenak melalui penyediaan bangku-bangku
taman.
f. Dominasi ruang oleh kendaraan
Ruang
publik ini pada umumnya minim sarana penyeberangan, bidang jalan yang
terlalu lebar, atau minimnya jalur pejalan kaki. Pengguna jalan
seharusnya tidak perlu takut untuk menyeberang jalan dan dapat dilakukan
dengan mudah serta nyaman.
Area
di sekitar ruang publik juga merupakan hal yang sangat penting bagi
keberhasilan penyediaan ruang tersebut, sama halnya seperti desain
maupun manajemen ruang tersebut. ing kosong tidak memberikan peran yang
berarti bagi aktivitas di sekelilingnya.
g. Lokasi halte yang sulit dijangkau
Halte
bus yang salah dalam penempatan sehingga tidak orang yang
memanfaatkannya merupakan suatu kegagalan dalam perencanaan. Sebaliknya,
halte yang berada di tempat yang ramai dan memiliki aktivitas tinggi
dapat meningkatkan fungsi ruang publik tersebut dan meningkatkan
penggunaan transportasi umum.
Ruang Publik Ideal
Ruang publik yang ideal seyogianya memenuhi kriteria berikut:
a. Image and Identity
Berdasarkan
sejarah, ruang terbuka adalah pusat dari aktivitas masyarakat dan
secara tradisional membentuk identitas dari suatu kota. Hal ini dapat
dilihat dari bentuk dan ukurannya yang paling menonjol dari bangunan
yang ada berdekatan dengannya.
(Kondisi Ruang Terbuka di Copenhagen, Denmark)
b. Attractions and Destinations
Ruang
terbuka memiliki tempat-tempat yang kecil yang di dalamnya memiliki
suatu daya tarik tertentu yang memikat orang banyak, misalkan kafetaria,
air mancur,atau patung.
(Ghirardelli Square, San Fransisco)
c. Ketenangan (Amenities)
Ruang
terbuka seharusnya memiliki bentuk ketenangan yang membuat orang merasa
nyaman bagi yang menggunakannya. Penempatan ruang terbuka dapat
menentukan bagaimana orang memilih untuk menggunakan suatu lokasi.
Selain itu, ruang terbuka menjangkau seluruh umur dari anak-anak hingga
orang dewasa.
(Rockefeller Center, New York)
d. Flexible Design
Ruang
terbuka digunakan sepanjang hari, dari pagi, siang, dan malam. Untuk
merespon kondisi ini ruang terbuka menyediakan panggung-panggung yang
mudah untuk ditarik keluar-masuk, mudah dibongkar pasang, dan mudah
dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
(Tennis on the square, Copenhagen, Denmark)
e. Seasonal Strategy
Keberhasilan
ruang terbuka bukan hanya fokus pada salah satu desain saja, atau pada
stategi manajemennya. Tetapi dengan memberikan tampilan yang
berubah-ubah yang berbeda dari satu musim ke musim lainnya.
(Pasar Liburan di New York’s Union Square)
f. Akses
Ruang
terbuka memiliki kedekatan dan kemantapan aksesibilitas, mudah
dijangkau dengan jalan kaki, kedekatan dengan jalan besar, tidak dilalui
kendaraan padat, atau kendaraan yang lewat dengan kecepatan lambat.
(Plaza Santa Ana, Madrid, Spanyol)
Keberlangsungan Ruang Publik
Ada
beberapa ruang terbuka (RTH dan RTNH) yang dikategorikan sebagai ruang
publik yang sangat penting dijaga keberlangsungannya dalam suatu
lingkungan permukiman kota, diantaranya sebagai berikut:
a) taman dan pekarangan, seperti taman perkotaan, taman hutan raya, dan pekarangan rumah;
b) fasilitas
olahraga luar ruang (dengan permukaan alami atau buatan, baik dimiliki
oleh publik maupun privat), seperti lapangan tenis, lapangan golf,
sekolah, dan lapangan bermain;
c) RTH
untuk amenitas (pada umumnya berada di perumahan), seperti ruang
rekreasi informal, RTH komunal di dalam dan sekitar perumahan, serta
perdesaan;
d) penyediaan fasilitas untuk anak dan remaja, seperti taman bermain, lapangan basket, dll;
e) koridor hijau, seperti sungai, jalur pejalan kaki, dan jalur sepeda;
f) RTH yang bersifat alami dan semi-alami, seperti hutan kota, lapangan rumput, dll;
g) pemakaman; dan
h) ruang publik, seperti pasar dan area perkerasan yang dirancang untuk pejalan kaki.
Dalam Undang-Undang Tentang Penataan Ruang
juga ditegaskan pentingnya ruang terbuka, baik RTH maupun RTNH yang
dijadikan sebagai salah satu muatan RTRW Kota. Kita tahu bahwa RTH dan
RTNH memuat 2 (dua) komponen yaitu RTH dan RTNH Publik dan Privat. RTH
Publik dan RTNH Publik menjadi bagian utama yang penting disediakan
untuk menjamin keberlangsungan tersedianya ruang publik di kota-kota di
Indonesia. Perda RTRW Kota seyogianya menyediakan pasal khusus tentang
penyediaan RTH Publik dan RTNH Publik.
Tetapi perlu diperhatikan pula kalau ruang
publik tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai RTH atau RTNH. Ruang
publik yang baik harus dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk berkumpul, berinteraksi, dan beraktivitas dengan aman dan nyaman.
Tanpa adanya aktivitas dan interaksi sosial manusia di dalamnya, maka
suatu ruang publik telah gagal mengemban misinya. Lain halnya dengan RTH
ataupun RTNH dimana ketika tidak ada aktivitas manusia dan interaksi
sosial pun di dalamnya, fungsi RTH dan RTNH masih dapat berlangsung
dengan baik.
Satu faktor yang perlu diperhatikan adalah
melibatkan peran serta masyarakat didalam penyediaan ruang publik. Hal
ini dapat ditawarkan kepada pihak swasta dengan melakukan kerjasama
pemerintah dan swasta (public private partnership). Dalam hal ini swasta
dapat diberikan insentif dengan menyediakan iklan di arena ruang publik
sebagai pendorong bagi pembangunan fasilitas yang harus disediakan
dalam ruang publik. Disamping itu, pemerintah kota harus memperhatikan
aspek arsitektural dan estetika (termasuk penerangan ruang publik).
Ketika merancang harus memenuhi kebutuhan masyarakat kota dan menjamin
keamanan serta kenyamanan masyarakat penggunanya.
Di Indonesia, pengembangan ruang publik
sedang digalakkan secara intensif. Contoh pengembangan ruang publik yang
berhasil adalah ruang publik di Pantai Losari, Makassar, dimana
interaksi sosial masyarakat dapat berlangsung dengan baik. Sementara
itu, RTH Taman Suropati, Jakarta merupakan contoh pengembangan ruang
publik yang kurang berhasil mengingat lokasinya yang berada di
lingkungan yang berpolusi udara dan tidak nyaman untuk aktivitas
masyarakat.
Daftar Pustaka
Alexander C, Neis H, Anninou A, King 1. 1978. A New Theory of Urban Design. Oxford University Press. New York.
Cullen, G. 1971. The Concise Townscape. Butterworth. Sevenoaks, Kent.
Krier, R. 1979. Urban Space. Academy Editions. London.
Lynch, K. 1960. The Image of City. MIT Press. Cambridge, MA.
Madanipour,
A. 1999. Why are The Design and Development of Public Spaces
Significant for Cities ? Environment and Planning B: Planning and Design
Volume 26 Pages 879-891.
Sennett, R. 1994. Flesh ans Stone. Faber and Faber. London.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau di Wilayah Kota/Kawasan
Perkotaan.
Sumber:
Ir. James Siahaan, MA, Buletin Tata Ruang, Juli-Agustus 2010 (Edisi: Ruang Untuk Semua)



