Ada banyak model-model Kerjasama Antar Daerah
(KAD) yang dapat disarikan dari berbagai sumber literatur . Akan tetapi,
yang perlu untuk dicermati adalah prinsip-prinsip dasar yang diperlukan
dari sebuah kerjasama. Model-model yang disajikan dalam tulisan ini
adalah sekedar contoh. Bentuk-bentuk kerjasama itu dapat divariasikan
atau bahkan digabungkan, tergantung pada karakteristik daerah yang
bersangkutan, karakteristik bidang yang dikerjasamakan, serta negosiasi
antar pemerintah daerah. Prinsipnya, dalam penerapan bentuk-bentuk ini,
yang perlu dijaga pada daerah-daerah bersangkutan adalah :
a) Perlunya inklusivitas dalam kerjasama untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat dan menerapkan kaidah-kaidah partisipatif
b) Mempertahankan komitmen dan semangat kerjasama
c) Selalu mempelajari pilihan/alternatif, dan mengambil pilihan yang paling realistis
d) Memperhatikan detil teknis dalam kerjasama
e) Evaluasi secara berkala dan menjaga koridor kerjasama agar tetap mengarah pada tujuan awal kerjasama
f) Responsif terhadap permasalahan yang muncul
Selain itu, secara lebih khusus, ada beberapa prakondisi dalam hal keuangan/pendanaan yang perlu diperhatikan , yaitu :
a) Kerjasama
dalam pelayanan publik seharusnya diikuti juga dengan kerjasama dalam
hal pendanaan pelayanan umum tersebut dan pendanaan urusan pemerintahan
lainnya yang menjadi tanggung jawab bersama.
b) Sebelum kerjasama dilakukan, terlebih dahulu masing-masing daerah:
1) Memiliki komitmen yang kuat untuk pengelolaan terpadu
2) Membuka diri dan mempunyai mindset pembangunan wilayah yang sama
c) Status
aset-aset yang dipergunakan dalam kerjasama perlu ditegaskan sebelum
kerjasama tersebut dimulai. Masing-masing daerah hendaknya sudah
mempunyai catatan atas asetnya masing-masing dan aset tersebut sudah
tercatat dalam neraca daerah masing-masing.
d) Implementasi
kerjasama memerlukan koordinasi yang bagus untuk menghindari konflik
kepentingan karena masing-masing daerah mempunyai stakeholders.
Masing-masing daerah mengurangi intervensi politik dan memperkuat
koordinasi.
Format kerjasama, terutama dalam hal
pendanaan dan anggaran, memang perlu dibahas secara khusus oleh
daerah-daerah yang bersangkutan. Pasalnya, tidak jarang faktor pendanaan
dan anggaran ini menjadi faktor yang paling sensitif dalam menjaga
keberlangsungan kerjasama.
Sebagai contoh, berikut ini akan disajikan
beberapa model bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD). Bentuk-bentuk
kerjasama antar pemerintah daerah dalam pelayanan publik dapat beragam ,
yaitu diantaranya:
1. Handshake Agreement,
Handshake
Agreement dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang
formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan
secara politis antar daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama
seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah yang secara historis
memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang. Bentuk kerjasama
ini cukup efisien dan lebih fleksibel dalam pelaksanaannya karena tidak
ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pemerintah daerah. Meski
begitu, kelemahan model ini adalah potensi munculnya kesalah-pahaman,
terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainibility kerja sama yang
rendah, terutama apabila terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh
karena itu, bentuk kerjasama ini sangat jarang ditemukan pada isu-isu
strategis.
2. Fee for service contracts (service agreements).
Sistem
ini, pada dasarnya adalah satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan
publik pada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan sebagainya,
dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati
bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang
relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak perlu
mengeluarkan biaya awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan
tetapi, biasanya cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati
kedua daerah.
3. Joint Agreements (pengusahaan bersama).
Model
ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibatan
dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan
pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan
kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak
memerlukan perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan
struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement)
yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus
mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan.
4. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama).
Di
Indonesia, sistem ini lebih populer dengan sebutan Sekretariat Bersama.
Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali,
pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama
dan biasanya terdiri dari perwakilan pemda-pemda yang terkait. Badan
ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh
pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup
untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang
pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara
politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap
bidang yang diurus oleh badan tersebut.
5. Regional Bodies.
Sistem
ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isu-isu umum
yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan.
Seringkali, badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki
otoritas yang cukup untuk mampu bergerak pada tataran implementasi
langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata
merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan
pemerintahan lokal. Di Indonesia peranan badan ini sebenarnya bisa
dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.
Adapun dalam rangka pengembangan
perekonomian wilayah, model kerjasama yang dapat dijalankan adalah
bentuk/model kerjasama yang disarankan adalah sebuah badan kerjasama
yang independen atau terpisah dari kelembagaan pemerintah daerah, dan
dikelola secara profesional dengan prinsip manajemen bisnis murni. Hal
ini karena badan semacam ini dapat bergerak lebih fleksibel dan terpisah
dari birokrasi yang kadang menghambat inovasi-inovasi strategi
perdagangan.
Model kerjasama ini perlu didukung dengan
strategi-strategi tertentu dalam menghadapi era globalisasi, karena
peningkatan daya saing wilayah pada hakikatnya saat ini tidak hanya
diperlukan dalam konteks daya saing diantara wilayah lain, melainkan
juga dalam konteks internasional. Dukungan pemerintah pusat dapat
dilakukan dengan :
a) Memberikan proteksi untuk produk dalam negeri
b) Mengendalikan arus impor barang untuk komoditi yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri.
c) Menyusun
instrumen peraturan ekspor-impor, misalnya dengan memberikan insentif
untuk ekspor komoditi barang jadi (telah diolah) dan memberikan
disinsentif untuk ekspor bahan mentah.
d) Meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum terhadap praktek perdagangan illegal.
e) Membuka
jaringan perdagangan dengan negara-negara lain, baik dalam forum
bilateral maupun multilateral. Pemerintah pusat juga perlu meningkatkan
peran Indonesia dalam kerjasama ekonomi internasional, baik secara
bilateral misalnya dengan Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand maupun
secara multi-lateral misalnya melalui Kerjasama Ekonomi Sub Regional
Indonesia-Malaysia-Singapura / Growth Triangle (KESR/IMS–GT) dan
Indonesia-Malaysia-Thailand (KESR/IMT–GT). Peningkatan peran itu adalah
jangan sampai Indonesia hanya menjadi hinterland dan target pasar dari
negara lain.
f) Memperbanyak program-program yang bertujuan untuk mempromosikan potensi-potensi ekonomi Indonesia
Cukup banyak bentukan-bentukan kerjasama di
Indonesia yang mengadopsi model serupa Joint Agreements (pengusahaan
bersama) maupun Jointly-formed authorities (pembentukan otoritas
bersama). Sebagian besar juga lebih mengacu pada bidang-bidang kerjasama
yang sifatnya umum. Selain itu, keunggulan model otoritas bersama,
yaitu adanya otoritas atau wewenang yang cukup otonom sampai ke tataran
aksi, ternyata tidak terlalu terlihat pada bentukan-bentukan kerjasama
di Indonesia. Hal ini karena meskipun telah dibentuk suatu
sekretariat/badan otoritas bersama, ternyata pengaruh intervensi
birokrasi pemerintahan daerah masih sangat besar, dan wewenang yang
diberikan pun biasanya masih setengah-setengah sehingga tidak terlalu
leluasa dalam bergerak. Akhirnya, bukan tidak mungkin badan bersama itu
kemudian justru tidak berfungsi.
Identifikasi atas variabel-variabel daerah
yang cukup tepat untuk dijadikan dasar penyusunan tipologi penentuan
model kerjasama antar daerah merupakan sesuatu yang cukup urgent. Hal
ini diperlukan untuk mempercepat penyajian panduan-panduan bagi daerah
dalam bekerja sama. Meski begitu, tipologi ini tentu tidak akan dapat
mencakup seluruh karakteristik yang bisa jadi sangat menentukan dalam
penentuan suatu model kerjasama. Akan tetapi, pada dasarnya memang harus
ada ruang yang cukup bagi daerah-daerah yang bersangkutan untuk
berinovasi sesuai dengan karakteristik yang mereka pahami sendiri,
karena replikasi suatu model atau satu bentuk yang sudah berhasil di
daerah lain belum tentu menjanjikan keberhasilan yang sama.
Mengingat cukup banyaknya bentukan-bentukan
kerjasama yang tidak berhasil, padahal sudah mengikuti/meniru
bentukan-bentukan di tempat lain yang sudah berjalan, maka dapat
dikatakan bahwa replikasi dari satu bentukan yang sudah berjalan
bukanlah sebuah jaminan bahwa sebuah bentukan kerjasama antar daerah
akan berhasil. Lebih jauh, replikasi bahkan bisa dikatakan perlu
dihindari, karena prinsip utama dari kerjasama antar daerah justru
adalah kesamaan isu dan tujuan dari daerah- daerah yang bersangkutan,
dan bentukannya disesuaikan dengan karakteristik daerah-daerah itu. Isu,
tujuan, dan karakteristik daerah itulah yang tentunya berbeda-beda
antara satu bentukan kerjasama dengan kerjasama lain, sehingga replikasi
justru dapat berakibat kontraproduktif. Inovasi dan kreativitas dari
para penggerak kerjasama antar daerah, apapun bentuknya, nampaknya jauh
lebih esensial dibanding replikasi dari bentukan yang sudah ada. Inovasi
dan kreativitas ini tentu didasarkan pada isu, tujuan, dan
karakteristik daerah.
Selain itu, dukungan dari masyarakat pun
menjadi satu prakondisi yang perlu diperhatikan. Dukungan masyarakat ini
tentu tidak cukup hanya diartikan sebagai restu dari DPRD di
daerah-daerah yang bersangkutan. Pemerintah daerah perlu benar-benar
memperhatikan apakah kerjasama itu akan menguntungkan masyarakat atau
tidak. Pada praktiknya, masyarakat memang tidak akan terlalu memusingkan
pemerintah daerah mana yang menyelenggarakan suatu pelayanan publik,
selama pelayanan itu terselenggara. Akan tetapi, aspirasi dan
partisipasi masyarakat dalam mendukung satu kebijakan tetap menjadi
faktor yang paling mempengaruhi keberlangsungan suatu kebijakan
pemerintah daerah. Walau bagaimanapun, pada dasarnya pemerintah memang
dibentuk untuk melayani masyarakat.
Sumber:
Dr. Ir. Antonius Tarigan, M.Si, Buletin Tata Ruang, Maret-April 2009 (Edisi: Meningkatkan Daya Saing Wilayah)
---------------
Kerangka Konseptual Kerjasama Antar Daerah (KAD)Kerangka Regulasi Kerjasama Antar Daerah (PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah)
Potensi dan Kendala dalam Kerjasama Antar Daerah (KAD)
Model Kerjasama Antar Daerah (KAD)
Kerjasama Antar Daerah (KAD) dan Peningkatan Daya Saing Wilayah
---------------